
Hal menyakitkan dan menyedihkan yang pernah dialami dalam hidup selalu ingin dilupakan oleh kebanyakan orang. Dengan begitu, kebahagiaan mungkin bisa datang setelah berhasil melupakan semua rasa yang dianggap sakit. Entahlah, aku belum piawai memaknai semesta dengan segala hiruk-pikuk lengkap dengan carut-marutnya.
Padahal, bahagia itu sendiri perihal sebuah penerimaan. Menerima rasa sakit dan pedih di masa lalu sebagai perjalanan hidup yang perlu untuk dinikmati saat ini. Banyak yang memilih untuk ‘lupa’ ketimbang ‘menerima’. Aku menjadi salah satu dari banyak orang itu.
Aku pikir, aku juga pernah ikut termasuk dalam kumpulan orang yang membuang-buang waktu untuk sekedar melupa. Aku suka mengubur dalam-dalam berbagai kenangan dan membunuh semua rasa yang pernah aku bangun dengan indah padahal belum diakhiri. Rasanya memang absurd untuk dijelaskan. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak ingin kelam dan terjerembap dalam sebuah kenangan yang akhirnya akan tetap sama, hanya memekik sunyi.
Aku berbicara begini karena aku merasakannya. Punya kenangan buruk, menyakitkan dan menyedihkan yang pernah aku alami sepanjang perjalanan. Seperti kenangan yang terjadi beberapa tahun lalu. Kehilangan memaksaku untuk melupakan.
****
Semerbak aroma yang sudah lama tidak
tercium, masuk tanpa permisi lalu liar menusuk lubang hidung. Memaksa mata untuk terpejam sejenak ikut menikmati. Aku lupa, sudah ke berapa kalinya berdiam diri dalam balutan lampu remang pinggir jalan di suasana angkringan seperti ini. Sepanjang musim menatap kosong ke arah yang lurus. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak awal aku menimba ilmu di kota ini. Gerimis tipis yang menimbulkan aroma petrichor mendesakku untuk membawa lagi puing-puing ingatan yang belum sepenuhnya luluh lantak.
Entah bagaimana kali pertama aku menemukannya, aku lupa. Mungkin itu satu-satunya lupa yang masih aku ingat. Deret kursi di kota dengan suasana khas Keraton di seberang jalan itu berhias cahaya bohlam kuning yang tentunya lebih terang dari lampu pinggir jalan ini. Aku mulai mengingatnya kembali.
Malam ini, aku terketuk untuk datang menghadiri undangan temanku masa kuliah di Yogyakarta. Iya, kota kecil yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ku ini selalu memberikan kerinduannya. Diskusi terbuka tentang seni yang diadakan Pemkot setempat mengusung tema ‘Perempuan dalam Bayang’ membuatku minat. Kian aku pikirkan, kian mengusik ketenangan otakku. Ada sedikit memori yang benar-benar terlupakan, bahkan tidak ada unsur kesengajaan untuk melupakannya.
Danar, temanku ini memang sangat menyukai seni, apapun itu bentuknya. Baginya, hidup adalah seni, bernafas adalah seni, hingga mati sekalipun adalah seni. Aku pernah bertanya tentang itu. Mau tahu apa jawab Danar? Katanya begini; “Mati itu termasuk seni, seni menghargai siklus kehidupan dari Tuhan.” Entahlah, aku tidak sanggup menyusul jalan pikirannya yang sudah terlalu jauh itu.
Acara malam ini dibuka dengan penampilan indah dari perempuan yang tengah berdiri di atas panggung dan membacakan puisi karya seniman tersohor, WS. Rendra. Cukup membuat bulu kuduk semua orang yang hadir itu tegak berdiri. Aku merekam jelas dengan dua pasang mata seolah tidak ingin sedetik pun tertinggal momen ini.
…..
Perempuan yang Tergusur
Tanpa pilihan
Ibumu mati ketika kamu bayi
Dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
Oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
Ia menambah penghasilan sebagai germo.
Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
Lalu kurang setoran kamu berikan, Ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
Ketika ikut demontrasi politik
Sebagai demonstran bayaran.
Sebagai janda yang pelacur
Kamu tinggal di gubuk tepi kali
Dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
Menggolongkanmu sebagai tikus got
Yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.
Di dalam hujuan lebat pagi ini
Apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
Sambil memeluk kantong plastik
Yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?
…….
Kupingku terasa panas, dadaku kembali berdebar tak karuan, pikiranku mulai melayang entah ingin kemana. Rasanya, hatiku pecah untuk kedua kalinya. Batinku terus memberontak mencari lagi pecahan kenangan yang sudah hampir sepenuhnya aku lupakan. Bukan, bukan tentang perempuan yang sedang membacakan puisi itu. Tapi tentang perempuan di masa lalu yang pernah aku temui.
****
Yogyakarta, 28 Desember 2008
Gadis yang selalu mengenakan pakaian gelap dengan rambut yang di kuncir asal, duduk berhadapan denganku. Gadis ceria yang selalu membagikan kisahnya denganku. Aku masih ingat senyum hangatnya. Sehangat minuman yang selalu ia pesan, es jahe hangat. Lekungan tipis itu cukup membuat runtuh yang ada dalam organ tubuhku.
“Maaf, Ndre. Ibuku sudah mati. Mana mungkin aku berpangku tangan lagi. Menjadi seniman tidak cukup untuk menutup semua hutang ibuku. Sudah ya, bisa-bisa nanti kau juga yang ikut mati karena memikirkan ini!” tampak wajahnya masam. Tersenyum kecut dengan makna yang rancu.
Aku mengalihkan pandangan. Mengamati lampu remang yang seolah ikut terlibat dalam percakapan sepihak ini. Aku tetap akan diam sekalipun gadis itu kembali mengatakan fakta selanjutnya mengenai pilihan hidup untuk berhenti melukis dan membaca puisi. Iya, aku mengenalnya dari pertemuan tidak sengaja di acara pameran seni. Kita sama-sama baru saja lulus Sekolah Menengah Atas.
“Sudahlah, Ndre, aku baik-baik saja. Aku akan menikah dengan laki-laki itu. Semua pilihan memang pahit, Ndre, kau jangan ikut mempersulit diri dengan masalahku. Mulai sekarang, urusi saja hidupmu sendiri.” Tidak ada raut takut yang terlukis.
Kini, aku mencoba memperbaiki posisi duduk. Mulutku masih tidak ingin menyangkal atau sekedar afirmasi. Kedua retina ini masih sibuk menatap kalung yang terpasang cantik pada leher jenjangnya.
“Ibuku bilang Nirmala itu artinya Sempurna, tanpa cacat. Jika saja aku tahu dari dulu, aku akan protes untuk mengganti nama menjadi Niskala. Biar saja sekalian tanpa makna! Toh, hidupku penuh dengan rumpang. Tidak ada yang utuh.” Kini tangan kecilnya mengangkat gelas lusuh itu, lalu menikmati minumannya.
Aku berusaha sekuat mungkin untuk menyimpan kata, atau bahkan satu abjad pun tak kuizinkan lolos dari bibir ini agar yang ia ceritakan tidak melebar. Gadis yang aku temui dengan kisah pilunya di sudut kota tua itu terlalu larut dalam kepahitannya. Usai pertemuan terakhir yang ia kehendaki itu, Tiga tahun setelahnya Tuhan mempertemukan kembali.
Nirmalaku, wanita yang anggun telah diubah oleh keadaan. Menjadi wanita liar dengan sayat pilu dalam perjalanan hidupnya. Aku bertemu pada lorong bawah jembatan kota dengan pakaian yang tidak lagi berwarna gelap, namun justru malah gemerlap menyaingi lampu kota. Mataku sampai silau melihatnya. Setelah kembali kuamati, kalungnya bukan lagi bertulis nama, melainkan diganti dengan manik-manik glamor yang menyilaukan mata. Bibir itu, bibir itu tidak setipis tiga tahun lalu. Gincu merah merona telah menutupinya. Minuman yang ia pesan bukan lagi es jahe hangat, melainkan arak dengan bau yang menyengat.
“Ndre, pertemuan tiga tahun lalu ternyata masih berlanjut ya? Rasanya aku telah mendahului takdir. Keadaan terlalu sering memainkanku. Sekarang aku Lacur, Ndre, laki-laki biadab itu memang menukarkanku dengan cuan. Bagianku hanya rasa sakitnya Ndre. Aku malu denganmu, tapi memang benar, laki-laki itu mengubahku. Aku bukan lagi Nirmala, Aku semakin Niskala.”
Mestinya bukan hanya kau yang dimainkan keadaan, aku pun dimainkan kenyataan. Nirmalaku, sama seperti jalan cerita puisi Rendra. Nirmalaku, sama seperti protes yang pernah ia ucapkan sendiri. Nirmalaku musnah bersama dengan pilihannya. Aku merasa menjadi lelaki yang penuh dengan penyesalan. Pernyataan ‘Andai’ dan ‘Jika saja’ selalu membayangi setiap apapun yang aku pikirkan. Membiarkan Nirmalanya menempuh jalan terjal sendiri. Hingga, kabar itu menghampiri.
****
Sudah, aku rasa cukup. Aku tidak kuat untuk mendengarkan puisi itu hingga selesai. Kakiku lemas, sepertinya tulang-tulang tubuh ini kehilangan fungsi. Danar tahu apa yang kini sedang berkecamuk dalam jiwaku. Aku menceritakan tentang Nirmalaku padanya saat pertemuan yang dikehendaki Tuhan itu terjadi. Tepatnya, ia juga menjadi saksi terakhir kali aku bertemu Nirmala. Kini, Danar memapahku keluar gedung dengan segera.
“Setelah lima tahun berlalu kau tahu profesinya, kau masih pula mengingatnya, Ndre? Andre, aku mendukung upayamu untuk melupakannya setelah kau menceritakan semua ini,” ucapnya.
“Kita menepi saja dari sini. Mencari ketenangan dan juga mengisi kekosongan perutmu. Sudahlah, aku tidak mau banyak menghakimi kisahmu, Ndre,” lanjut Danar menarikku pergi menuju angkringan di seberang jalan tadi.
Angkringan sedang tidak ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Selebihnya, mereka tentu sedang ikut menonton pembukaan acara diskusi tadi. Suasana cukup lengang. Sayup terdengar berita di Televisi.
Siaran program televisi lokal memberitakan perempuan yang tergusur itu bersimbah darah di kamar nomor 28 lantai delapan tempatnya bekerja menjadi pemuas duniawi. Nyawanya telah terlepas dari raga, lalu menuju apa yang sebenarnya dianggap pulang. Laki-laki yang selalu disebutnya biadab itu tertembak mati pula oleh aparat atas percobaan perlawanannya. Iya, Aku hampir setengah sadar mendengar dan melihat sendiri kabar itu. Nirmala, perempuan yang tergusur itu pernah aku cintai dan masih akan tetap aku cintai.
Nirmalaku, rasanya, hatiku pecah bukan hanya kedua kali, tapi untuk ketiga kalinya. Nirmalaku, makin pilu saja alurmu, hingga pergimu pun kembali membuat aku merasa bukan lelaki yang pantas untuk menampung ceritamu, lelaki yang hanya berani mencintaimu namun tidak berani untuk mengungkapkannya dan memilih untuk melupakan. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan semua perasaan ini? Yang ada, kau hanya akan tertawa. Nama Andre, dalam bahasa Yunani artinya (bentuk lain dari andreas) kuat, jantan. Tapi, aku pun tidak seperti itu. Pita suara yang sudah rusak membuat hidupku hanya berpacu pada tulisan dan bahasa isyarat. Apa kau mau menerimaku? Kau tahu itu dari awal bukan? Aku rasa, aku juga tidak sejantan dan sekuat arti namaku. Nirmalaku, kisahmu yang rumpang kini benar-benar telah rampung.
Aku melepaskanmu Nirmala, aku tidak lagi mencoba untuk melupakanmu. Akan aku terima dengan baik semua cerita yang pernah kau jabarkan dengan panjang seperti rel kereta dan kau kemas menarik dengan penuh ceria. Aku hanya membenci peranku. Yang menjadi pendengar dan berangan untuk masuk dalam ceritamu namun tidak cukup nyali untuk menyuarakannya. Tenangkan pergimu Nirmalaku, bagiku kau tidak pernah menjadi Niskala. Jika dunia tidak menerimamu, barangkali bagian yang lain akan bergembira menyambut jiwamu.
“Sudahi sedihmu, Ndre, Istrimu sudah selesai membacakan puisi itu,” ucap Danar.
Penulis: Nurul Fitriyanti – Lurah Kampoeng Sastra Soeket Teki
(Cerpen pernah dimuat dalam Majalah Soeket Teki edisi 10, 2021)