
Saat ini, dunia pendidikan tinggi sedang mengalami guncangan hebat akibat pandemi Corona. Setelah sebelumnya terpaksa menerapkan kebijakan kuliah online, kini ia kembali dihadapkan pada persoalan yang lebih rumit. Yakni problematika kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan mahasiswa di semester ganjil (2020/2021) nanti.
Dalam surat edaran nomor: B-752/DJ.I/HM.00/04/2020 tentang Pengurangan UKT/SPP PTKIN Akibat Pandemi Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) per tanggal 06 April 2020 lalu, tertera jelas jika ada pemotongan biaya UKT mahasiswa minimal 10 persen pada semester ganjil ke depan.
Namun, harapan akan pemotongan itu menjadi buah simalakama. Mahasiswa dipaksa menerima kenyataan pahit. Rencana pemotongan UKT sebesar 10 persen imbas dari pandemi Covid-19, gagal terealisasi.
Melalui Surat dari Dirjen Pendis nomor: B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020 tentang Penerapan Kebijakan dan Ketentuan UKT pada PTKIN yang dikeluarkan pada 20 April 2020 menyebut, pemotongan UKT sebesar 10 persen harus dibatalkan.


Keputusan mendadak yang dikeluarkan oleh Kemenag tersebut bukan tanpa alasan. Ini merupakan bentuk perintah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengharuskan setiap Kementerian memangkas anggaran sebesar Rp. 2,2 triliun untuk membantu penanganan Covid-19.
Pembatalan pemotongan UKT tersebut didasarkan atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dan Surat Menteri Keuangan nomor: S-302/MK.02/2020 tentang Langkah-langkah Penyesuaian Belanja Kementerian/Lembaga tahun anggaran 2020 dari Rp. 54.970.180.057.000 menjadi Rp.52.731.580.388.000. Nantinya, dari jumlah tersebut, program Pendidikan Islam dikurangi sebesar Rp. 2.020.000.000.000 (dua triliun dua puluh miliar rupiah).
Atas dasar inkonsistensi kebijakan diskon UKT oleh Dirjen Pendis inilah yang kemudian memicu kecaman dari mahasiswa yang merasa dirugikan atas keputusan ini. Hingga pada tanggal 29 April lalu, tagar #KemenagJagoPHP sempat menempati trending topik teratas di Twitter.
Gelombang penolakan pun gencar dilakukan mahasiswa. Melalui Dema dan Sema PTKIN se Indonesia, mereka berkolaborasi dan mengajak mahasiswa melakukan gerakan lewat media sosial, dalam hal ini Twitter, dengan membuat tagar#KemenagJagoPHP dan #KemenagPrank. Bahkan, sejumlah akun pejabat negara pun tak luput dari ‘serangan’ mahasiswa. Hal itu sebagai salah satu bentuk kekecewaan dan protes mahasiswa atas pembatalan diskon UKT.

Namun selain alasan pemotongan anggaran, ada satu alasan mengapa pembatalan diskon UKT dilakukan. Dikutip dari radarjember.jawapos.com, Sabtu (25/04), pembatalan diskon UKT ini, tidak luput dari desakan yang dilakukan oleh Forum Pimpinan PTKIN, melalui surat hasil notulensi rapat forum tersebut.
Di satu sisi atas pencabutan Surat Edaran Diskon UKT tersebut, terlihat Dirjen Pendis dan Kemenag terkesan tidak mempersiapkannya dengan matang. Hingga kemudian ada blunder, yang kemudian digugat oleh Forum Pimpinan PTKIN yang tidak sepakat dengan adanya Diskon UKT.
Di mana hal itu tertulis pada notulensi rapat Forum Pimpinan PTKIN pada point satu, yang berbunyi, secara hirarki hukum, UKT ditetapkan oleh Keputusan Menteri Agama (KMA) yang tidak bisa dianulir sebagian atau seluruhnya oleh pejabat di bawahnya, termasuk Dirjen Pendis.
Menerka sejauh mana keberpihakan Forum Pimpinan PTKIN terhadap mahasiswa
Di sisi lain adanya surat hasil notulensi rapat, kiranya memunculkan beberapa poin pula yang menimbulkan pertanyaan, sejauh mana Forum Pimpinan PTKIN berpihak terhadap mahasiswa?
Kita setidaknya bisa menerka keberpihakannya melalui poin-poin hasil notulensi rapat Forum Pimpinan PTKIN. Salah satunya dalam poin dua, yang mengungkapkan Besaran UKT Exsisting sebaiknya tidak ditambah dan atau dikurangi. Dengan alasan, dapat merusak postur anggaran dan administrasi keuangan yang sudah berjalan, menyebabkan instabilitas pembayaran UKT di semester berikutnya, memancing tuntutan berlebihan dari massa mahasiswa, berapapun potongan yang diberikan tidak akan memuaskan, agar tidak menjadi preseden buruk bagi masa-masa mendatang bahwa UKT Exsisting bisa diubah oleh desakan massa, pada satker yang mayoritas Dosen Tetap Bukan PNS, dan Dosen LB, akan mengganggu anggaran gaji dari sumber PNBP.

Melihat poin tersebut kiranya, Forum Pimpinan PTKIN cenderung tidak berpihak pada mahasiswa. Bahkan cenderung bersikap lempar tanggungjawab. Mereka tidak mau ribet dengan kerja-kerja perubahan administrasi dan anggaran keuangan, jika diskon UKT direalisasikan, dengan dalih-dalih di atas. Dalih yang tentunya bersifat mengada-ada, dan sepihak.
Selain itu, solusi yang ditawarkan Forum Pimpinan PTKIN, untuk mengantisipasi poin dua tersebut, kiranya terlihat tumpang tindih, dengan beberapa dalih yang telah disampaikan. Seperti solusi tentang tawaran mengganti mereka (mahasiswa) yang tidak mampu dengan beasiswa, kelompok ini terutama UKT golongan I. Jika tawaran ini dipakai, tidak dapat dipungkiri juga akan terjadi polemik baru. Karena ada titik ketidakadilannya.
Di mana akibat pandemi ini, seluruh mahasiswa kiranya terkena dampaknya. Jika hanya UKT Golongan I saja yang diberikan bantuan beasiswa, apakah Forum Pimpinan PTKIN sudah yakin hal itu akan tepat sasaran dan tidak menimbulkan sikap iri, atau memancing kegaduhan massa yang lebih besar? Ditambah dengan masih adanya keluhan dilingkup mahasiswa tiap tahunnya, tentang UKT Mahal, dan ketidaksesuaian penerima besaran UKT berdasarkan ekonomi keluarganya.
Kemudian tawaran solusi selanjutnya, perihal memberikan perpanjangan waktu pembayaran SPP selama 4 bulan. Terkait tawaran ini nampak jika forum Pimpinan PTKIN berusaha mengalihkan tuntutan mahasiswa soal Diskon UKT. Sebab yang dituntut oleh mahasiswa adalah terkait besaran nominal UKT, bukan waktu pembayaran.
Mahasiswa merasa hak-hak mereka tidak terpenuhi, padahal kewajiban membayar UKT untuk semester ini telah dipenuhi mahasiswa. Hal itu menjadi salah satu dasar oleh mahasiswa, meski hak semester ini tidak dapat terpenuhi supaya bisa dialihkan di pembayaran semester berikutnya. Yakni dengan adanya diskon UKT.
Mari kita lihat, Kemenag akan berpihak kepada siapa. Terlepas dari pembatalan diskon UKT. Langkah apa yang akan diambil oleh Kemenag, menerima tawaran solusi dari Forum Pimpinan PTKIN, atau mengabulkan kembali tuntutan mahasiswa tentang adanya diskon UKT. Atau Kemenag mempunyai alternatifnya sendiri, untuk mengatasi problem ini?
Hak mahasiswa
Mengapa mahasiswa geram, ketika terjadi pembatalan diskon UKT. Alasannya cukup sederhana. Dengan memakai analogi hak dan kewajiban. Di mana mahasiswa wajib membayar UKT untuk dapat mengikuti perkuliahan. Maka dari itu mahasiswa juga berhak untuk mendapatkan fasilitas penunjang pembelajaran, dan pelayanan Akademik.
Tapi jika hak-hak mahasiswa dirasa tidak terpenuhi, tentu tidak salah jika mahasiswa bergerak menuntut agar haknya dapat terpenuhi. Alih-alih peralihan sistem perkuliahan online ini membuat fasilitas yang didapatkan oleh mahasiswa, nyatanya tidak sesuai dengan UKT yang telah dibayarkan. Dengan rentan waktu perkuliahan menggunakan sistem kuliah online yang belum jelas ini, serta kurang efektifnya kuliah online itu sendiri.
Krisis Ekonomi Orangtua
Selain berdasar atas pemenuhan hak mahasiswa, kiranya faktor perekonomian keluarga juga sangat berdampak dengan pembayaran UKT.
Latarbelakang pekerjaan orangtua mahasiswa yang bervariasi, tidak menutup kemungkinan sedikit banyak perekonomian pendapatan keluarga berkurang. Seperti orangtua mahasiswa, yang pekerjaannya sebagai petani, dalam kondisi seperti ini mereka harus rela menelan pil pahit dengan harga hasil panennya anjlok.
Alih-alih untuk membayar UKT sang anak, mereka (baca: orangtua) terpaksa gigit jari untuk mengembalikan modal produksi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi bagi orangtua mahasiswa yang terkena PHK.
Melihat kondisi yang demikian, selayaknya Kemenag sudah sepatutnya berpihak kepada mahasiswa. Ini soal kemanusiaan.
Penulis: Agus Salim