Pembicaraan mengenai mahasiswa selalu menjadi sajian menarik dalam setiap obrolan. Selain mempunyai pendidikan tinggi, julukan mahasiswa sebagai makhluk yang kritis dan idealis terdengar istimewa di tengah masyarakat.
Dengan entitas spirit yang mengedepankan intelektualitas dan dialektika, mahasiswa menjadi sosok yang berperan penting dalam percaturan sejarah sebuah bangsa.
Ketika terjadi sebuah penyelewengan kekuasaan, mahasiswa dengan lantang berada di garda terdepan sebagai penyeru keadilan. Keberanian dalam menguak kebenaran pun menjadi tekad yang melekat dalam diri mereka.
Rumusan penggulingan kekuasaan bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Runtuhnya rezim otoriteranisme Soeharto dan Totaliterianisme Soekarno menjadi bukti nyata keganasan mahasiswa kala itu.
Hari ini, pergerakan mahasiswa masih menjadi suatu gerakan yang ditakuti penguasa. Rekam jejaknya yang menawan, seringkali membuat pemilik singgasana ketar-ketir. Tak pelak, tuntutan pun mau tak mau harus dituruti pemerintah.
September tahun lalu, ribuan mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) memadati halaman Gedung DPRD Provinsi Riau. Permasalahan perekonomian negara, penyelamatan demokrasi di Indonesia dan permintaan pengusutan secara tuntas kasus korupsi PLTU Riau menjadi sesuatu yang lantang disuarakan.
Tak tanggung-tanggung, tuntuan untuk menurunkan Presiden Jokowi riuh diteriakkan mahasiswa. Ketidakpuasan menjadi alasan mereka dalam usaha penggulingan tahta Jokowi yang dinilai lemah dalam pembangunan ekonomi (Tirto.id, 12/09/18).
Memang, mahasiswa telah lama menjadi senjata untuk melawan sebuah rezim. Mereka pun telah menjadi bagian dari civil society yang dianggap sebagai satu-satunya lawan yang seimbang terhadap penguasa.
Mengutip pernyataan salah seorang pengamat politik Max Regus, bahwa mahasiswa tidak hanya mengejar idealisme formal semata, yaitu gelar kesajarnaan tetapi harus keluar dari menara gading (baca: kampus) demi memperjuangkan sederet persoalan yang mendesak.
Orientasi gerakan baru
Era kemajuan dan teknologi memang memberi kemudahan dalam melakukan suatu tindakan. Sejumlah tantangan pun menanti di tengah perkembangan zaman. Ya, salah satu tantangan besar itu berasal dari mahasiswa.
Hari ini, gerakan yang diusung mahasiswa masih cenderung terjebak dalam romantisme masa lalu. Bentangan spanduk dengan berbagai tulisan penolakan masih menjadi senjata andalan melawan ketidakadilan.
Bukan berarti demonstrasi sudah tidak relevan lagi. Ada banyak fenomena di negeri ini yang sebenarnya tidak cukup dilawan dengan cara lama. Apa yang telah dilakukan mahasiswa di zaman post-truth? Bagaimana sikapnya melihat politisasi agama yang memecah belah? Apa alternanif mahasiswa melihat perpolitikan yang semakin membinal? Sebagai bagian dari civil society, peran mahasiswa tentu dipertanyakan ulang.
Pemaknaan Agent of Change
Salah satu peran yang selalu ada saat membicarakan mahasiswa adalah sebutannya sebagai agent of change. Sebutan tersebut tentu bukan main-main. Akan tetapi, menjadi sebuah beban dan tanggung jawab yang harus disadari.
Pemahaman agent of change bukanlah sebatas peran seorang pahlawan super yang datang ke medan pertempuran, lalu dengan gagahnya menantang monster pembuat kekacauan demi mendapat riuhan tepuk tangan.
Mengangguk tanpa mendangak pun bukanlah solusi yang tepat. Sebagai kaum intelektual muda, mereka harus tetap ada dalam setiap titik kritis dengan pemerintahan.
Saat ini, kondisi negara jauh dari kata ideal. Penyakit masyarakat terlihat merajalela dan menggerogoti setiap tubuh bangsa. Kini, mahasiswa dinantikan kembali menjadi dokter bangsa dan negaranya.
Penulis: Agus Salim I.