
Amanat.id– Hingga saat ini, program pendidikan barak militer milik Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, Kamis (19/6/2025).
Sejak resmi dimulai pada Kamis, (1/5) program pendidikan dengan mengirimkan anak ke barak militer masih menjadi bahan diskusi dan kajian oleh kalangan akademisi, termasuk Guru Besar Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Guru Besar Pendidikan UIN Walisongo, Raharjo menyampaikan perlu adanya definisi yang jelas tentang kenakalan remaja.
“Definisi kenakalan remaja itu ada banyak. Jika nakalnya sudah di tahap minum-minuman keras, tawuran, dan sejenisnya lebih baik dikirim ke barak,” ucapnya saat ditemui secara langsung, Kamis (19/6).
Anak yang dikirim ke barak, menurut Raharjo, merupakan remaja yang sudah tidak bisa diatasi oleh orang tua dan guru.
“Anak yang dikirim ke barak ini ya anak yang memang nakal dan orang tua serta guru sudah tidak bisa menangani,” ujarnya.
Menurutnya apabila kenakalan remaja masih dalam ranah pendidikan, tak perlu untuk mengirimkannya ke barak militer.
“Jika kenakalannya bolos atau nyontek, tidak itu masih bisa diatasi pihak sekolah karena di sekolah ada guru Bimbingan Konseling (BK), tidak perlu ke barak,” katanya.
Ia menjelaskan pemberian stimulus pada anak dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kenakalan remaja layaknya yang disebutkan dalam Teori Burrhus Frederic Skinner.
“Semisal masih ada anak-anak yang memungkinkan diberikan stimulus yang baik, seperti diberikan contoh perilaku baik oleh orang lain dan tenaga pendidik, maka itu masih bisa diatasi pihak sekolah,” jelas Raharjo.
Raharjo mengatakan mengirimkan anak ke barak dapat menjadi solusi apabila kenakalan terjadi di luar sekolah, namun harus dengan seizin orang tuanya.
“Terkadang di luar sekolah melakukan hal negatif, apabila diberikan hukuman keras dari sekolah, guru akan dilaporkan ke polisi. Maka pengiriman ke barak merupakan solusi yang seimbang dengan izin orangtua,” tambahnya.
Efektivitas kebijakan yang belum pasti
Menurut Raharjo, efektivitas menanggulangi kenakalan remaja dengan pendidikan ke barak belum bisa dipastikan hasilnya.
“Jika membahas efektivitas belum bisa dipastikan karena kebijakannya baru berlangsung dan belum ada penelitiannya,” tuturnya.
Raharjo mengatakan perlu untuk melihat latar belakang atau penyebab terjadinya kenakalan remaja.
“Semisal anak masih memungkinkan untuk didengar ya didengar, oleh karena itu perlunya mengetahui latar belakang kenakalannya,” ucapnya.
Menurutnya pendampingan psikolog juga diperlukan dalam seleksi anak yang akan dikirim ke barak militer.
“Agar hal yang dicemaskan terkait mental tidak terjadi, maka diperlukan seleksi ketat siapa yang akan dikirim ke barak, termasuk tes psikologi,” imbuh Raharjo.
Apabila ingin diterapkan di daerah lain, sambungnya, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas kebijakan tersebut.
“Jika ingin diterapkan di daerah lain, harus dilakukan penelitian terlebih dahulu hasil dari pendidikan barak dan mekanismenya,” sambungnya.
Menurutnya hal positif dari pendidikan barak militer adalah anak-anak menjadi lebih disiplin dan patuh.
“Jika dibilang brainwash ya bisa jadi, karena di barak pasti diajarkan untuk mentaati orangtua, guru, dan pemerintah dengan sedikit ancaman dengan artian positif agar mereka tidak berontak,” ungkapnya.
Ia mengatakan brainwash juga diperlukan dalam konteks positif untuk meminimalisir pemberontakan.
“Ketika ada yang melakukan pemberontakan ke ranah negatif seperti teroris juga diperlukan brainwash agar seseorang itu sadar dan tidak mengulangi kejahatan itu lagi,” jelasnya.
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHUM) UIN Walisongo, Ahmad Wijananto menjelaskan bahwa mengirim anak ke barak merupakan alternatif pendidikan.
“Pemerintah Jawa Barat ini memberikan wadah bagi orang tua yang sudah kewalahan menghadapi kenakalan anak di bawah naungan militer” ungkapnya.
Selaras dengan pendapat Guru Besar Pendidikan UIN Walisongo, Ahmad juga belum bisa memastikan keefektivitasan kebijakan tersebut.
“Belum bisa dibilang efektif karena baru berjalan beberapa bulan dan belum terlihat hasilnya,” jujurnya.
Mahasiswa asal Bandung, Jawa Barat tersebut berharap tidak ada kepentingan politik praktis dalam pelaksanaan program pendidikan ke barak.
“Semoga pelaksanaan kebijakan ini tidak ada politik praktis karena jika politik masuk ke ranah pendidikan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi pendidikan,” harapnya.
Reporter: Yumna Amiliatun Nida
Editor: Moehammad Alfarizy