Menyebut seseorang dengan panggilan “gendut”,”cungkring”,”cebol” atau ejekan lainnya dianggap menjadi sesuatu hal yang lumrah bagi sebagian orang. Namun disadari atau tidak perilaku yang demikian sudah masuk dalam kategori tindakan body shaming terhadap seseorang.
Body shaming bisa diartikan sebagai tindakan negatif atau berkomentar negatif terhadap kondisi fisik seseorang. Bentuk body shaming, biasanya lebih menyasar pada ejekan perihal bentuk tubuh, wajah, kelainan fisik dan lainnya. Di mana fisik yang dimiliki korban dianggap kurang memenuh standar ideal fisik orang pada umumnya.
Tindakan body shaming kiranya tak sulit ditemui, terlebih pada media sosial. Biasanya tanpa pikir panjang orang sangat mudah melakukan perilaku body shaming. Contohnya pelaku mengomentari gambar korban yang diunggah melalui media sosial. Dengan komentar teks berbentuk ejekan, hingga komentar dengan bentuk virtual atau meme.
Dalam hal ini siapa saja bisa menjadi pelaku atau bahkan menjadi korban tindakan body shaming. Meski begitu yang terpenting dalam konteks ini adalah tetap berhati-hati dalam menilai fisik seseorang. Dan berpartisipasi dalam upaya menurunkan angka tindakan body shaming.
Sebab, terkadang pelaku tindakan body shaming hanya menganggapnya sebagai sebuah guyonan belaka. Padahal jika ditelisik lebih dalam, body shaming membawa dampak yang begitu membekas pada sang korban.
Misalnya muncul perasaan minder dan tidak percaya diri terhadap fisik yang dimilikinya. Selain itu korban pun merasa bahwa citra diri mereka seolah menjadi negatif dan tidak berharga. Hingga akhirnya berbagai cara pun dilakukannya supaya dirinya diakui pada lingkungannya kembali. Meskipun cara yang dilakukan sebenarnya bisa dibilang dapat menyakiti dirinya sendiri.
Hal itu nampaknya tergambar dalam film Imperfect garapan dari Ernest Prakasa yang baru dirilis Desember 2019 lalu. Dalam film tersebut dikisahkan seorang perempuan bernama Rara yang memiliki tubuh tambun. Hingga ia merasa insecure karena mendapat ejekan dari orang-orang di sekelilingnya perihal fisik yang dimiliki.
Rara kemudian melakukan berbagai cara supaya dapat memiliki tubuh yang ideal, sesuai standar yang ada di lingkungannya. Seperti mengurangi porsi makan, hingga terkadang ia dalam satu hari rela tidak makan.
Dengan demikian, body shaming yang membawa dampak yang cukup besar bagi korban kiranya dengan dalih apapun sangat tak layak dijadikan sebagai sebuah guyonan.
Sebab bisa jadi bukan hanya fisik yang terdampak, namun sikologis korban juga.
Kemudian kiranya kita perlu mempertimbangkan kembali tatkala muncul keinginan untuk mengejek fisik seseorang yang merujuk pada tindakan body shaming. Baik di media sosial ataupun ejekan fisik secara langsung (face to face). Sebab seperti kita ketahui bersama tak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Penulis: Nur Aeni Safira