Memiliki anak gadis yang cantik menjadi kebanggaan Bapak, termasuk orang tua pada umumnya. Tapi satu hal yang membuat Bapak heran dan cemas. Ragil, si bungsu, tidak seperti ketiga kakaknya yang sering pamit keluar malam untuk berkencan. Setiap malam ia habiskan waktu di kamar. Mengurung dirinya sendiri.
Bapak senang melihat anaknya fokus pada pendidikan, pikir Bapak. Tapi satu hal yang membuat Bapak cemas adalah kebiasaan Ragil yang selalu mengelus dan mengajak bicara teko seng bermotif loreng hijau-putih. Sedangkan ia sendiri tak merasa pernah melarang anaknya dekat dengan lawan jenis.
Ragil mendapati teko itu setelah proses pemakaman Mbah Kakung. ia ngeyel ingin membawa pulang dari rumah kakek kesayangannya. Sebagai warisan sekaligus kenang-kenangan, katanya.
Setelah kepergian Mbah Kakung, teko loreng hanya menjadi pajangan laik barang antik. Bapak pernah menggoda ingin memakainya untuk menyeduh kopi, tapi Ragil melarang keras. Sulung, kakak tertuanya, pernah iseng menabuhnya untuk ikut komplotan sahur keliling, Ragil merajuk dan mau memaafkan setelah tunjangan hari raya Sulung diberikan sepenuhnya kepada Ragil.
Entah, Ragil memperlakukan teko tersebut seperti sesuatu yang hidup dan bernyawa. Beranjak tahun, Ragil mulai mengelusnya akrab. Ibu menjadi orang pertama yang paling heboh ketika memergoki Ragil tersenyum dan mengajak ngobrol teko. Ketiga kakaknya acuh tak acuh, sedangkan Bapak memilih diam. Tapi diam Bapak tetap mengawasi mencari-cari waktu yang tepat kapan ia harus beraksi.
Malam ini, tepat Malam Minggu ke-24 di tahun 2017, atas desakan Ibu, akhirnya Bapak mendekati Ragil yang sedang memeluk tekonya di teras.
“Gil….” panggil Bapak pada anak gadisnya yang sedang duduk di dipan.
Ragil melirik sekilas, lalu menggeser tubuh, memberi ruang duduk untuk Bapak.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Alhamdulillah, Pak.”
“Kamu memang satu-satunya anak Bapak yang paling gila belajar.” Ragil hanya tersenyum. Entah senyum itu ia tujukan kepada siapa, Bapak atau teko.
“Kalau pacar, sudah punya, Gil?”
Ragil terkekeh, memperlihatkan deretan gigi mentimunnya. “Bapak ini, kalau mau tanya soal pacar mending ke Mas Sulung, Mbak Dwi, atau Mbak Tri.”
Bapak menelan ludah, membagi tatapan kepada Ibu yang mengintip di balik jendela. “Memangnya Gil ndak ingin punya pacar seperti teman-temanmu?”
“Bapak ingin Gil seperti mereka, Pak?”
“Kalau Gil senang dengan pilihan Gil, selama kesenangan itu masih batas wajar, Bapak ikut senang.”
“Gil senang yang seperti ini, Pak.”
“Seperti ini? Hidup sendiri?”
“Bapak kenapa tho? Kok tiba-tiba tanya begitu?”
“Bapak sama Ibu itu khawatir, lihat perlakuan aneh Gil dengan teko.”
Tidak sabar dengan pendekatan Bapak, Ibu akhirya keluar dari persembunyian. Membuat Bapak melotot, mengingatkan agar Ibu menjaga ucapannya.
Ragil mematung. Perlahan, matanya mulai memerah. Tatapannya mendung. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun, membasahi pipi, membasuh hati. “Jadi, selama ini Bapak dan Ibu mengira kalau Gil sudah tidak waras, berpacaran dengan teko, begitu?”
Hening. Tanpa jawab. Diamnya Bapak dan Ibu menyebabkan perasaan Gil menjadi-jadi “Asal Bapak tahu, kehidupan Gil yang sekarang, itu karena teko ini. Gil tidak bisa menjadi seperti saat ini, tidak bisa membanggakan Bapak melalui prestasi tanpa teko Kakung.”
Ragil berlalu begitu saja, meninggalkan kedua orangtua yang termangu menatap kepergiannya.
“Bapak memang khawatir melihat Gil ngobrol sama teko, tapi Bapak lebih khawatir kalau Gil kehilangan kepercayaan kepada kita, Bu.”
“Lihat, Pak. Dia marah ketika kita menyinggung tekonya. Sama seperti Sulung dulu yang marah ketika kita banyak tanya soal pacar pertamanya.”
“Jangan samakan teko Kakung dengan pacar Mas Sulung!” sahut Ragil menggelegar, mengejutkan Ibu. hening malam kian kelabu.
*****
Sore hari sepulang mengaji, sembari menatap langit yang beranjak menjingga, Ragil kecil bergelayutan di pangkuan Kakung. Dari sekian banyak cucu, hanya Ragil yang paling dekat dengan Kakung.
“Kamu tahu, Gil?” Ragil kecil menggeleng polos, menyulut kekeh Kakung. “Itu hanya permulaan cerita, ndak perlu dijawab.” Ragil mengangguk, kemudian menyempurnakan posisi duduk. Ia tidak ingin sesi berceritanya dengan Kakung terganggu.
“Ada seorang kiai terkenal, namanya Mbah Idris. Beliau berasal dari Boyolali dan pernah belajar di pondok tempat Kakung mengaji.”
“Berarti, kiai itu kakak kelas Kakung?”
Kakung mengangguk, tersenyum. “Sebagai orang yang pandai, banyak orang yang datang ke rumahnya. Ada yang sekadar silaturahmi, ada jugayang minta doa, dan berbagai keperluan lainnya.”
“Orang pandai banyak temannya, ya, Kung?”
Kakung mengangguk senyum lagi sebelum melanjutkan cerita. “Pada suatu hari, ada tamu yang datang berkunjung. Karena Mbah Idris sangat menghormati tamu, beliau menyuguhkan minuman kepada para tamu-tamunya. Gil tahu apa yang terjadi?” Ragil diam, mata beloknya menatap lekat Kakung. “Kok diam saja?”
“Kata Kakung, kalau ditanya ‘kamu tahu?’ tidak perlu dijawab.” Kakung tertawa geli. Inilah salah satu alasan Kakung suka dengan Ragil. Polos.
“Ternyata teko yang ada di atas meja kosong!”
Ragil, yang sedari tadi serius mendengarkan kisah Kakung, mengerutkan dahi tak mengerti. Tanda ia sedang berpikir keras. “Tamu Mbah Idris sedang puasa, ya, Kung? Jadi, Mbah Idris tidak memberi minum karena tidak mau tamunya batal?”
“Salah!” tegas kakung.
“Terus? Masa tamu datang tidak dikasih minum?”
Kakung tersenyum lagi menjawab kepolosan Ragil. “Ketika teko itu dituang ke gelas, ada kopi panas yang keluar. Di gelas berikutnya, ganti teh hangat, dan seterusnya. Gelas terisi air sesuai minuman kesukaan masing-masing tamu.”
Mata bulat Ragil semakin membulat. “Memangnya bisa ya, Kung? Teko itu benar ada, Kung?”
“Terlepas benar atau ndak, bukan itu poinnya. Gil mau percaya atau ndak, ya terserah Gil. Yang mau Kakung sampaikan adalah, Gil harus belajar dari teko Mbah Idris.”
Belum sempat Ragil bertanya apa maksudnya, sesi bercerita terpaksa selesai. Azan maghrib menjadi pemungkas, memaksa Ragil menyimpan rasa penasarannya. Di hari berikutnya, Kakung tidak pernah menjelaskan. Ia meminta agar Ragil mencari tahu sendiri kenapa ia harus belajar dari sebuah teko.
*****
Dengan gerakan patah-patah, Ragil membersihkan ingus yang bergelayut pada cupingnya. Bapak mencoba membantu, tapi segera ditepis oleh Ragil.
Setelah dua jam membujuk, akhirnya Bapak dipersilakan masuk. Sejak kecil, Ragil tidak pernah merajuk. Itulah sebab Bapak sangat takut ketika melihat Ragil mengamuk. Kemudian, Bapak menjadi pendengar ketika Ragil menceritakan salah satu episode kebersamaannya dengan Kakung.
“Jadi, apa hubungan teko Kakung dengan keberhasilanmu sekarang, Gil?”
“Kakung menyuruh Gil belajar dari teko Mbah Idris, tapi Kakung tidak pernah menjelaskan maksudnya. Saat Gil paham maksudnya, Gil mendapat kabar kalau Kakung meninggal. Gil belum sempat membahas teko lagi, makanya Gil simpan teko ini untuk mengenang Kakung.”
“Memangnya, belajar dari teko Mbah Idris menurut pemikiran Gil itu seperti apa?”
Kita harus mengosongkan diri, mengosongkan hati. Karena sejatinya, di dunia ini kita tidak punya apa-apa. Lalu, kita harus menjadi teko yang bisa menuangkan minuman sesuai keinginan. Gil harus bisa berprestasi supaya bisa mewujudkan keinginan Bapak yang tidak bisa dipenuhi Mas dan Mbak; punya anak yang pintar. Gil harus bisa memenuhi keinginan Ibu yang khawatir anak gadisnya hamil di luar nikah seperti teman-teman Gil. Katanya dengan kepolosan yang sama.
“Dan mungkin, keinginan Mas dan Mbak juga terpenuhi. Mereka tidak pernah suka dengan Gil, karena dari dulu Bapak sama Ibu selalu memuji Gil. karena Gil sering ngobrol dengan teko, akhirnya ada satu hal yang membuat Bapak dan Ibu khawatir dan tidak memuji-muji Gil lagi.”
Ia meraih sepasang tangan keriput Bapak, menggenggamnya erat. “Selama ini, cuma Kakung yang menerima kepolosan Gil. Tidak pernah menuntut Gil harus bagaimana. Hanya satu petuah Kakung, Gil harus belajar dari teko. Sekarang, Gil sudah menjadi teko kosong, Pak, Gil tidak punya wewenang apa-apa untuk memilih mau diisi air jenis apa. Gil tidak pernah menuntut isi apa yang orang lain berikan, tapi Gil akan berusaha untuk mengisi mereka sesuai yang mereka inginkan.”
Sepasang tangan ringkih bergetar dalam genggaman kuat anak gadis yang pernah dicuriaginya. Kucuran air jatuh pada kerut Bapak, seiras dengan isak Ibu yang tak tertahankan mendengar di balik pintu.
Semarang, Maret 2020
Penulis: Rizkyana Maghfiroh (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)
Discussion about this post