Penetapan sistem parkir berbayar di UIN Walisongo tidak melibatkan perwakilan mahasiswa. Pengakuan ini muncul dari Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Universitas periode 2018 Ahmad Sajidin. Ia mengatakan, pihaknya memang setuju dengan penerapan sistem barrier gate sebagai respon atas maraknya kasus curanmor, namun tidak jika menarik tarif dari pengguna.
“Dalam pentuan kebijakan ini, pihak Dema tidak ada yang dilibatkan. Padahal kebijakan tersebut erat kaitannya dengan civitas mahasisiwa,” ungkapnya saat ditemui di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Rabu (14/11/2018).
Ia mengatakan keterlibatan Dema UIN Walisongo hanya ketika pengadaan barier gate. Soal pelaksanaan dan sistemnya, Ajid biasa disapa membeberkan, tidak ada komunikasi lebih lanjut.
Persoalan lain yang disinggung mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Arab itu terkait penyatuan kartu parkir dengan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Dari ceritanya, ada sebagian mahasiswa yang terpaksa membayar karena KTM-nya hilang. Padahal, untuk mengurus pembuatan ulang harus melalui prosedur yang agak menyulitkan dan tentu membutuhkan waktu yang relatif lama.
“Seharusnya dengan tanpa menunjukan KTM atau kartu parkir mahasisiwa tidak perlu membayar, yang penting ada tanda pengenal bahwa dia mahasiswa dan juga identitas kepemilikan motor, tentu hal ini menjadi masalah,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Priyono mengakui pengambilan kebijakan parkir berbayar tidak melibatkan mahasiswa atau Dema. Ia menegaskan, bahwa tidak semua kebijakan yang diambil oleh birokrasi kampus harus melibatkan perwakilan mahasiswa.
“Tidak semua kebijakan harus melibatkan mahasisiwa,” ujarnya.
Ia tak sependapat jika ada yang mengatakan sistem parkir berbayar di UIN Walisongo disamakan dengan Mall. Dalam pengamatannya, beberapa universitas juga menerapakan sistem yang sama, di antaranya Universitas Brawijaya dan UIN Syarif Hidayatullah.
Priyono beranggapan, jika kebijakan parkir berbayar tidak diberlakukan maka kemungkinan kasus curanmor akan terjadi lagi. Karena, Warga non-civitas akademik akan dengan leluasa keluar masuk kampus.
“Siapa pun yang masuk kampus baik mahasiswa maupun dosen tanpa menggunakan kartu parkir harus membayar. Rektor pun ketika masuk kampus dan tidak membawa kartu parkir, dia bayar,” katanya.
Ia menambahkan, sistem barrier gate yang sering eror disebabkan oleh air yang masuk ke dalam mesin. Di musim hujan seperti sekarang ini hal tersebut tak jarang terjadi.
“Kami selalu lakukan evaluasi dan perbaikan,” ungkapnya.
Lumbung Pemasukan Baru
Pasca ditetapkan sistem parkir berbayar, barier gate menjadi salah satu lumbung penghasilan. Tak tanggung-tanggung, di bulan pertama pemasukan yang didapat Badan Layanan Umum (BLU) dari barrier gate berkisar Rp 35 juta. Sedangkan di bulan kedua meraup penghasilan berkisar Rp 29,5 juta.
“Di bulan Oktober pemasukan jauh lebih besar dikarenakan di bulan itu kampus memiliki acara-acara besar, di antaranya Uincredible yang turut mengundang Sheila On 7 dan Nufi Wardhana. Jadi, kesimpulnya, kalau dikalkulasikan setiap harinya pemasukan yang didapat dari barier gate berkisar Rp 1 juta,” terang Priyono.
Priyono tidak tahu persis anggaran yang dibutuhkan dalam pengadaan barier gate. Dalam taksirannya, anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 100 juta. Ia juga menambahkan, saat ini pegawai yang dimiliki untuk mengelola barier gate berjumlah 12 orang dengan gaji Rp 1,2 juta per bulan.
“Gaji sesuai standar Badan Layanan Umum. Untuk lulusan SLTA berkisar Rp 1,2 juta,” paparnya.
Reporter Buletin Amanat mencoba meminta laporan keuangan BLU dari barrier gate. Namun sayang, yang dapat dilaporkan hanya sebatas laporan tersebut.
“Tidak semua harus terbuka. Hal ini berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kecuali ada kasus-kasus tertentu misalnya adanya indikasi korupsi dana,” jelasnya.
Curanmor Masih Terjadi
Priyono mengeklaim, sejak diberlakukan sistem barrier gate hingga akhir tahun 2018 tidak pernah terjadi Curanmor di UIN Walisongo.
“Intinya kasus pencurian sampai sejauh ini tidak terjadi lagi,” katanya.
Namun, dari hasil penelusuran Tim Amanat, Curanmor masih terjadi. Tepatnya pada 13 November 2018 sepeda motor merek Honda tipe Supra X 125 keluaran 2006 dengan nomor polisi K-6024 JB milik Latifatus Sariroh raib di kampus III.
Kejadian itu bermula, ketika mahasiswi prodi Akuntansi Syariah tersebut memarkir motornya dekat Pos Proyek Pembangunanan untuk mengikuti kuliah pukul 16.10 WIB di Gedung L Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Namun, seusai kuliah ia tidak mendapati motornya.
Mengetahui hal tersebut, Ifa biasa disapa, langsung melaporkan pada Satpam kampus III dan Polsek Ngaliyan.
“Saya sudah lapor ke Satpan, namun hanya sebatas pendataan terkait laporan kehilangan. Akhirnya, saya berinisiatif melapor ke Polsek Ngaliyan,” katanya, Selasa (13/11/2018).
Menanggapi kejadian itu Sutarman menjelaskan, stop kontak motor korban telah rusak. Sehingga mudah untuk dicuri. Selain itu, ia juga menyayangkan adanya mahasiswa yang tidak parkir di tempatnya.
“Mahasiswa tidak parkir di tempatnya, malah parkir di dekat pos proyek,” sesalnya.
Pernyataan Komandan Satpam tersebut disanggah oleh Ifa. Waktu kejadian, tempat parkir yang tersedia sudah penuh. Tempat yang dekat dengan gudung L sore itu hanya, di seputar pos proyek.
“Yang dekat dengan Gedung L hanya di sana,” sanggahnya.
Aneh, meskipun kasus tersebut terjadi pada medio November 2018, namun saat Priyono ditemui pada medio Desember 2018 mengaku tidak ada kasus curanmor di UIN Walisongo. Usut tak usut, ternyata kejadian itu tidak dilaporkan satpam padanya.
“Laporan satpam kemarin tidak ada berita kehilangan motor. Cuma kemarin itu ada kasus motor yang tertukar oleh temannya,” ungkap Priyono.
Priyono sempat ragu kala mendapatkan info curanmor dari Amanat. untuk itu, pada Kamis (13/12/2018), Amanat membawa Ifa menghadap Priyono untuk menjelaskan nasib malang yang menimpa dirinya.
“Saya sangat berterima kasih kepada mahasiswa yang telah bersedia melaporkan kejadian yang sebenarnya,” ungkap Priyono.
Menindak lanjuti laporan tersebut, Priyono lekas memanggil Satpam yang bertugas. Ia memberi teguran keras, lantaran tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pimpinan.
“Sementara hanya teguran keras, jika terjadi lagi maka kami akan memutus kontrak kerjanya,” tegasnnya.
Hingga 8 Januari 2019, pihaknya masih menyelidiki kasus curanmor yang menimpa mahasiswa asal Kudus itu. Satpam terus diminta untuk berkoordinasi dengan Polsek Ngaliyan.
Reporter: M. Syarif Marzuki