
Awal Oktober 2023 lalu, media sosial diguncangkan oleh sosok Habib Shodiq Al-Hamid Brani yang dikenal sebagai Habib Alex. Habib Alex diyakini sebagai salah satu wali yang maqbul doanya. Banyak yang mengunggah fotonya, seperti pada status WhatsApp, Instagram, dan TikTok.
Mulanya, habib tersebut meminta kepada salah satu putranya untuk memviralkan fotonya. Ia akan mendoakan siapa saja yang menyebarkan foto tersebut mendapat keberkahan.
Lantas hal itu menjadikan wahana lomba tersendiri bagi para penghamba keberkahan. Hal ini ramai di berbagai kalangan, orang tua bahkan mahasiswa pun tak luput dari perlombaan mendapat berkah tersebut.
Padahal, keyakinan akan mendapatkan keberkahan ketika kita memasang foto seseorang adalah anggapan yang tidak memiliki landasan kuat.
Jika kita menengok sudut pandang dalam Islam itu sendiri, tentu hal itu tidak dapat dibenarkan. Seperti pada Qs. Al-A’raf ayat 96, yang memiliki arti:
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami (Allah) akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Islam mengajarkan kita bahwa keberkahan hidup tidak bisa semata-mata didapatkan dengan memposting foto seseorang di media sosial. Keberkahan adalah anugerah dan pemberian dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Sudah semestinya, kita tidak terburu-buru untuk mengikuti arus informasi yang beredar, tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Abai dalam Keseimbangan
Kehadiran Habib Alex sebenarnya bisa memutarkan otak kita jika melihat pada garis pemikiran rasional.
Rasionalitas di sini bukan menanyakan bagaimana mendapatkan berkah tersebut. Namun, bagaimana kondisi sosial dengan arus informasi aktual masih bisa diperdaya dengan segala lini irasionalitas, terutama pada kasus Habib Alex.
Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh emosi, persepsi, dan informasi yang tidak valid, yang dapat memengaruhi kesadaran rasional seseorang.
Fakta dan logika kadang terabaikan. Juga terdapat celah bagi disinformasi, teori konspirasi, dan pandangan ekstrem yang memicu ketidakseimbangan persepsi masyarakat.
Masyarakat yang rentan terhadap irasionalitas cenderung mempercayai informasi tanpa verifikasi yang memadai. Begitu mendengar desas desus menyebarkan foto habib bisa membawa keberkahan, naluri tak mau kalah dan jari-jemari langsung ikut meramaikan linimasa.
Menurut Filsuf Jerman Hermann Broch, volume irasional manusia lebih besar ketimbang volume rasionalnya karena dalam diri manusia ada sifat animalis yang alami dan sudah ada sedari lahir. Manusia memiliki emosi, dan hal-hal lain di bawah alam bawah sadarnya yang mengatur alam sadarnya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh trauma, pengalaman masa kecil, ataupun doktrin yang diberikan sedari dini.
Keyakinan yang kuat bisa menolak pikiran rasional, entah karena terlalu yakin dan bias atau memang tak mampu untuk mencapai kompetensi berpikir sedemikian rupa.
Jika terus berada dalam lini irasionalitas, masyarakat akan mengalami ketertinggalan dan keterbelakangan. Maka dari itu, sudah seharusnya kita perlu mengatur linimasa kehidupan dengan menanamkan cara berpikir berlandaskan bukti-bukti tepercaya, bukan membiarkan diri hanyut terbawa arus informasi masa kini ataupun menanamkan diri dalam lingkar keyakinan sepihak.
Imamul Muqorrobin