
“Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita”.
Begitulah petuah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia dalam pidatonya saat Musyawarah Nasional ke-XI Partai Golkar yang kemudian menjadi sorotan publik di media sosial pada Agustus 2024.
Menanggapi ungkapan tersebut, Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu dalam orasinya saat aksi demonstrasi di Gedung MK Jakarta Pusat, memaknai istilah Raja Jawa sebagai ungkapan yang sengaja digunakan Bahlil untuk menyebut Joko Widodo.
Ada juga respons publik yang mengatakan bahwa Raja Jawa ditujukan untuk Presiden RI yang mayoritas berasal dari suku Jawa.
Namun, Bahlil mengatakan bahwa ungkapan Raja Jawa hanya sebagai candaan politik saja. Ia enggan menjelaskan lebih jauh maksud istilah tersebut.
Jika menilik makna etimologi, “Raja” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti pemimpin. Sementara “Jawa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat mewakili suku, pulau, dan bahasa. Istilah Raja mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-4 Masehi, ketika Kerajaan Tarumanegara, Kalingga, dan Mataram Kuno menyebut penguasanya sebagai “Raja”. Dilihat dari letaknya, kerajaan-kerajaan tersebut memang berada di pulau Jawa.
Sebenarnya tidak ada makna Raja Jawa secara khusus, selain makna harfiah atau istilahnya yang merujuk pada sistem feodal kerajaan di Jawa.
Adanya istilah Raja Jawa yang menggema dalam dunia politik, membuat pergeseran makna ini bukan hanya bentuk candaan politik seperti yang Bahlil ucapkan, tetapi juga dapat suatu sarkasme untuk mengkritik atau menyindir kepemimpinan saat ini.
Pergeseran makna Raja Jawa kemudian memberikan efek metafora berbentuk kritik terhadap demokrasi Indonesia yang dianggap tidak sepenuhnya terwujud.
Politik patronase, konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elit, praktik nepotisme, telah mencerminkan terjadinya perubahan persepsi dan simbolisasi pada kepemimpinan. Di mana kekuasaan berada di kendali otoritas tertentu, sementara prinsip-prinsip demokrasi semakin terabaikan.
Dalam konteks kekuasaan, filsuf asal Prancis, Michel Foucault berpendapat bahwa pergeseran makna seringkali mencerminkan perubahan dalam struktur kekuasaan dan diskursus dominan.
Artinya, suatu makna bukanlah sesuatu yang tetap melainkan selalu berada pada proses pembentukan dan pembongkaran tergantung dengan dinamika sosial.
Fenomena berubahnya suatu konotasi pada sebuah frasa adalah bagian alami dari perkembangan bahasa dan komunikasi. Menggambarkan bahwa semakin berkembangnya peradaban, manusia selalu menuju suatu kompleksitas yang dinamis.
Penulis: Faisa Dian Kresna