Menuju penghujung bulan Mei 2024, media sosial gempar soal potongan gaji yang akan menjadi beban pekerja untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Di saat kondisi harga rumah dan tanah di Indonesia tidaklah murah.
Para pekerja cenderung merasa, potongan gaji untuk Tapera seakan mustahil untuk menyejahterakan rakyat. Sehingga, mereka terus-menerus merespons negatif rencana pemerintah yang baru ini.
Melalui kebijakan Tapera, pemerintah tampaknya ingin memberikan solusi bagi para pekerja yang kesulitan membeli rumah. Namun, kebijakan ini justru menghebohkan publik dan dianggap memperparah keadaan para pekerja.
Para pekerja merasa beban finansial mereka semakin berat dengan adanya iuran Tapera. Semula kewajiban atau kepesertaan Tapera yang direncanakan mulai 2027 baru menyasar ke pekerja sektor formal saja, kini semua pekerja, sekalipun swasta juga ikut merasakan kebijakan ini.
Aturan baru tentang iuran wajib Tapera yang tertuang dalam Peraturan Pemenrintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Pemerintahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024, yang menetapkan besaran potongan simpanan pekerja ialah 3% dari gaji mereka.
Besaran potongan itulah yang membuat berbagai masyarakat kalangan menengah ke bawah tidak terima, bahkan merasa geram akan kebijakan tersebut. Hal ini, karena banyak upah mereka yang sudah terpotong, seperti untuk pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, belum lagi jika setiap masyarakat memiliki cicilan lain dan harus merombak rencana keuangan mereka untuk sehari-hari.
Tidak hanya itu, Tapera yang tidak bisa ditarik sewaktu-waktu juga menjadi pemicu masyarakat menolak kebijakan ini. Tapera hanya bisa ditarik di jangka waktu yang lama, saat memasuki masa pensiun. Tidak seperti BPJS Kesehatan yang bisa digunakan saat sakit, Tapera lebih mirip dengan BPJS Ketenagakerjaan yang manfaatnya baru dirasakan setelah pensiun atau berhenti kerja. Perbedaanya terletak pada kontribusi pemberi kerja, BPJS Ketenagakerjaan lebih besar dibandingkan Tapera.
Banyak masyarakat memaknai kebijakan ini sebagai pungutan yang akan membebani mereka. Terlebih, publik juga menanggung kekhawatiran negatif terhadap kepercayaannya pada pemerintah yang menyandang oknum penyelewengan.
Kewajiban Pemerintah pada Rakyat Bawah
Masyarakat saat ini membutuhkan kebijakan yang langsung bisa membuat daya beli mereka naik, bukan tambahan iuran yang belum tentu dibutuhkan sekarang. Pemerintah seharusnya fokus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat agar daya beli mereka kuat, bukan malah menambahkan beban dengan iuran Tapera untuk membeli rumah pertama yang tidak semua orang prioritaskan.
Mengutip dari Hukumonline.com, Ketua Umum DPN Apindo Shinta W Kamdani, menyarankan supaya pemerintah bisa lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan yang selaras dengan PP No. 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang mengatur maksimal 30% dapat digunakan untuk program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja karena selama ini dana MLT tersedia dalam jumlah yang besar, tapi pemanfaatannya tetap sedikit.
Setidaknya dana tersebut bisa digunakan untuk 4 manfaat, yakni pinjaman KPR maksimal 500 juta, pinjaman uang muka perumahan sampai 150 juta, pinjaman renovasi perumahan sampai 200 juta dan fasilitas pembiayaan perumahan pekerja/kredit kontruksi. BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menjalin kerja sama untuk menjalankan program tersebut.
Meskipun Tapera diharapkan untuk dibatalkan, bukan ditunda, pemotongan gaji untuk Tapera juga menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Aturan ini seharusnya tidak dipukul rata bagi semua pekerja atau perusahaan karena setiap pekerja dan perusahaan memiliki kemampuan finansial berbeda dalam kondisi ekonomi yang menantang dan biaya hidup yang tergolong cukup tinggi.
Dalam hal lain, yang harus pemerintah sadari dan pelajari adalah membangun pendekatan komunikasi yang berbeda dan lebih baik. Tidak hanya sekadar adanya kejelasan di dasar hukum, supaya program ini mudah diterima masyarakat. Realitanya, mereka yang memasuki dunia kerja dan semangat akan mengejar karier adalah populasi yang bertumbuh dengan cara komunikasi yang berbeda-beda. Mereka tidak bisa langsung menerima kebijakan yang tiba-tiba harus dilaksanakan, tanpa pendekatan menarik.
Penulis: Hasna Nurul Afifah
Editor: Nur Rzkn