Apakah jika seseorang telah menjadi sarjana lalu masih kesulitan mendapatkan pekerjaan, itu karena salah memilih perguruan tinggi? Atau mungkin memang salah perguruan tingginya yang tidak bergengsi sehingga lulusannya tidak laku di dunia kerja?
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat lazim di masyarakat kita ketika melihat seorang sarjana yang jadi pengangguran. Karena masyarakat secara umum masih memandang kualitas seseorang dari simbol yang dimiliki.
Pertanyaan dan fenomena seperti halnya di atas, bagi penulis adalah akar dari ketidakmajuan nalar dan sistem pendidikan kita. Sehingga itulah sebabnya semua orang berbondong-bondong memilih perguruan tinggi yang bergengsi dan menggaransi pekerjaan, karena ijazahnya dianggap berkualitas. Itulah sebabnya pula, banyak lulusan perguruan tinggi terkemuka yang hingga kini miskin dalam usaha merubah peradaban ke arah yang lebih baik karena bukan berbicara kualitas diri, namun kualitas ijazah.
Bagaimana dengan orang hanya bisa kuliah di kampus yang kurang bergengsi? Sejauh yang penulis ketahui, ternyata lulusan kampus yang dianggap tidak bergengsi secara kualitas diri tidak kalah dari lulusan kampus bergengsi.
Di sini penulis menggarisbawahi bahwa menjadi pengangguran bukan seutuhnya salah dari kualitas kampus atau salah memilih kampus saja, namun labeling yang model demikian telah benar-benar menutup kebenaran yang pada faktanya kuantitas namun dinamai kualitas.
Paradigma yang dipegang erat oleh kebanyakan masyarakat adalah, orang itu dikatakan berkualitas bilamana ia memiliki kehidupan yang layak, memilki materi yang cukup untuk bertahan hidup. Sedangkan untuk menjadi demikian, ia harus memiliki predikat sarjana dari kampus yang bergengsi.
Bagi sarjana yang bukan lulusan kampus bergengsi, ia harus berbuat yang lebih keras lagi untuk menjadi demikian. Jika tidak ia harus bersabar sekuatnya menghadapi cercaan sebagai pengangguran yang sangat memalukan di mata masyarakat.
Inilah wajah masyarakat yang sebuah kesuksekan hidup atau apapun yang dianggap baik dalam hidup hanya dilihat dari simbol yang dimilikinya, bukan dari bagaimana cara seseorang dalam hidup dan memaknai sebuah keberhasilan atau kesuksesan.
Belajar Memahami “Kualitas” dari Plato
Menilik suatu sejarah “Plato dan Akademi Pertama Dunia”. Di mana merupakan suatu istilah yang disandingkan untuk memberikan nama atas perkumpulan para intelektual yang mengikuti pemikiran Plato. Istilah akademik kemudian muncul menjadi cikal bakal berdirinya universitas mancanegara.
Salah satu isu penting yang dikaji di akademi Plato ini adalah politeia. Bagi Plato, politeia sering diterjemahkan dengan cara hidup. Secara filosofi, kata ini sesungguhnya ingin diusung Plato untuk mencari rumusan tentang bagaimana cara manusia hidup sebagai bagian dari masyarakat di satu sisi dan keharusan sejarah untuk membangun bumi di sisi lan.
Pada hakikatnya, seseorang itu dituntut untuk berkehidupan layaknya makhluk sosial. Mereka tidak bisa mengedapankan ego untuk hidup bagi dirinya sendiri. Sepatutnya untuk saling mengisi antar sesama.
Agar bisa bertahan hidup, mereka tempuh dengan cara yang mereka pilih. Harus diketahui, setiap orang memiliki kaca mata yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Dan tentunya harus kita hargai tiap-tiap kaca mata itu.
Ada tiga hal mendasar yang berdampak pada pola kehidupan bermasyarakat. Tiga hal itu adalah, konstruksi paradigma (pembentukan metode berpikir), transmisi nilai sekaligus sosialisasi aturan main bersama, dan pembangunan jejaring sosial.
Kita tidak bisa serta merta menjudge begitu saja mengenai pendidikan. Dengan melihat dari sudut output suatu lembaga pendidikan, Perguruan Tinggi misalnya. Di mana Perguruan Tinggi adalah jenjang pendidikan maksimal yang digunakan sebagai tolak ukur oleh masyarakat akan kemana selanjutnya proses kehidupan sarjana itu. Akankah berhasil juga di dunia kerja ataukah hanya sebagai pengangguran saja.
Kita yang menduduki posisi sebatas manusia, harusnya sadar akan dari mana dan untuk apa kita ada. Harus menerima bahwa kita tidak bisa lepas dengan hidup bermasyarakat. Keberadaan kita diakui jika dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Contoh hal kecil yang dapat kita lakukan adalah dengan bersinergi positif. Saling mendukung untuk nilai-nilai positif.
Nilai-nilai positif itu terus mengalami rekonstruksi guna optimalisasi kualitas hidup dalam bermasyarakat. Interaksi sosial juga harus terus dibangun, terlebih dengan latar belakang yang berbeda. Secara tidak sadar, kita memperoleh kesempatan lebih dapat belajar beradaptasi. Dari hal itu kita akan tahu esensi suatu pendidikan.
Setelah panjang lebar membahas problema “kualitas” ini, pada esensinya, pendidikan sebenarnya merupakan jalan untuk mencetak generasi yang berkualitas dengan sejajar visi tingginya. Terkait akan jadi apa orang itu paska lulus, dapatkah pekerjaan tetap, sampaikah hidup layak, semua itu kembali kepada individu masing-masing. Seberapa besar usaha mereka dalam mengambil semua peluang-peluang yang ada dengan bijak bukan karena kuantitas yang masih semu belaka. Semoga ke depan bisa jadi evaluasi bersama.:)
Penulis: Syikma R. Jannah