Globalisasi menuntut manusia untuk terus menggikutinya, dalam mode, fasion; gaya hidup ala masyarakat modern. Jika tidak ingin dikatakan ketinggalan zaman, masyarakat harus mengikuti perkembangan, mengkonsumsi keluaran terbaru produk industrial. Pikiran ini telah terkonstruk sedemikian rupa, seolah menjadi common sense dalam kehidupan masyarakat sosial.
Pada era Karl Marx (1818-1883), orang yang menguasai zaman adalah orang-orang yang memegang kunci-kunci produksi. Namun, hari ini, tidak ada gunanya di masyarakat, orang yang mempunyai harta berlimpah namun konsumsinya sangat biasa. Manusia hanya akan mempunyai status sosial jika konsumsinya mewah, biarpun secara tataran masyarakat, orang tersebut dalam kelas menenggah ke bawah, bukan golongan elit. Ada pergeseran dari produksi ke komsumerisme yang luar biasa.
Jauh sebelum ‘virus’ ini masuk dalam ruang-ruang diskusi akademisi di Indonesia, Jean Baudrillard (1978) telah membahasanya dalam konteks masyarakat eropa. Bahwa di era kapitalis lanjut, mode of production telah digantikan oleh mode of consumption, Sehingga semua aspek kehidupan manusia tidak lebih hanya sebagai obyek. Sejatinya, manusia adalah subyek dan semua yang di luar dirinya adalah obyek. Namun, kini, baik manusia maupun yang di luar dirinya adalah sama.
Menurut Baudrillard, dalam sistem kapitalis, hubungan manusia telah ditransformasikan dalam hubungan obyek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari bayaknya tanda yang dikonsumsi. Baudrillad menyebut hal yang demikian sebagai simulakra; realitas palsu yang tak ada arti esensialnya. Sebuah realitas semu, yang seolah masyarakat digiring untuk percaya bahwa itu nyata.
Hal ini, sangat berpengaruh dalam eksistensi setiap manusia yang melihatnya, baik secara individu maupun komunal. Berbagai spanduk berikut banner di pinggiran jalan akan “mendistorsi” alam pikiran manusia. Sebagai misal, “suatu hari saya berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba saya terpesona dengan sebuah iklan HP keluaran terbaru yang terpampang pada salah satu banner. Saya ingin memilikinya, namun saya tak memiliki cukup uang untuk membelinya, seketika timbul perasaan tertekan dalam diri—betapa miskinnya saya—alam pikiran saya terdistorsi (baca: tertindas) sedemikian rupa. Sehingga, rusaklah hari saya yang indah seketika itu juga”.
Bagaimana Nasib Generasi Emas 2045?
Sebagaimana yang pernah diwacanakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudaayan (Kemendikbud) 2012, akan lahir generasi emas pada 2045, tepat 100 tahun Indonesia merdeka. Mengingat pada periode tahun 2010 sampai dengan 2035, bangsa Indonesia dikarunia potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya sangat luar biasa; bonus demografi.
Namun, kondisi hari ini berbeda saat wacana generasi emas 2045 dikeluarkan. Ada sebuah arus yang luar biasa deras, yang secara masif merubah perilaku generasi muda. Sebuah ketergantungan pada media sosial—whatsapp, instagram, yotube, twitter, facebook—yang ‘akut’.
Tenaga pemuda hari ini seolah habis untuk mengurusi apa yang tak seharusnya. Media sosial, tempat segala hal dipublikasikan, gaya hidup;mode , fasion, semua yang ada di sana, tak lebih hanya untuk perang tanda (baca: perang gaya).
Sampah visual hari ini, tidak lagi hanya sekedar iklan yang terpampang disepanjang jalan, disiarkan TV, disuarakan radio, tapi berkembang lebih luas, masuk ruang-ruang terprivat dalam diri manusia. Gaya hidup seseorang yang sengaja diumbar di media sosial, menjadi sampah visual bagi lain. Implikasinya, Sampah itu akan masuk dalam alam pikir sesorang yang pada akhirnya akan menyetir perilakunya.
Pada level tertentu, segala tindakan seseorang—yang alam fikirannya telah terkonstruk oleh sampah visual—tak lebih hanya untuk memenuhi keinginannya untuk terus mengkonsumsi tanda. Oleh sebab itu, segala tindakan terkadang kehilangan artinya. Hal itu yang menjelaskan, mengapa misalkan pemuda hari sering galau tiba-tiba, merasakan keterasingan dalam kehidupan sosial yang luar biasa dalam. Mereka terlalu banyak ‘dicekokki’ oleh tanda-tanda yang meresahkan (baca: menindas) hidupnya setiap hari.
Akankah generasi emas 2045 terwujud? Jawabannya sangat tergantung. Dapatkah pemuda hari ini, memposisikan dirinya dengan pengaruh gaya hidup di dunia maya yang tak bisa dibendung. Jika, pemuda hari ini gagal memposisikan dirinya, generasi emas yang dicita-citakan pemerintah bisa saja meleset menjadi generasi maya.
Oleh: Sigit A.F
Pegiat di SKM Amanat