
Menurut Tempo.co sebanyak 290 kasus penyerangan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2024 di Indonesia. Sebut saja kasus Nia penjual gorengan di Padang Pariaman yang disekap lalu diperkosa dan jasadnya dikubur dengan keadaan tanpa busana. Lalu, kasus siswi Sekolah Menengah Pertama di Palembang dibunuh dan diperkosa oleh empat laki-laki. Kemudian, ada Argiyan yang memperkosa dan membunuh pacarnya lantaran menolak untuk berhubungan intim, dan beberapa kasus lainnya.
Kasus-kasus di atas membuktikan kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan masih sangat tinggi, begitu juga akhirnya fenomena tersebut memberikan ketakutan berlebih terhadap para perempuan ketika berada di ruang publik.
Jika menilik dan menelaah motif para pelaku, kasus-kasus yang melibatkan perempuan sebagai korbannya dikenal dengan istilah femisida. Penghabisan nyawa yang dilakukan dengan cara sadis atas dasar kebencian maupun ketersinggungan memenuhi indikator bahwa kasus-kasus di atas termasuk femisida.
Menurut World Health Organization (WHO), pembunuhan ataupun kekerasan pada perempuan akibat kebenciannya terhadap perempuan dinamakan femisida. Menjadi bentuk paling ekstrem dari diskriminasi terhadap kesetaraan gender, epidemi femisida memang perlu menjadi perhatian seluruh kalangan.
Diana Russel adalah tokoh pertama yang memperkenalkan istilah femisida pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”. Maksud dari misogini sendiri adalah suatu bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan dikarenakan suatu motif kebencian.
Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan. Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan.
Deklarasi Wina tentang Femisida (2012) memetakan sebelas bentuk femisida yaitu:
- Kekerasan rumah tangga/pasangan intim
- Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan
- Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan atas nama “kehormatan” (honour killing)
- Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konflik bersenjata
- Pembunuhan terkait mahar
- Pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender
- Pembunuhan terhadap perempuan aborigin atau perempuan masyarakat adat
- Pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin
- Kematian terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation)
- Tuduhan sihir
- Femisida lain yang terkait dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api.
Pada tahun 2024 sendiri, kasus femisida di Indonesia terbanyak adalah emosi akibat cemburu atau sakit hati, yaitu sebanyak 95 kasus; disusul oleh femisida terkait ekonomi sebanyak 39 kasus; kekerasan seksual sebanyak 24 kasus, ekskalasi KDRT sebanyak 12 kasus, ketersinggungan maskulinitas 9 kasus, perselisihan layanan seksual 8 kasus, menolak bertanggung jawab 5 kasus, peran gender perempuan 5 kasus, kebencian atau prasangka gender 3 kasus, malu atas dasar nama baik atau kehormatan 3 kasus, lain-lain dan tidak disebutkan sebanyak 43 dan 44 kasus.
Dilansir dari laman Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), motif yang kerap digunakan oleh pelaku femisida menunjukkan kemiripan di setiap kasusnya. Pola yang digunakan pelaku biasanya sangat kental dan sarat akan sadisme berlapis terhadap perempuan, seperti penganiayaan, pemerkosaan, penelanjangan, hingga pembunuhan.
Femisida berbeda dengan pembunuhan pada umumnya karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, dan opresi. Femisida juga merupakan buah dari misoginis dan budaya patriarki yang mengakar kuat. Berdasarkan data yang dihimpun dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 80 persen pelaku femisida lahir dari orang terdekat korban dan umumnya laki-laki.
Di Indonesia, penghilangan nyawa diatur tersebar dalam Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga di KUHP yaitu Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Namun motif, modus dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman.
Mengingat femisida intim menjadi jenis femisida tertinggi, relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi Perempuan. Negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian. Secara hukum, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian maka penting pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Solusi sederhana yang dapat dilakukan sebagai para perempuan agar mengurangi resiko terhindar dari pelaku kejahatan femisida adalah mempersiapkan pengamanan untuk diri sendiri. Para perempuan dapat belajar bela diri atau hanya dengan mempersiapkan alat-alat perlindungan, seperti alarm atau semprotan merica.
Diharapkan juga para perempuan untuk selalu waspada jika berada di lingkungan yang sepi dan dianggap kurang aman. Apabila merasa terancam, dapat langsung menghubungi pihak berwenang atau hanya menghubungi pihak terdekat, seperti keluarga.
Penulis: Dwi Khoiriyatun Nikmah