![]() |
SUASANA DISKUSI: Para guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang mengadakan diskusi menanggapi isu terkait konflik keberagaman di Indonesia. |
Diskusi Guru Besar dan akademisi UIN Walisongo pra-silaturrahim kebangsaan yang bertema “Meski Berbeda, Kita Saudara” tersebut disambut hangat seluruh peserta. Hal itu dibuktikan dengan tanggapan-tanggapan para dosen untuk menghidupkan suasana diskusi tersebut.
Suparman misalnya, ia berkomentar bahwa tolerasi itu harusnya tidak boleh mengganggu dan merasa terganggu. Akan tetapi, sikap tersebut bukan semata membawa pada kebebasan mutlak, karena terkadang toleransi itu menjadi kebablasan yang mana bisa bebas ikut sana dan ikut sini.
“Kalau perbedaan itu rahmat, maka harus cerdas cara menyikapi perbedaan tersebut, dan pastinya ada batasannya,” ucapnya.
Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama itu masalah pemaknaan. Banyak orang yang memaknai sesuatu itu tapi tidak sadar kalau ada perbedaan, tapi yang ditekankan hanya kesatuan dan kebersamaan. Ia mencontohkan secara logika, bahwa orang tidak akan bisa bersatu kecuali memahami adanya perbedaan.
Hal senada juga diungkapkan Yusuf Suyono bahwa semua orang harus mengetahui makna sedetail-detailnya apa itu perbedaan dan apa itu toleransi. Saling menyalahkan adalah bukan solusi untuk meredamkan permusuhan.
“Jika kita bisa menyalahkan kristenisasi berarti islamisasi juga bisa disalahkan,” ia mencontohkan.
Harapan Guru Besar Filsafat Islam tersebut bisa mengumpulkan dalam satu forum yang dibawai macam-macam pemahaman seperti radikalisme dan liberalisme.
Muhibbin selaku pelaksana forum tersebut mengakhiri diskusi dengan meluncurkan sebuah petisi. Salah satu diantaranya adalah Menguatkan Kesadaran bahwa “Meski Berbeda, Kita Saudara” di atas semua kepentingan golongan.
Kedua, Mendorong dan membangun ruang-ruang perjumpaan antar kelompok yang berbeda dalam bentuk kegiatan sosial kemasyakaratan yang mensinergikan berbagai elemen bangsa dalam rangka meleburkan dan mengintegrasikan batas sekat SARA bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Mengedepankan komitmen kebangsaan dan menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat-pusat pembelajaran kebangsaan, nasionalisme, dan cinta tanah air juga termasuk petisi yang tidak kalah pentingnya.
“Cara ini menegaskan, bahwa kita berbeda tapi kita saudara, dengan melalui proses perguruan dan Walisongo sebagai benteng moderasi,” ungkap Muhibbin.