Nasib nahas itu menimpa WA, seorang perempuan (15) asal Batanghari, Jambi. WA adalah korban kekerasan seksual dalam kasus incest rape, atau pemerkosaan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri. Setelah diperkosa kakak kandungnya AA (18), kini WA dikabarkan harus di penjara selama 6 bulan. Vonis itu dia dapatkan dari putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian Batanghari, pada 19 Juli 2018 lalu. Menurut berbagai pemberitaan, WA ditangkap Polres Batanghari sebab telah terbukti melakukan aborsi.
Perempuan itu lantas harus mengikuti dua peradilan dengan status yang berbeda. Pada peradilan pertama dia berstatus sebagai korban, hak-haknya didukung dan dilindungi untuk mendapatkan keadilan atas perlakuan kakaknya. Sedang dalam peradilan kedua statusnya sebagai terdakwa, dia mendapat tuntutan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Kabar itu terdengar pilu, korban pemerkosaan yang semestinya mendapat perlindungan justru harus mendekam di penjara. Masyarakat pun tentu menilai vonis itu sebagai putusan yang tidak adil . Dari segi kejiwaan, korban pemerkosaan sudah pasti mengalami trauma mendalam dan tekanan mental yang besar. Terlebih dalam kasus ini korban diperkosa oleh laki-laki yang berstatus kakak kandungnya. Idealnya keadilan bagi korban pemerkosaan itu mendapat perlindungan dan dukungan khusus, sebagai contoh perlindungan dari Komnas Perempuan dan Polres Batanghari.
Menurut WHO dalam catatannya “Responding to Children and Adolescents Who Have Been Sexually Abused”, kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga sedarah berpengaruh terhadap kesehatan seksual, alat reproduksi dan mental korban. Dalam kesehatan seksual dan reproduksi, hubungan seksual sedarah bisa mengakibatkan kecacatan kepada bayi. Selain itu, kehamilan dari kasus inses bisa menyebabkan infeksi menular seksual pada korban, kaitannya dengan vaginitis. Sedangkan kekerasan seksual bisa menyebabkan pendarahan, bahkan kerusakan organ internal tubuh.
Memaknai Keadilan
Dukungan kepada WA, korban dari kasus inses datang juga dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menganggap Pengadilan Negeri Batanghari, telah melakukan pelanggaran dengan mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dari paparan mereka, ICJR mengecam tindakan pengadilan yang menahan korban saat berjalannya proses peradilan. Majelis hakim dinilai telah lalai dengan tidak memeriksa kasus tersebut secara hati-hati, tidak melihat bahwa terdakwa adalah korban pemerkosaan. Padahal dalam Perma No.3 Tahun 2017, disebutkan hakim dalam mengadili harus menggali rasa keadilan untuk menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi.
Kasus ini mengantarkan penulis pada hipotesis awal bahwa sistem peradilan di negeri kita masih carut-marut. Ada ketidaksinkronan dari hubungan penegak hukum, regulasi dan nilai moral. Hal itu menjadikan konstitusi kita stagnan dalam pemikiran atau doktrin yang konservatif, tidak berkembang. Para penegak hukum seperti polisi, jaksa, advokat dan hakim, memiliki idealisme keadilan berdasarkan regulasi yang ada. Tiap ayat dan pasal dalam perundang-undangan menjadi permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan. Penyebab semua itu karena penegak hukum kita masih terpaku dalam paradigma tunggal positivisme.
Perlu ada pembenahan dari Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), dalam lingkup Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Integritas kelembagaan dan hakim perlu dipertanyakan. Dalam peradilan, hakim tidak sebatas melakukan verifikasi saklek atas maksud umum tiap pasal perundang-undangan. Semestinya hakim berani membuat putusan yang adil berdasarkan tafsiran undang-undang atas nama kemanusiaan.
Dalam hal ini, para penegak hukum di negeri kita perlu meninggalkan teori hukum positivisme. Paham itu sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis kontrol yang selaras dengan ribuan karakter manusia. Kaitannya dengan konteks dinamis dan multi kepentingan zaman, baik dalam proses atau peristiwa hukum yang terjadi.
Prof. Satjipto Rahardjo menawarkan konsep baru tentang hukum progresif. Menurutnya, penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter), melainkan berdasarkan semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Mengutamakan perilaku manusia daripada perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma hukum, akan membawa kita memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusian.
Tatanan hukum di negara kita perlu segera dibenahi. Kemunduran keadaan hukum di Indonesia, disebabkan pula karena langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam diri para penegak hukum. Apabila keadilan itu dikatakan sebagai investasi dari moral, maka para penegak hukum perlu dididik kembali agar lebih bermoral.
Sebagai penutup penulis mengutip statement Prof. Bernadus Maria Taverene, “Berikan kepadaku jaksa dan hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan yang baik”.
Fajar Bahruddin Achmad
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga UIN Walisongo Semarang.