Sejauh mana Anda mampu menahan jari-jemari Anda untuk menolak godaan melihat beranda Facebook dan Instagram di waktu kerja? Atau Anda justru merasa selalu gelisah saat tak bisa mengecek ponsel Anda akibat kehabisan baterai dan kehilangan sinyal?
Dua keadaan itu, menggambarkan secara jelas bahwa kita telah menjadi ‘penyembah’ media sosial. Bahkan, saat sakit pun, kita masih terlalu mencemaskan mereka.
Kita masih terobsesi untuk melihat sejauh mana perkembangan media sosial pasca sepeninggalan kita terbaring dalam kasur. Kita juga masih merindukan interaksi dan reaksi orang-orang di media sosial melihat kejadian demi kejadian viral dari dunia nyata.
Hari ini, dunia maya—terlebih—media sosial telah menggantikan peran dunia nyata sebagai dunia realita. Kita telah banyak menginvestasikan—katakanlah—separuh hidup kita, untuk bermigrasi ke dunia tanpa batas makna ini. Sebuah dunia yang penuh akan simbol-simbol kepalsuan.
Orang-orang yang merasa bahagia saat bermain media sosial, akan merangsang jumlah produksi dopamin—hormon yang berkaitan dengan rasa senang. Jika hal ini terjadi secara berulang dan dalam jangka waktu lama, otak akan merespons aktivitas bermain media sosial sebagai kegiatan bermanfaat dan perlu diulangi. Orang-orang inilah yang nantinya menjadi pecandu media sosial.
Seorang terapis di Houston, Texas, Amerika Serikat, Nathan Driskell menyebut orang-orang yang memiliki kecanduan lebih di media sosial, sulit untuk dirawat dibandingkan kecanduan lain termasuk kecanduan alkohol dan narkoba.
Selain itu, asisten profesor bidang Psikiatri di McGill University, Robert Whitley menuturkan bahwa media sosial dapat menyebabkan antisosial. Penggunanya akan merasa bahwa kehidupan maya lebih baik dan asyik daripada dunia nyata.
Bahkan, meskipun hanya mengikuti akun dan topik informatif sekalipun, media sosial tetap berbahaya, sebab mampu mengakibatkan information overload. Edmund (2000) menjelaskan information overload sebagai situasi ketika seseorang memperoleh banyak informasi sehingga informasi yang dimiliki tersebut tidak efektif untuk digunakan sebagai penunjang kebutuhan.
Kekaburan Diri
Ada pembahasan menarik tentang kekaburan diri sebagai legitimasi candu media sosial. Media sosial memang seperti candu, melenakan, dan seringkali mengaburkan kenyataan. Pada keadaan tertentu, seakan-akan kita memiliki hak untuk berbuat apa saja, kadang berbuat tidak adil, hingga menyebar hoaks.
Manusia semacam ini, menurut Elias Canetti, seorang filsuf Bulgaria korban kuasa totaliter Nazi, sebagai Sang Survivor. Sebuah julukan yang layak disematkan kepada orang yang tak mampu menentukan diri dan menjadi objek belaka bagi suatu subjek.
Bahkan, Henry Manampiring, dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras menjelaskan bahwa pecandu media sosial relatif berpikir irasional.
Media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang seimbang, tetapi cenderung ke yang positif saja. Ini membuat kita mengira standar hidup yang “normal” harus selalu indah, sempurna, harmonis, dan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak enak sedikit, bagi kita ini sudah menjadi masalah besar.
Orang-orang yang terjebak di dalam media sosial, kemudian mengubah mesin-mesin pencitraan itu menjadi sebuah generator berjalan. Dalam kajian pemikiran barat, mereka tak ubahnya seperti flamingo, atau dalam bahasa yang lebih populer sebagai barisan bebek yang digiring sesuai arah penggembalanya.
Terlihat mengenaskan jika kita hidup hanya untuk membebek pada media sosial, atau pada akun-akun aneh, pada youtuber paling ‘sultan’, atau pada sebagian akun centang biru yang kadang merasa maha benar itu.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh