
Amanat.id – Pasti kalian pernah dinasihati seseorang dengan ucapan, “ jangan marah-marah nanti cepet mati lo”. Jika itu sering kalian alami, pernahkah terfikirkan, apakah ucapan itu benar atau hanya kebohongan?
Marah memang sudah menjadi sifat dasar bagi setiap manusia. Menurut Purwanto dan Mulyono (2006), hal itu dipicu dari dua faktor, yaitu fisik dan psikis. Misalnya, wanita yang menstruasi lebih mudah marah, ini merupakan salah satu faktor fisik.
Mengenai marah, Nabi Muhammad SAW telah melarang dalam hadisnya yang berbunyi, “laa taghdhob wa lakal jannah” (janganlah kamu marah maka surga bagimu). akan tetapi mengapa marah itu dilarang?
Dalam penelitian yang dilakukan Muller dan Triantoro pada 2012 tentang hubungan antara psikososial dan infrak (serangan) jantung, sejumlah 300 dari 331 (90,6 persen) pasien yang mengikuti penelitian tersebut terbukti secara klinis memiliki perasaan marah.
Menurut penelitian tersebut, 6 dari 7 (85 persen) penderita depresi yang meninggal dalam waktu 6 bulan juga menyimpan perasaan marah. Demikian juga dengan 13 dari 14 pasien yang meninggal 12 bulan setelah mengalami infrak. Apabila marah disimpan terlalu lama dapat menimbulkan penurunan kesehatan yang cukup signifikan.
Iowa State University juga mengeluarkan Penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Social Science & Medicine, sebanyak 25 persen pria pemarah dapat meningkatkan risiko terserang penyakit 1,57 kali lipat dibandingkan pria yang tidak mudah marah. Penelitian ini melibatkan 1.307 pria yang diamati sejak 1968 sampai tahun 2007.
Penelitian di atas menunjukan bahwa marah sangatlah berkaitan dengan kesehatan tubuh. Jika seseorang tidak dapat mengendalikannya, bahkan sampai disimpan berhari-hari sangatlah mungkin untuk terkena penyakit yang menyebabkan hilangnya nyawa .
Di samping melemahkan jasmani, marah juga berimplikasi negatif secara psikologis. Setelah seseorang sadar dari kemarahan biasanya rasa penyesalan akan menghinggapi dirinya. Rasa itu kadang-kadang sangat mendalam sehingga mengakibatkan pengutukan terhadap diri sendiri, hingga depresi atau bersalah yang menghantui untuk waktu yang lama.
Selain marah dapat berakibat pada persoalan psikis tenyata marah juga berakibat pada kehidupan sosial. Sesorang sering marah mengakibat putusnya hubungan sosial antara teman sahabat bahkan keluarga bahkan dapat mngakibatkan hilangnya pekerjaan puncaknya sampai pada melukai orang lain bahkan membunuh.
Mengendalikan amarah.
Melihat penjelasan di atas, apakah kalian tetap ingin marah-marah terus?
Marah memang tidak bisa dihilangkan dari manusia karena sudah menjadi sifat asli manusia itu sendiri. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada cara mengendalikannya. Nabi Muhammad SAW sudah memberikan tata cara bagaimana mengendalikan amarah agar tidak semakin membara.
Beliau bersabda “idza ghodoba ahadukum fahuwa qoimun fayajlisu waidza dzaha anhu ghodzobu fal yadh thoji” (Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur) (HR Ahmad).
Bila melihat hadis di atas, yang dimaksudkan Nabi bertujuan menurunkan tensi kemarahan. Hal itu, sesuai dengan pelitian Psikoterapis Hilda Burke di London yang menyatakan, Seseorang yang sedang marah biasanya memiki detak jantung yang lebih cepat, hawa nafsu tinggi untuk melampiaskan kemarahan dan memiliki perasaan yang tidak tenang. Gejala seperti itu dapat diredam dengan cara menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kembali agar tubuh menjadi lebih rileks.
Selain menenangkan diri nabi juga mengajarkan cara lain secara religius yaitu menengkan amarah dengan berwudu, bertawudz, istighfar, dan mengarahkan kepada perbuatan yang positif.
Psikolog dari Harley Street, dokter Becky Spelman mengatakan, ada banyak hal untuk mengelola emosi, misalnya meluangkan waktu untuk menuliskan isi pikiran atau apa yang anda inginkan dari hidup. Bisa juga dengan menjalani hobi seperti menjahit, mendesain, menggambar, dan hobi kreatif lainnya.
Penulis: M. Syamsul Ma’arif (Kru Magang SKM Amanat 2018)
Editor: Semoroneng Bumi