
Berhasil sampai ke tujuan yang diinginkan tanpa hambatan adalah impian semua orang. Kesuksesan yang dicapai setelah melalui proses dengan susah payah, seakan menjadi hadiah terbesar yang diterima.
Namun, ada kondisi ketika diri telah sampai atau mendapatkan hasil dari proses yang dilalui, muncul ketidakpercayaan, merasa tidak pantas, was-was, dan merasa diri sudah melakukan kecurangan, sehingga hasil yang didapatkan dirasa tidak layak diterima.
Kondisi ini disebut dengan impostor syndrome, fenomena di mana muncul ketidaksenangan dan selalu mempertanyakan hasil yang didapatkan oleh dirinya sendiri.
Istilah ini muncul pertama kali dari Psikolog Rose Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978. Di awal kemunculannya, impostor syndrome banyak ditemukan pada wanita-wanita cerdas, hingga pada akhirnya ditemukan juga pada pria.
Impostor syndrome bukanlah penyakit mental, karena tidak termasuk ke dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Namun pada kondisi ekstrem, impostor syndrome dapat memunculkan gangguan mental, bersamaan dengan anxiety dan depresi.
Psikolog Klinis Universitas Gajah Mada, Tri Hayuning Tyas mengatakan istilah impostor memiliki arti yang berbeda dengan Bahasa Inggris, yang artinya seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan menipu atau berbuat curang.
Dalam konteks ini, impostor syndrome adalah keadaan di mana seseorang merasa dirinya sendiri yang melakukan kecurangan.
Menurut Tri, pola asuh keluarga menjadi faktor utama seseorang menderita impostor syndrome. Ketika seseorang berada di lingkungan keluarga yang selalu mengedepankan hasil tanpa mengapresiasi usaha yang dilalui, maka ia akan rentan merasakan sindrom ini.
Faktor lain, seperti lingkungan masyarakat yang terlalu memposisikan hasil di atas segalanya. Yang kemudian memunculkan pemikiran bahwa seseorang hanya akan dihargai ketika berhasil sampai di tujuan.
Impostor syndrome bisa dihindari dengan beberapa cara. Menyadari dan menumbuhkan pemahaman bahwa hasil bukanlah segalanya, akan memberikan ketenangan pada pola pikir kita. Selain itu, tak ada salahnya untuk mengenali dan menghargai kemampuan diri sendiri. Terlebih yang terpenting, apresiasi diri dan jangan selalu merasa insecure.
Rizki Gojali