
Akhir-akhir ini kita sebagai masyarakat Indonesia dikejutkan dengan beberapa problem sosial kenegaraan yang sangat menyita perhatian, baik pikiran ataupun tenaga. Salah satunya adalah tentang munculnya beberapa RUU yang di anggap kontroversial diantaranya RUU KPK, RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Ketenagakeejaan, RUU Pertanahan dan lainnya.
Hal itu membuat gempar di jagad dunia maya dan dunia nyata. Hingga menimbulkan sumbu perpecahan di Negeri Indonesia ini.
Dunia maya dipenuhi dengan berbagai macam bentuk ujarankebencian, kekecewaan sampai pada taraf konten fitnah yang bisa merugikan orang lain. Selain itu dunia maya turut di hebohkan dengan adanya demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Mahasiswa berupaya menyuarakan aspirasi terkait dengan RUU kontroversial dan beberapa problem yang sedang menimpa negara. Sebuah gerakan masif yang dilakukan mahasiswa di beberapa wilayah tersebut, menjadi salah satu gambaran bahwa mahasiswa masih memegang teguh tanggungjawab sebagai nilai-nilai yang ada pada kelompok sosial. Yakni Social Control dan Agent Of Change.
Namun sangat disayangkan sebuah upaya mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya di nodai dengan sebuah tindakan anarkis, profokativ dari beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab. Akhirnya sebuah aksi yang mula direncanakan berjalan dengan damai harus berakhir dengan kericuhan.
Ironisnya gerakan mahasiswa mengorbankan beberapa anak bangsa, yakni Randi (21), mahasiswa semester VII Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, meninggal setelah tertembak peluru tajam di bagian dada sebelah kanan saat berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra), yang berakhir ricuh, Kamis (26/9/2019).
Selain itu, gas air mata, water canon juga menghujani para demonstran mahasiswa. Yang terjadi adalah berperang dengan saudara sebangsa sendiri. Antara mahasiswa dengan pihak keamanan (polisi). Pihak keamanan yang mendapatkan tugas untuk mengayomi rakyat, seolah menjadi beringas dalam melakukan pengamanan terhadap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Padahal tujuan awalnya bukan untuk melawan dengan aparat keamanan negara. Melainkan menyuarakan aspirasi supaya di dengar oleh penguasa. Apapun alasannya sebuah anarkisme tidak bisa dibenarkan. Sebab sebuah anarkisme dapat merujuk pada hilangnya nyawa seseorang.
Beberapa sebab yang kita terkadang hanyut dalam jurang tindakan anarkisme tersebut, yakni kekecewaan, emosi diri yang tidak terkendalikan, dan tingkat literasi minim dalam menghadapi dunia maya yang tampak abu-abu dalam hal kebenaran. Dalam hal ini biasa disebut simulacra.
Dunia Simulacra
Jean Baudrillard salah satu pemikir post-strukturalisme yang memperkenalkan konsep dunia simulasi. Berbagai macam tampilan magis ditampilkan, citra diri ditinggikan, semuanya dibuat tampak nyata dan meyakinkan. Namun sejatinya dibelakang layar dipenuhi rekayasa dan kepentingan.
Sementara itu dalam dunia simulasi berlaku hukum simulacra, yakni upaya mengubah peristiwa maya jadi nyata, atau pun sebaliknya. Hingga pemikir postmodern asal Prancis tersebut mengungkapkan bahwa sulit memperkirakan hal-hal yang nyata dari hal-hal yang menyimulasikan yang nyata itu.
Sedangkan dalam media massa menurut Baudrillard media lebih banyak menampilkan dunia simulasi dengan corak hiperrealitas, yakni sebuah kenyataan yang dibuat oleh media, tetapi seolah-olah benar-benar realitas. Dengan cara menarasikan sesuatu yang dapat menggiring opini pembaca, bahasa dan kata sebagai kekuatan narasi simulasi media.
Lantas bagaimana cara kita untuk hidup dan mengahadapi dunia yang kaya akan informasi dan serba cepat. Tidak hanya itu yang kita butuhkan bukan hanya kecepatan menerima informasi, namun keakuratan sesuai fakta. Hal itu untuk menghindari maraknya sebuah informasi yang bisa dikatakan hoaks. Bagaimana caranya? Apakah kita akan hidup dengan segala kebimbangan terhadap suatu kebenaran yang dibentuk?
Literasi sebagai benteng
Kita semua sudah mafhum sebuah informasi tidak hanya kita terima hanya melalui bentuk tulisan saja. Namun sekarang informasi juga merambah pada virtual, suara, dan lainnya. Misalkan saja pada gerakan aksi mahasiswa turun ke jalan beberapa hari yang lalu. Kecepatan media konvensional kalah dengan kecepatan pribadi individu-individu yang di dukung dengan sebuah alat berukuran 5-6 cm atau biasa disebut gawai.
Dengan gawai yang di miliki, seseorang bisa memotret peristiwa kejadian, video, kemudian disebarkan secara luas di dunia maya. Namun dengan caption sesuai kepentingan pribadi individu tersebut. Celakanya jika yang menyebarkan adalah seseorang yang tidak bertanggungjawab dengan visi menyulut api perpecahan.
Ya, media konvensional sebenarnya masih memegang kendali informasi sesuai dengan fakta yang terjadi. Kepercayaan masyarakat pun masih tertuju pada kinerja media. Sebab media tak hanya melaporkan apa yang terjadi namun dengan independensi nya media harus bekerja sesuai kaidah-kaidah jurnalistik yang ada. Prosedur kinerja jurnalistik di pegang teguh. Marwah media konvensional di pertaruhkan dalam sebuah pemberitaan dalam dunia teknologi saat ini.
Selain itu sebagai pembaca kita juga harus teliti memilah mana sebuah informasi yang bedasar fakta atau bukan. Maka dari itu dalam mengahadapi dunia simulacra seperti saat ini sikap yang harus kita miliki adalah skeptis. Skeptis adalah jantung dari sikap kritis. Yakni selalu mempertanyakan ulang sesuatu, tidak dengan menerima secara mentah-mentah. Kemudian klarifikasi kebenarannya, bisa dengan cara mencari beberapa informasi yang sama di media konvensional yang berbeda. Sebab terkadang beberapa media tidak memberitakan sebuah kejadian secara utuh. Hingga mengahasilkan berbagai macam penafsiran.
Selain itu membaca buku juga sangat diperlukan, sebab dengan membaca buku dapat memperkaya pengetahuan kita di segala bidang khazanah keilmuan. Sehingga tidak akan mudah tergoyahkan meskipun kita dihadapkan bentuk informasi yang merujuk pada hoaks atau berita bohong.
Selanjutnya menulis, kita tahu bahwa literasi tak hanya sebatas aktivitas membaca. Menulis, menyampaikan sebuah gagasan melalui tulisan itu juga termasuk aktivitas literasi. Menulis tidak bisa dijauhkan dari aktivitas membaca, sebab saling berkaitan. Begitu juga sikap kritis dan skeptis, dengan menulis kita diajak menyelami ke dalam beberapa sudut pandang dalam membaca suatu permasalahan. Jadi kita tak hanya terkungkung dalam satu sudut pandang pemikiran.
Penulis: M. Iqbal Shukri