• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Jumat, 27 Januari 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Stockholm Syndrome; Saat Korban Kejahatan Membela Pelaku

Orang yang melakukan pembelaan terhadap pelaku kejahatan, dalam kajian psikologi dinyatakan sebagai Stockholm syndrome.

Erlita Mirdza Septyasningrum by Erlita Mirdza Septyasningrum
6 bulan ago
in Artikel
0
Korban kejahatan, membela pelaku
Ilustrasi kejahatan membela pelaku: Pixabayp

Apa yang terpikirkan dalam benak anda ketika mendengar seorang pelaku kejahatan justru menjadi pembela terhadap pelaku kejahatan? Apakah hal semacam ini benar-benar ada? Atau justru settingan demi mendapatkan popularitas semata?

Orang yang—dalam hal ini korban—melakukan pembelaan terhadap pelaku kejahatan, dalam kajian psikologi dinyatakan sebagai Stockholm syndrome. Sindrom Stockholm atau Stockholm Syndrome adalah reaksi psikologis yang ditandai oleh rasa simpatik atau kasih sayang yang muncul dari korban penculikan terhadap pelaku.

Stockholm Syndrome muncul sebagai mekanisme pertahanan diri yang bisa dilakukan secara sadar atau tidak sadar oleh korban. Pada dasarnya, reaksi pertahanan diri membuat seseorang menunjukkan perilaku atau sikap yang berlawanan dengan apa yang sesungguhnya mereka rasakan atau harusnya lakukan.

Barangkali, kita mungkin akan dibuat keheranan oleh korban yang justru menjadi kawan bagi pelaku. Tapi, hal ini memang nyata terjadi. Ada semacam kedekatan psikologi yang membuat korban menjadi lebih peduli terhadap pelaku.

Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu korban membela pelaku. Pertama, pelaku kejahatan seperti penyandera menunjukkan kebaikan berlebih kepada korban atau yang disandera. Kedua, kejadian yang dialami dan berlangsung lama, membuat tekanan yang besar pada korban dan pelaku. Dan ketiga, korban tidak menyadari, Karena rasa saying terhadap perlaku melebihi logikanya.

Baca juga

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

Bahaya Flexing di Media Sosial

Dilansir dari IDN Times, para psikolog menganggap Stockholm syndrome adalah gangguan yang ada pada diri manusia, pada saat system bertahan di lingkungan yang tidak bersahabat lemah. Umumnya gejala yang akan dialami oleh para penderita Stockholm syndrome terdiri dari 3 aspek, di antaranya aspek social, di mana korban memiliki rasa kegelisahan dan paranoid terhadap pelaku. Kedua, emosional berupa adanya ketakutan, keputusasaan, hingga ketidakberdayaan. Ketiga, aspek kognitif yang membuat korban merasakan kebingungan, delusi hingga ingatan yang kabur.
Selain aspek diatas, gejala penderita Stockholm syndrome umunya mirip dengan penderita post traumatic stress disorder (PTSD).

Saat ini tidak ada perawatan khusus untuk para penderita Stockholm Syndrome, hanya saja diberikan obat-obatan yang sama dengan pasien penderita PTSD.

Penulis: Erlita Mirdza S

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: korban kejahatanmembela pelaku
Previous Post

Bawakan Tagline Perdamaian dan Kebudayaan, Begini Konsep PBAK 2022!

Next Post

Terlalu Banyak Mengikuti Kegiatan, Apakah itu Toxic Productivity?

Erlita Mirdza Septyasningrum

Erlita Mirdza Septyasningrum

Related Posts

cancel culture di media sosial
Artikel

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

by Redaksi SKM Amanat
6 Desember 2022
0

...

Read more
ngeri-ngeri sedap komunikasi anak dan orang tua

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

1 Desember 2022
flexing di media sosial

Bahaya Flexing di Media Sosial

13 November 2022
perdebatan di media sosial

Saat Celetukan Ringan di Media Sosial Menjadi Perdebatan Panjang

2 November 2022
cancel culture

Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?

31 Oktober 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Ma’had Al Jami’ah Kampus 2, UIN Walisongo.

Ma’had Online UIN Walisongo Sebagai Syarat Kelulusan MK Bahasa Arab

19 Januari 2023
FISIP UIN Walisongo

Keluarga Mahasiswa Korban Penipuan Berharap Dapat Bantuan Dari Kampus

5 Januari 2023
Mahasiswa UIN Walisongo kena tipu online

Mahasiswa UIN Walisongo Kena Tipu Online, Rugi 8 Juta Lebih

5 Januari 2023
Wisuda UIN Walisongo

Kantongi Berbagai Respon atas Diundurnya Jadwal Wisuda UIN Walisongo 

20 Januari 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend