Januari lalu, tepatnya pada, Selasa (8/1) , Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) mengadakan pertemuan dengan para ketua Organisasi Daerah (Orda) di UIN Walisongo.
Pertemuan di ruang Promosi Doktor Gedung LP2M itu, membahas soal Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbasis Orda yang diajukan oleh Forum Silaturahmi Antar Daerah (Forsida). Dari pertemuan itu, LP2M mendukung rencana KKN berbasis Orda.
Berdasarkan SK Rektor Nomor 29 Tahun 2014, disebutkan ada tiga bentuk KKN di UIN Walisongo, yakni KKN Reguler, KKN Non Reguler, dan KKN Mandiri. Dari ketiganya, terdapat perbedaan dalam tatanan teknisnya.
KKN Reguler dan KKN Non Reguler dalam pelaksanaan teknisnya diatur oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo. Seperti penyusunan proposal kegiatan, pemilihan tempat, penyusunan laporan dan evaluasi.
Sementara, untuk KKN Mandiri proses yang demikian dilaksanakan oleh mahasiswa sendiri. LP2M hanya bertugas untuk mengelola atau memfasilitasi pelaksanaannya.
KKN Mandiri dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama KKN Mandiri Inisiatif Terprogram (KKN-MIT), kedua KKN Mandiri Misi Khusus (KKN-MMK), ketiga KKN Mandiri Pengakuan (KKN-MP).
Ketua Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) Ali Imron menjelaskan, KKN berbasis Orda yang dimaksud dan diajukan akan masuk dalam kategori KKN-MP.
KKN-MP merupakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, seperti bakti sosial, misi kemanusiaan, keterlibatan mahasiswa dalam penanganan bencana alam dan sebagainya. Nantinya, sesuai dengan pertimbangan dan kebijakan Ketua LP2M, kegiatan tersebut bisa diakui atau disamakan dengan kegiatan KKN seperti pada umumnya.
“Kan KKN itu kegiatan riil di lapangan, programnya mau seperti apa, konsultasi dengan kita, ya harus koordinasi sebelum melangkah, kalo sudah melangkah seminar hasil kinerja ternyata tidak diakui bagaimana,” jelas Ali ketika ditemui Amanat di kantornya, Senin (18/3).
Sebagai mana jenis KKN yang lain, KKN MP juga masuk dalam kurikulum. Sehingga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan. Di antaranya, mahasiswa harus sudah menyelesaikan mata kuliah 120 Sks. Hal itu ditekankan oleh Ali, sebab KKN termasuk dalam kurikulum.
Semangat Mahasiswa Daerah
Keinginan aktivis mahasiswa daerah untuk mewujudkan KKN berbasis orda, didasari niat memajukan tempat kelahirannya masing-masing.
Koordinator Forsida Sulton Bahaudin, mengungkapkan jika adanya organisasi daerah bukan hanya menjadi wadah untuk saling berkumpul sesuai daerah asal. Namun lebih dari itu mahasiswa yang tergabung dalam orda mempunyai visi untuk memajukan daerah asal.
Kebijakan kampus dalam menentukan tempat KKN dirasa pun kurang memuaskan. Beberapa faktor tersebut yang menjadi faktor Sulton dan teman-temannya di Forsida dalam mengajukan KKN berbasis orda.
“Di Demak tempatnya sudah maju di jadikan tempat KKN lagi, kami dari ketua-ketua orda itu kan sudah berkecimpung di daerah masing-masing, ingin sekali memajukan daerah masing-masing salah satunya dengan KKN di daerah itu,” keluh wisudawan jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI) tersebut, Kamis (21/3).
Saling Menunggu
Hingga laporan ini ditulis, Senin (18/3) baik Forsida ataupun orda belum ada yang mengajukan untuk melaksanakan KKN berbasis Orda.
Juru bicara Forsida Agus Ma’ruf mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi alasan belum ditindaklanjutinya secara serius KKN MP oleh Orda yang ada. Diantaranya pihak Forsida sedang disibukan dengan agenda Forsida yang akan datang yaitu Pekan Orda Walisongo (POW), ditambah lagi dengan minimnya minat mahasiswa.
“Minat mahasiswa yang lain juga masih kurang,” akunya.
Selain itu, Agus dan temannya menyayangkan kebijakan LP2M tentang KKN berbasis Orda, lantaran mahasiswa yang mengikuti tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana kegiatan KKN pada umumnya. Seragam salah satunya.
“Hal itu yang menjadikan semangat mahasiswa kian melamban,” kata Agus.
Belum jelasnya atribut KKN juga diungkapkan oleh Ketua Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Pati (KMPP), Muhammad Arifin Andriyansah. Ia mengatakan jika ada rencana atribut KKN akan diganti dengan uang.
“Tapi belum jelas jumlah nominal uangnya berapa,” tuturnya, Jumat (21/06)
Mekanisme dan regulasi yang akan diterapkan birokrasi terkait pengakuan bakti sosial sebagai KKN di UIN Walisongo juga belum ada kejelasan. Hal ini dikeluhkan oleh Ketua Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Mohamad Yasi Riski Purnama, menurutnya, pihak kampus harus segera membenahi.
Dia berharap bakti sosial bisa dijadikan seperti KKN pada umumnya di UIN Walisongo, dengan bentuk pengabdianya di tempatkan di daerah masing-masing, dan pihak kampus juga seharusnya bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah masing-masing organisasi daerah.
“Selama ini UIN Walisongo hanya terfokus pada Kudus, Demak, Salatiga, Semarang. Mungkin dengan KKN orda ini bisa memaksimalkan lewat Orda-orda yang ada, kalo gak salah orda ada 36 di UIN Walisongo, kalau semisal semua Orda ikut KKN berbasis Orda, ya berarti menambah jaringan untuk UIN Walisongo juga dan selebihnya mempermudah mahasiswa juga yang wilayah KKN nya sekarang terbatas.” pungkasnya, Selasa (26/3).
Lain halnya dengan mahasiswa Muhammad Khoiruddin Bukhori, dia sangat mendukung KKN organisasi daerah, menurutnya hal ini bisa menghidupkan ciri khas suatu budaya masing-masing organisasi daerah.
“Seperti Wayang, Barongan itu bisa diangkat eksistensinya melalui program KKN berbasis orda, karena yang dapat menghidupkan identitas daerah itu diantaranya melalui kegiatan mahasiswa.” ucap mahasiswa Ilmu Falak asal Demak itu.
Lebih lanjut, jika KKN organisasi daerah ini sudah diresmikan, dia berharap pihak kampus segera memberi informasi kepada seluruh Orda yang ada di UIN Walisongo dan menjelaskan regulasinya seperti apa.
“Harapannya jika disetujui dan diresmikan yaitu segera memberi info kepada seluruh elemen Orda terkait mekanismenya, anggaran, serta programnya diperjelas kembali.” pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan Muhammad Zaenal Ambia, mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi. Menurutnya KKN organisasi daerah nantinya bisa menjadi alternatif lain bagi mahasiswa yang tidak bisa mengikuti KKN reguler.
“Perlu, misalkan mahasiswa yang ikut Orda itu telat mengikuti KKN yang ada di UIN Walisongo, itu bisa jadi jalan untuk melakukan KKN.” katanya, Sabtu (27/04).
Dia juga berharap, jika sudah disahkan, kuota mahasiswa yang mengikuti KKN organisasi daerah bisa ditambah.
“Harapannya, seterusnya bisa berjalan dengan lencar, setiap tahunnya ada perubahan-perubahan yang lebih baik lagi, misalkan ditambahkan kuota, itukan kuotanya 15, mungkin tahun selanjutnya bisa ditambahkan kuotanya.” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Ali Imron membenarkan jika kemungkinan mahasiswa yang melaksanakan KKN MP tidak mendapat seragam seperti pada umumnya. Hal itu disebabkan KKN-MP tidak terjadwal secara khusus dalam kalender akademik.
Meskipun begitu, Ali Imron menjelaskan jika KKN-MP dilaksanakan bebarengan dengan KKN MIT, maka tidak menutup bisa mendapatkan atribut KKN.
“Kalo mereka itu pelaksanaanya bisa bersamaan dengan yang KKN-MIT, itu bisa dapat jaket bisa dapat topi. Jadi pengadaan barangnya itu bareng. Tapi kalo mereka itu jadwalnya tidak bareng, ya repot,” tandasnya.
Ali menyadari bahwa atribut KKN merupakan hak setiap mahasiswa. Namun, bukan berarti jika pihaknya tidak memberi seragam itu merupakan sebuah pelanggaran. Anggaran untuk pengadaan atribut KKN bisa diberikan dalam bentuk bantuan transportasi atau bantuan stimulan.
“Meskipun demikian uang UKT yang jatah KKN itu tetep dikembalikan pada mereka. Tidak harus berbentuk jaket, tidak harus berbentuk topi,” pungkasnya.
Reporter: Mufazi Raziki