“Tolong! Tolong!” terdengar jeritan dari kejauhan. Puluhan ribu misil berjatuhan seperti hujan yang mengguyur suatu tempat. Daerah gurun pasir yang gersang dibanjiri oleh darah manusia, mengingatkan pada pembantaian Yerussalem oleh Pasukan Salib pada tahun 1099 Masehi. Dalam kondisi yang mencekam, tak ada yang peduli dengan jeritan itu. Semua orang sibuk menyelamatkan diri dan bertahan hidup.
Tak pernah seorang pun menyangka, daerah gersang yang hanya dihiasi dengan kerikil menjelma seperti neraka. Peperangan yang dipicu oleh kepentingan politik semata. Seorang sejarawan menggambarkan bahwa kota itu seperti surga kecil yang diturunkan ke bumi. Sayangnya, itu adalah sebuah kesia-siaan.
Langit mulai menunjukkan tanda fajar. Tepat 24 jam setelah puing-puing pemukiman penduduk berubah menjadi taman bermain bagi tentara Yehovah. Tidak ada yang tersisa kecuali tangisan, jeritan, dan duka yang dirasakan oleh orang-orang Yerussalem. Jauh dari pemukiman penduduk, tepatnya di Lembah Jordan, terdapat perkemahan kecil organisasi kemanusiaan yang dipimpin oleh seorang bernama Berlin.
Di ruangan yang terbuat dari kayu berukuran 3×3 meter, sembari mendengarkan musik dan ditemani dengan sebotol Rum, ia berteriak dengan lantang.
“Revolutei! Revolutei!”
“Oh Marx, betapa kasihannya engkau. Dahulu engkau menjerit-jerit, mengatakan masyarakat tanpa kelas. Sekarang lihatlah, mereka acuh dan tak peduli,” ucapnya sembari menenggak segelas Rum.
Tak berselang lama, seseorang tergesa-gesa menghampiri ruangannya untuk menyampaikan berita tentang Yerussalem tadi malam. Tanpa mengetuk pintu dan beramah-tamah, ia memasuki ruangan dan melihat Berlin tengah asik bernyanyi.
“Apakah kau telah mendengar kabar tentang…. Astaga, sebotol Rum dan Mozart? Sepertinya kau berencana mengembalikan kejayaan abad romantik,” sarkas seorang pemuda.
Mendengar perkataan seseorang yang tiba-tiba masuk, Berlin berbalik dan melempar botol Rum ke arah pemuda itu.
“Apa masalahmu, Bung? Apakah perkataanku barusan membuatmu tersinggung?” ucap pemuda itu kesal.
“Sial, tidak, Rio. Mozart membantuku berpikir, hanya saja aku sangat kesal karena matahari sangat angkuh hari ini,” ucap Berlin ketika ia melihat yang datang ke ruangannya adalah Rio.
“Mengenai Yerussalem, Ya aku bahkan menyaksikan ketika ribuan misil menghunjam tanah suci itu tadi malam. Pemandangan yang indah, tapi sangat tidak manusiawi.”
“Semua turut menyaksikannya semalam, Berlin. Tentara Tuhan menjelma menjadi iblis yang merusak. Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
“Tidak ada,” jawab Berlin singkat.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengenal seorang Berlin yang pesimis,” ucap Rio.
“Memang tak ada yang harus dilakukan.”
“Apa kau sudah gila? Di mana kah idealismemu Berlin?” tanya Rio kecewa.
“Seseorang yang berpegang teguh pada impian yang tak nyata hanya akan membunuh diriku sendiri. Mereka memiliki pengaruh politik yang kuat, tak ada harapan,” ucap Berlin sembari termenung.
“Bagaimana dengan pers? Adakah informasi yang kau dapatkan dari media?” tanya Rio.
“Aku memiliki satu rencana. Tapi, rencana ini terlampau gila jika dilakukan oleh organisasi kemanusiaan kecil seperti kita. Akibat yang ditimbulkan jika rencana ini dijalankan adalah-,” ucapan Berlin terhenti. Ia mengambil sebatang rokok, menyulut dan mengisapnya. Aroma cengkeh memenuhi ruangan.
“Duduklah, Rio, biar aku perjelas semuanya.”
Rio melakukan hal yang sama dengan Berlin. Ia menyulut sebatang rokok, mengisap, kemudian duduk di kursi kayu yang sudah rapuh.
“Begini, aku telah mendapatkan informasi penting dari seorang jurnalis media di Inggris tentang pertemuan rahasia antara Pemimpin Yerussalem, Perdana Menteri Yehovah, dan Presiden Amerika Serikat perihal penyerangan tadi malam.”
“Mereka bersepakat untuk melakukan penyerangan terencana ini. Kemudian, pemimpin Yerussalem diberikan imbalan kekuasaan seumur hidup. Sekitar satu jam lagi, ia akan menggelar konferensi pers untuk menggalang dana bagi korban genosida,” ucap Berlin sembari menuang Rum ke dalam gelas.
“Apa yang akan dilakukan setelahnya? Pertama, ia akan menggunakan narasi agama sebagai sebuah argumen kuat, agar tidak dapat ditentang oleh orang-orang Islam. Kedua, Yehovah akan membangun pemukiman ilegal yang didukung oleh Amerika Serikat. Ketiga, mereka akan mengusir orang-orang Yerussalem ke suatu tempat dan membunuh jika mereka menolak,” Berlin berhenti sejenak mengisap rokoknya, kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Di tempat yang baru, orang-orang Yerussalem akan dipekerjakan paksa menjadi buruh industri untuk kepentingan Amerika Serikat dan Yehovah. Namun, konskuensi besarnya….”, Berlin berhenti lagi untuk sejenak, menenggak Rum terakhirnya kemudian tersenyum. “Seluruh orang yang berhubungan denganku akan mati”, ucapnya.
“Aku tidak ingin ada yang mati lagi. Sudah cukup bagiku untuk menyaksikan kekejian tadi malam,” lanjut Berlin dengan raut wajah datar.
Suasana hening sejenak. Berlin menyelesaikan isapan terakhir rokoknya.
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Sokrates sang Pahlawan?” Rio memecah keheningan.
“Nietzche mencemoohnya sebagai perusak kebudayaan seni Yunani,” jawab Berlin singkat.
“Ya bung, memang demikian. Namun, apakah kau mengerti kenapa ia rela meminum racun dibanding pergi meninggalkan Athena?” tanya Rio serius.
“Entahlah,” jawab Berlin tak acuh.
Rio lantas menatap mata Berlin dengan segala gairahnya, “Sokrates memang tidak seperti Nietzche yang memandang dunia kemalangan tiada arti. Tapi, ia memahami, bahwa meminum racun merupakan momen keabadian bagi dirinya setelah dituduh menyebarkan agama baru di Yunani.”
“Aku rela mati untuk rencanamu Berlin. Ketika di Barcelona, kau rela di penjara dan menyelamatkanku dari hukuman mati,” Rio mempertegas ucapannya sembari memperbaiki posisi duduknya.
“Tidak Rio. Aku yang memulai, maka aku juga yang harus mengakhirinya,” timpal Berlin meyakinkan.
“Apa rencanamu?”
“Sangat sederhana.” Berlin tersenyum penuh arti, sembari menyaksikan gelas rumnya di meja.
*
Berlin memang tidak berbohong. Pukul 9 pagi, Pemimpin Yerussalem mengadakan konferensi pers setelah melakukan kunjungan diplomasi dari Amerika Serikat. Dengan raut wajah muram, ia mulai membuka pembicaraan untuk menjelaskan kepada publik tentang serangan misil yang dilakukan tentara Yehovah tadi malam.
“Saya sangat sedih dan prihatin atas kejadian yang menimpa rakyat Yerussalem malam tadi. Saya sebagai kepala negara, mengecam keras tindakan biadab tentara Yehovah dan meminta umat Islam untuk memberikan bantuan kepada korban genosida sebagai bentuk solidaritas sesama muslim. Hasil bantuan yang diberikan, akan kami gunakan untuk pemulihan infrastruktur yang terdampak dari serangan misil,” ucap Yasser, seorang pria paruh baya berumur 56 tahun.
Di Lembah Jordan, Berlin dan Rio bersiap melancarkan rencananya. Mereka tidak akan berkhotbah laksana Petrus menyebarkan agama Kristen, tetapi menggunakan sesuatu yang dengan seketika seperti membiarkan manusia mati dalam kobaran api.
“Aku adalah seorang Nabi. Namun, aku tak dapat memberikan pertolongan. Umat manusia sedang dalam perjalanan menuju tragedi kehancuran. Kelahiran masyarakat baru tanpa agama.” Berlin memulai.
Dengan semarak yang berkobar dalam jiwanya, Berlin tak memutuskan bait-bait yang keluar dari mulutnya, “aku tidak mengerti alasan mereka melakukan tindakan itu, kali ini aku sepakat dengan Marx. Ketika Konstantinopel ditaklukkan, itulah awal mula penjajahan terhadap Hindia-Belanda.”
“Aku tidak menyalahkan agama, tetapi keberadaannya hanya dimanfaatkan manusia untuk kepentingan politik. Lebih baik tak ada sama sekali. Mungkin kalian menganggapku adalah seorang pemimpi, tapi aku bukan satu-satunya.” Video diakhiri dengan mulus dan aman.
Video tersebut layaknya bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Keangkuhan matahari, korban yang selamat dari serbuan misil, dan masyarakat menjadi saksi kemunculan seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang Nabi.
Seorang pemuja kesia-siaan yang hanya ditemani dengan sebotol Rum dan Das Kapital milik Karl Marx di setiap malam, sembari melantunkan mars “Bella Ciao” golongan kiri Italia, dan orang yang selalu mencemooh Marx setiap hari kini telah menjelma manusia paling berbahaya di dunia kini. Berlin memang bukan seorang yang taat agama, ia bahkan mengingkarinnya. Ia selalu berpikir agama menghambat kebebasan manusia.
*
Dua hari setelah video itu tersebar di media sosial, berbagai gerakan kiri muncul dibeberapa negara. Sebut saja Kuba, Amerika Serikat, Spanyol, Italia, dan Inggris. Pada hari yang sama, Berlin ditangkap di Lembah Jordan oleh Dewan Keamanan Pemerintah Dunia. Di perkemahan itu tak ada siapa pun selain Berlin.
Tanpa beramah-tamah, pintu dibuka dengan ayunan cukup keras menghasilkan suara bising di telinga. Ruangan yang hanya berukuran 3×3 meter itu seketika penuh oleh belasan tentara. Sembari menari-nari diiringi oleh Mozart sebagai instrumental, Berlin tak sedikit pun diluputi rasa takut.
“Oh, aku sungguh tersanjung dan merasa terhormat kedatangan tamu agung dari Pemerintah Dunia,” sapa Berlin hangat.
“Apakah kau ingin membunuhku? Memang apa salahku? Aku hanya memberikan sedikit percikan kecil,” ucap Berlin tanpa merasa bersalah.
“Baik, karena kalian ingin membunuhku….,” ucapannya terhenti. Berlin beranjak mengambil sesuatu yang selalu di laci mejanya, “Izinkan aku mengisap mariyuana untuk terakhir kalinya.”
Aroma khasnya mengepul di segala sudut ruangan. Berlin mulai mengisap perlahan dan menikmati sensasinya. Sebuah sensasi yang perlahan mengantarnya pada ladang kunang-kunang, pada bentuk-bentuk yang tak wajar, ia seperti di tandu menuju alam mimpinya sendiri. Setelah mengisapnya cukup banyak, Berlin kembali meracau.
“Apakah engkau tahu, mengapa Caligula sangat menginginkan rembulan wahai pahlawan keadilan?” tanya Berlin.
“Sudah cukupkah kau bermain-main?” balas salah seorang tentara dengan suara tegas yang
bergema.
“Kasar sekali, kalian bahkan tidak menghormati orang yang sebentar lagi akan mati,” jawab Berlin.
“Jika seperti ini, aku tidak heran kalau Schopenhauer menjadi orang yang paling sengsara. Kukira memang hanya aku dan Schopenhauer yang dapat memahami bahwa hidup adalah kesia-siaan,” ucap Berlin dengan sambil terhuyung ke kanan dan kiri.
“Adakah kata-kata terkahir sebelum kau dieksekusi?” tanya salah seorang tentara. Mereka mulai berbaris sejajar dengan menodongkan laras senapan ke arah Berlin. Bersiap menembak.
Berlin tersennyum tipis, mengisap mariyuana ditangannya lagi.
“Saat musim dingin, aku merasakan beban dari semua nyawa yang kuambil. Salju putih yang jatuh seakan-akan mencerminkan jiwa-jiwa yang hilang, menutupi tanah dengan keheningan yang menakutkan. Aku berharap, dalam kedinginannya, aku dapat menemukan kedamaian yang telah lama aku inginkan. Maafkan aku dunia, di musim dingin ini, aku pergi.”
Berakhirnya kalimat yang dilontarkan dari mulutnya, puluhan peluru menghujam badan Berlin. Tubuhnya terhuyung jatuh berlumur merahnya darah. Mati.
Penulis: Moehammad Alfarizy (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)