
Beberapa tahun belakangan, isu kesehatan mental masif dibicarakan dan dikampanyekan pada berbagai kesempatan. Khalayak mulai sadar pentingnya kesehatan mental bagi keberlangsungan hidup yang lebih damai dan terstruktur. Banyak pihak yang mulai sadar urgensitas mengenali tanda gangguan mental dan pergi ke ahli Konselor atau Psikolog.
Kendati demikian, masifnya isu kesehatan mental bak dua sisi uang koin. Di samping keuntungan yang diperoleh, nyatanya terdapat pihak-pihak yang menanggapinya secara kurang tepat dan malah membahayakan dirinya sendiri dan—bisa jadi—orang lain.
Seperti orang-orang yang mendiagnosis dirinya sendiri (self diagnosed) menderita penyakit mental tertentu hanya dengan bermodal cocoklogi dari artikel yang dijumpai di internet. Di satu sisi, sikap ini dapat membantu seseorang mengenali gejala penyakit mental sejak dini agar lekas mendapat penanganan dari Psikolog. Namun, di sisi lain justru dapat berbahaya apabila tidak dilanjutkan dengan konsultasi.
Ada orang yang merasa dirinya mengidap bipolar karena sering mengalami perubahan suasana hati (mood swing), mengaku sedang depresi karena mengalami gangguan tidur dan pola makan, atau menilai orang lain yang fanatik agama dan/atau paham tertentu sebagai penderita skizofrenia.
Semua itu dilakukan hanya berpegang pada artikel atau konten yang ditemui di internet. Padahal, tidak semua yang terunggah di internet dapat dipercaya validitasnya.
Selain itu, untuk mendiagnosis seseorang mengalami penyakit tertentu, dibutuhkan analisis kuat dan mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh profesional pada bidang terkait.
Tidak sedikit pula orang yang justru bangga memamerkan gangguan mental yang dialami—baik atas diagnosis ahli maupun swadiagnosis, mengunggah video siaran langsung (live) sebelum melakukan aksi bunuh diri, menggunakan kata-kata berkaitan dengan penyakit mental sebagai desain produk yang dapat memicu penyintas penyakit mental lain (anxiety, trust issue, dan sebagainya), serta sikap narsis lainnya.
Lebih lanjut, glorifikasi penyakit mental juga menyebabkan seseorang meromantisasi keadaan. Misalnya, orang yang mengaku self rewards untuk menutupi kebiasaan borosnya; mengaku self love untuk sikap egois dan individualis; lari dari tanggung jawab karena menganggap kesibukannya dapat memicu stres; merusuh di dunia nyata maupun maya dan berdalih dirinya pengidap depresi atau bipolar; dan perilaku-perilaku glorifikasi lain.
Romantisasi Gangguan Kesehatan Mental
Dilansir dari collegiatetimes.com, menurut Jessie Yu (2018), romantisasi penyakit mental tersebut dapat disebabkan oleh acara televisi dan film yang seringkali menggambarkan penyakit mental secara keliru dan tidak realistis, sehingga dapat menyakiti diri sendiri dan orang lain.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan North Texas Daily (2020) bahwa memublikasikan klaim penyakit mental—atas diagnosis ahli maupun swadiagnosis—dapat memicu penyintas lain melakukan perbandingan terhadap dirinya.
Barangkali, sebagian penyintas memang melakukannya demi mendapat dukungan dari orang lain atau sebagai media penyalur emosi yang tidak terekspresikan. Akan tetapi, memamerkannya dengan bangga dan menganggap penyakit yang dideritanya sebagai suatu hal indah yang patut diperhatikan juga bukan tindakan yang tepat—meski penyakit mental juga bukanlah aib yang perlu ditutupi.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh