Tak banyak yang tahu jika filsafat mampu menjadi penawar rasa depresi. pemahaman kita soal filsafat dalam kacamata umum selalu dimanifestasikan sebagai hal yang rumit dan menakutkan. Padahal, jika kita kaji lebih dalam tidaklah semengerikan yang dibayangkan.
Stoisisme adalah aliran filsafat yang lahir dari zaman Romawi. Aliran filsafat yang dipopulerkan oleh Epictutus dan Marcus Aurelius ini mampu memberikan jawaban-jawaban atas segala persoalan hidup.
Akan tetapi, banyak dari kita yang kemudian salah mengartikan persoalan hidup. Seringkali kita terjebak pada situasi memperjuangkan secara mati-matian sesuatu yang berada di luar kendali. Sedangkan hal yang berada dalam kendali cenderung disepelekan. Hal inilah yang kemudian ditentang oleh Epictutus.
Menurut Epictutus, ada hal-hal yang berada di dalam kendali manusia dan ada hal-hal yang berada di luar kendali manusia yang tidak perlu kejar secara mati-matian.
Epictutus dalam Enchiridon kemudian menyarankan kepada manusia agar selalu bersikap realistis dalam menyikapi berbagai keadaan dan kondisi hidup yang tak menentu ini. Marcus Aurelius dalam The Meditations kemudian mendeskripsikan secara spesifik dalam menyikapi kehidupan. Marcus berkata:
“Aku dengan demikian tidak bisa dicelakai oleh orang-orang ini, juga tidak bisa marah dengan orang yang sama denganku. Aku juga tidak bisa membencinya, karena kita ada untuk bekerja sama, seperti kaki, tangan, kelopak mata atau dua baris gigi di rahang atas dan rahang bawah. Merugikan satu sama lain berarti bertentangan dengan alam; dan marah dengan orang lain serta berpaling darinya jelas merugikan dirinya.”
Apa yang dikatakan oleh Aurelius dan Epictutus adalah bentuk keselaraan hidup dengan alam, yakni setiap perbuatan yang dilakukan manusia memiliki pengaruh besar terhadap alam. Dan perbuatan manusia yang memiliki pengaruh dengan alam adalah bagaimana kemudian ia memaknai setiap permasalahan yang dimanifestasikan dalam wujud depresi.
Kata Epictutus, yang membuat susah perasaan bukanlah terletak pada sesuatu itu sendiri, melainkan penilaian mereka terhadap suatu hal tersebut.
Hal ini justru akan melahirkan ketakutan dalam diri yang melekat pada diri kita sendirilah yang sejatinya membuat sesuatu hal mudah menjadi rumit. Terkadang kita lebih cenderung takut terhadap sesuatu hal yang belum tentu terjadi, seperti bayangan ketika suatu saat di masa yang datang kesengsaraan menimpa kita dan banyangan paranoid lainya. Ketakutan itu semakin menjadi-jadi tatkala kita mengandalkan faktor di luar diri kita yang kemudian melahirkan sikap depresi.
Emosi yang disebabkan rasa khawatir akan bisa mudah teratasi dengan kita mengunakan konsep stoisisme. Sebuah konsep yang secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa “hidup memang harus selaras dengan alam” sehingga segala sesuatunya selalu didasarkan kepada nalar dan rasionalitas.
Dengan stoik ini cukup akan memberikan sebuah sudut pandangan bahwa segala sesuatu fenomena yang menurut orang hal yang buruk, akan bisa dengan tenang dihadapi oleh seorang stoik begitupun kekhawatiran akan masa depan yang belum jelas adanya.
Manusia juga akan mendapat pengajaran yang lebih fokus pada cara mengurangi emosi negatif sebagai bentuk keselarasan dengan alam. Seperti kita tahu, setiap energi negatif yang kita hasilkan akan berpengaruh pada kondisi lingkungan sekitar. Bahkan, mampu membuat orang di sekitar kita tertular energi negatif.
Penulis: Agung Prastio