Entah mengapa, masyarakat kita semakin ke sini semakin mudah membenci. Banyak ungkapan kebencian yang kita lihat sehari-hari terpampang di pelbagai macam media, di Facebook, di Twitter, di Whatsapp, dan lain sebagainya. Sinisme di antara masyarakat kita pada akhirnya tak terbendung.
Fenomena kebencian, yang akhir-akhir ini membanjiri ruang publik memang bukan berangkat dari ruang hampa. Dalam konteks kini, ia berkaitan erat dengan perhelatan demokrasi lima tahunan dan pertarungan ideologi aliran keagamaan yang salin rebut pengaruh. Alhasil, masa akar rumput yang tak memahami pertarungan elite, dengan mudah terbawa frame yang dibingkai oleh mereka.
Dalam membenci kita seolah kita akan merasa puas. Ada hasrat yang terpenuhi. Ada nafsu yang tertuntaskan. Namun, pada hakikatnya yang paling merugi adalah diri ini sendiri saat membenci.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.”
Ya, yang rusak adalah hati kita saat benci mampir kedalam diri. Prilaku inilah yang pada akhirnya melanggengkan ketidakadilan di tengah masyarakat kita. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah ayat 8 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Contoh kasus jika ayat tersebut dikontekstualisasikan dalam kehidupan kini misalnya, karena kita membenci Jokowi, maka semua yang dilakukannya adalah salah. Begitu pulansaat kita membenci Prabowo. Bukan kebenaran yang dicari, namun kepuasan nafsu yang diutamakan. Mereka terbingkai dalam kotak-kotak yang disebut sebagi “Cebong-kampret”; para pendukung fanatik terhadap apa yang dipilih.
Bertrand Russel pernah mengatakan, “seluruh masalah dengan dunia disebabkan karena orang-orang bodoh dan fanatik selalu yakin pada diri sendiri, tetapi orang-orang yang lebih bijak begitu penuh keraguan.”
Russel menjelaskan pada kita, tentang suatu realita bahwa orang yang fanatik adalah pembuat masalah di dunia. Hal ini, dikarenakan hati dan pikiran mereka telah buta terhadap sesuatu yang dicintainya. Sehingga sesalah apapun orang-orang yang itu, mereka akan tetap menjadi orang tak berdosa di mata para pecintanya.
Apa yang dikatakan Russel, sungguh tepat dengan kondisi Indonesia saat ini. Penulis membayangkan, betapa tentramnya dunia ketika tidak ada orang yang fanatik terhadap partai politik atau golongan apapun.
Kebencian yang merajalela, mungkin tidak ada sekarang. Tidak akan ada orang yang dipenjara karena terlalu benci pada suatu rezim. Hoaks tidak akan melaju sekencang ini, apabila dari terdapat kesadaran untuk menegsampingkan ego.
Melihat setiap realita yang ada, pantaslah diri kita bertanya. Siapa yang merugi akibat kebencian ini?
Penulis: Fatimah Azzahrok