Semarang, Amanat.id- Sejak kemunculan pertama pada awal Maret lalu, Covid-19 telah merubah pola hidup dan kultur akademik di Indonesia. Saat kasus ini terus ditemukan di berbagai daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil langkah tegas, dengan mengalihkan pembelajaran secara daring (online), untuk semua lembaga pendidikan, per 17 Maret 2020.
Himbauan yang tanpa persiapan tersebut memang menimbulkan banyak masalah. Pasalnya, lembaga pendidikan kita belum bisa dikatakan siap untuk menjalan perubahan sistem ini. Ambil contoh misalnya, sejumlah lembaga pendidikan yang berada di pelosok negeri, yang jauh dari teknologi.
Di lingkungan kampus sendiri, Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi yang pertama menerapkan sistem ini, per 14 Maret. Lalu diikuti, UGM per 16 Maret dan seluruh perguruan tinggi setelah menerima himbauan dari Kemendikbud.
Saat sistem ini mulai dijalankan, timbul pertanyaan di kalangan mahasiswa, bagaimana dengan nasib Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau SPP yang harus dibayarkan?
Pertanyaan tersebut pertama kali lontarkan di ruang publik oleh, Fachrul Adam di situs change.org. Di situs tersebut, ia membuat petisi untuk Kemendikbud yang berisi tiga tuntutan. Pertama, agar pemerintah membebaskan biaya UKT bagi mahasiswa tingkat akhir. Kedua, menerbitkan kebijakan pengganti penyelesaian skripsi. Ketiga, agar mahasiswa diberikan perpanjangan masa studi maksimum untuk angkatan 2013.
Per 26 April, petisi ini telah ditandatangani sebanyak 63.538 orang.
“Ada yang terlupakan dari surat edaran Kemendikbud ini, bagaimana dengan nasib mahasiswa tingkat akhir yang harus melakukan penelitian lapangan serta bimbingan secara efektif, ” tulis Fachrul Adam dalam petisinya.
“Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat mewabahnya covid-19. Tentunya kami tidak ingin menjadi beban bagi orang tua dengan membayar biaya kuliah lagi untuk semester depan demi menyelesaikan tugas akhir.”
Kemendikbud melalui Kepala Bidang Humas, Ade Erlangga melemparkan penghapusan UKT pada kebijakan masing-masing kampus. Lalu, untuk penggantian skripsi, Ade menyebut hal itu dapat terlaksana melalui program Kampus Merdeka yang sudah diwacanakan oleh Nadiem Makariem.
“Untuk kampus negeri UKT kan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang. Untuk kampus swasta itu, diserahkan pada kampusnya. Sebenarnya, penghapusan atau penundaan uang kuliah menjadi kewenangan pihak kampus,” katanya, dilansir dari cnnindonesia.com (28/03/2020).
Sejumlah kampus memiliki sikap yang berbeda-beda. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengambil langkah untuk mengganti Skripsi dengan artikel ilmiah bagi mahasiswa tingkat akhir. Lalu, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Negeri Makasar (UNM) menggratiskan biaya UKT untuk semester depan bagi mahasiswa semester akhir.
Sementara itu, di kalangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) belum ada tindakan sama sekali menanggapi petisi tersebut. UIN Walisongo misalnya, yang pada akhir Januari lalu sempat mewacanakan pilihan lulus tanpa skripsi terbukti gagap menghadapi kondisi kini.
“Penyelenggaraan kegiatan akademik dan non akademik bagi PTKIN basisnya aturan bukan kemauan orang atau kelompok,” kata Wakil Rektor bidang Akademik dan Kelembagaan, M. Mukhsin Djamil, Kamis (02/04/2020).
Harapan Kosong Keringanan UKT?
Bermula dari Fachrul, pembicaraan terkait biaya kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa setiap semesternya terus berlanjut. Kali ini, pembicaraan tersebut menyangkut nasib UKT mahasiswa yang akan dibayarkan pada masa registrasi yang akan jatuh pada Juli s.d Agustus mendatang.
Kemeterian Agama (Kemenag) pada 6 April 2020 mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam No: B-752/DJ.I/HM.00/04/2020. Dalam surat edaran tersebut menginstruksikan agar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) memberi keringanan biaya UKT mahasiswa, minimal 10 persen pada semester ganjil ke depan.
Meski memberi keringanan, Dema PTKIN se Indonesia menuntut lebih kepada Forum Rektor PTKIN, Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) dan menteri Agama RI untuk melakukan pembebasan dan pemotongan UKT semester ganjil tahun ajaran 2020-2021.
Berdasarkan surat terbukanya pada 21 April, Dema PTKIN se Indonesia, meminta melakukan pembaharuan aturan mengenai pemotongan biaya UKT/SPP dari yang semula minimal 10 persen menjadi 50 persen. Pemotongan itu disebabkan karena sudah 3 bulan mahasiswa tidak menikmati fasilitas perkuliahan semester genap tahun ajaran 2020.
Selang sehari usai surat itu dikirim, bukan pemenuhan yang didapat, sebongkah pil pahit harus mau ditelan Dema lantaran program pemotongan biaya UKT/SPP kuliah dibatalkan. Pembatalan tersebut adalah imbas dari pemotongan APBN untuk Kemenag sejumlah Rp 2,2 triliun.
“Program tersebut nggak jadi dilaksanakan,” kata, Plt Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, seperti dilansir dari Jawapos.com, Rabu (22/4/2020).
Ketua Dema UIN Walisongo, Rubaith Burhan Hudaya seolah tak patah arang. Ia memilih untuk melihat perkembangan terlebih dahulu, karena ia merasa keputusan Dirjen Kemenag belum final.
“Kita lihat dulu perkembangannya,” ujarnya, Minggu (26/4/2020). “Sekarang kita melalui Dema PTKIN masih terus memberikan dorongan kepada kementrian untuk segera mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA).”
Dampak Resesi dan Menanti Sikap Perguruan Tinggi
Pembatalan surat edaran dari Kemenag RI yang mengharuskan PTKIN menurunkan UKT disayangkan banyak pihak. Keringanan pembayaran kuliah, menjadi harapan mahasiswa yang secara ekonomi terdampak Covid-19 untuk tetap melanjutkan kuliah.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengestimasi 1,25 miliar orang di dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh virus Corona. Sampai saat ini data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJamsostek mencatat jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 Juta. Dengan rincian 1.871.585 orang pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK dari sektor formal dan 826.000 orang pekerja dari sektor non formal.
Sementara itu, data Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tercatat sebanyak 191 Perusahaan dengan 148.791 karyawan terdampak virus ini. Akibatnya, sebanyak 24.240 karyawan di PHK dan dirumahkan. Jumlah tersebut diperkiraan lebih besar, lantaran belum mencakup hitungan masyarakat yang bekerja di sektor informal, yang tak lagi bekerja akibat corona.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memprediksi Jumlah pengangguran bisa saja melonjak naik jika pandemi corona tidak diatasi dengan cepat.
“Pengangguran yang selama ini menurun dalam lima tahun terakhir akan mengalami kenaikan. Jika skalanya berat bertambah 2,9 juta orang, dan jika lebih berat skalanya bisa 5,2 juta orang,” jelasnya, Selasa (14/4) dilansir dari katadata.co.id
Tingkat kemiskinan pun akan meningkat dan berbanding lurus dengan menambahnya jumlah pengangguran.
Atas dasar itu pula lah, pemerintah pusat lantas menghimbau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan keringanan (restrukturisasi) terhadap nasabahnya. Bagi masyarakat yang terdampak, OJK tentu akan menangguhkan pembayaran hingga enam bulan.
Persamaan mahasiswa dan nasabah bank adalah, banyak yang sulit secara ekonomi akibat kondisi ini. Perbedaannya, mahasiswa tak memiliki hutang terhadap kampus. Akan tetapi mahasiswa punya tanggungan biaya UKT setiap masuk semester baru.
Jika mengingat tentang penentuan biaya UKT, kampuslah yang menentukan besarannya berdasarkan kondisi ekonomi mahasiswa. Dengan tujuan, agar mahasiswa tidak keberatan dalam membayar UKT mereka.
Pertanyaannya, bagaimana jika konsep tersebut dipraktikan lagi di masa krisis ini. Apakah kampus berani mendata ulang seluruh mahasiswanya yang terdampak corona agar mendapat keringanan dalam pembayaran UKT, kelak?
Penulis: Mohammad Hasib
Editor: Agus