Senja tiba, seorang perempuan duduk di bawah pohon di depan rumahnya, mengenakan gaun merah dan berjilbab. Semburat cahaya dari ufuk barat, menimpa wajahnya. Saat itu, hujan baru saja reda. Rintik air hujan yang tertampung di dedaunan, tumpah dan jatuh menggores pipi perempuan itu. Butir air menyerupai embun menempel di bibirnya yang dipoles lipstik merah delima. Sesekali ia tersenyum. Otot-otot sudut bibir, tulang pipi dan sudut mata bergerak perlahan. Sementara, bola mata dan alis perempuan itu, bergerak tak beraturan. Kedua ujung bibir yang tertarik, membuat gigi depan bagian bawah terlihat dari luar.
Ini menandakan senyum yang diperlihatkan perempuan itu adalah palsu. Ya, ketika seseorang memasang senyum ramah di wajahnya, bukan berarti ia baik-baik saja. Bisa jadi, senyum yang ditampilkan adalah fake smile; senyum kebohongan. Sebuah senyum yang digunakan untuk memanipulasi perasaan seseorang.
Dalam dunia psikologis, fake smile termasuk dalam kategori Smiling Depression. Smiling depression atau ‘depresi yang tersenyum’ adalah istilah untuk seseorang yang hidup dengan depresi dalam dirinya, sambil tampak sangat bahagia atau puas di luar.
Memang, smiling depression belum dikategorikan sebagai Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi kelima. Akan tetapi, orang yang mengalami gejala fake smile, ia mengidap gangguan depresi mayor. Sebuah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan suasana hati yang terus tertekan atau kehilangan minat dalam beraktivitas dan mampu menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kualitas hidup sehari-hari.
Pada dasarnya, Smiling depression bisa terjadi pada orang yang tidak berusaha jujur dengan diri sendiri. Ketidakjujuran ini terjadi akibat tuntutan ego ataupun penghakiman dari orang-orang di sekitarnya. Sehingga, smiling depression terpaksa dijadikan tameng untuk menghadapi kerasnya dunia.
Hal itu bisa dilihat dari perilakunya yang cenderung terlihat bahagia. Padahal, ia sendiri mengaburkan realitas asli, yang sebenarnya sedih dan menderita. Ini terjadi akibat mekanisme pertahanan diri terhadap rasa sedih diatur untuk terlihat bahagia dan baik-baik saja di hadapan semua orang.
Bagi sebagian orang, mungkin senyuman menjadi kekuatan tersendiri untuk bisa menjalani aktivitas sehari-harinya. Memang, masalah yang kita hadapi akan terselesaikan seiring dengan berjalannya waktu, tetapi tidak dengan luka dan rasa sakitnya.
Manipulasi kebahagiaan
Kebahagiaan pada hakikatnya adalah upaya manusia untuk menata beragam hasrat, dorongan, dan keinginan yang beragam di dalam dirinya, sehingga ia bisa mencapai kondisi harmonis, serta mulai mengarahkan hidupnya untuk mencapai tujuan yang bermakna bagi dirinya. Inilah inti pandangan Plato dan Aristoteles tentang kebahagiaan.
Orang yang mencapai kebahagiaan adalah orang yang telah berhasil mencapai harmoni antara tegangan antara jiwa luhur dan hasrat-hasratnya. Ia tidak membiarkan keinginannya tumpang tindih, selalu tertata, kuat secara pribadi, dan dalam semuanya itu ia menjadi orang yang utuh serta bersahaja.
Namun, bagaimana jika kebahagiaan itu diwujudkan dalam sebuah manipulasi semu? Disadari atau tidak, fenomena smiling depression telah meninggalkan luka yang mendalam. Ada rasa bahagia yang terpaksa direnggut dalam situasi ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah salah ketika seseorang memilih jalan yang demikian untuk meraih kebahagiaan?
Kebahagiaan adalah hak bagi setiap individu. Mereka berhak untuk bahagia dengan caranya sendiri, termasuk menutupi kepedihan sebagai wajah kebahagiaan palsu. Ini memang dilematis. Di satu sisi, ia tidak ingin menampakkan kepedihan yang dirasakan, di sisi lain, ia juga ingin terlihat bahagia meskipun dalam kondisi terluka.
Di balik topeng kegembiraan dan kebahagiaan yang ditampilkan, ada manipulasi rasa yang disembunyikan. Rasa putus asa, tidak berharga, dan tidak mampu melakukan apa-apa bercampur menjadi satu. Akhirnya, mereka dipaksa berjuang dengan depresi dan kegelisahan dalam jangka waktu yang lama.
Di saat yang bersamaan, muncul rasa takut akan diskriminasi yang membuat pikiran mereka semakin kabur. Untuk menutupi ketakutan itu, mereka lantas berkamuflase dan berusaha untuk tampil bahagia di depan orang lain. Berpura-pura tegar dan berkata pada seluruh dunia. Seolah baik-baik saja. Sebab, akan semakin sulit jika kemudian ia berani mengungkapkan rasa pedih ini.
Melihat fenomena ini, penulis jadi teringat dengan satu pepatah kuno yang menyebut “Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”. Menarik untuk kita nantikan, sejauh mana orang dengan tipe ini bisa bertahan di balik bayang-bayang kesedihan? Atau justru, ia akan menjadi sosok menyeramkan seperti yang diperankan oleh Joaquin Phoenix dalam film Joker?
Penulis: Ramadhani Sri W