
Di Pertengahan Maret 2020 lalu seolah dibuka dengan beberapa fenomena tak manusiawi. Yakni terjadinya beberapa kasus kekerasan pada anak. Februari lalu misalnya kasus di SMP Muhammadiyah Purworejo, di mana tiga anak yang masih di bawah umur melakukan penganiyaan terhadap teman sekelasnya. Meskipun tidak sampai mengakibatkan hilangnya jiwa, namun hal ini menjadi gambaran miris dengan kondisi anak indonesia.
Tak genap sebulan, hati nurani kita dibuat terbelalak dengan kemunculan kasus pembunuhan terhadap anak yang berusia 5 tahun di Karang Anyar, Sawah Besar Jakarta Pusat pada 5 Maret. Ironisnya, sang pelaku adalah seorang gadis yang masih berusia 15 tahun. Sontak kejadian tersebut membuat geger di dunia maya ataupun dunia nyata.
Bagaimana tidak, kasus yang terjadi pada seorang yang masih belum matang dalam berfikir mampu melakukakn perencanaan pembunuhan yang sulit dinalar. Ia sempat menggambarkan sketsa rancangan pembunuhanya dengan detail. Korban balita itu ditenggelamkan kedalam bak mandi kemudian dicekik, setelah korban tak bernyawa lantas ia menyembunyikan mayat tersebut di almari tempat ia menyimpan baju.
Kejadian tersebut terungkap setelah ia melaporkan diri telah membunuh tetangganya. Bahkan ketika ditanya aparat kepolisian ia tak merasakan penyesalan sedikitpun.
Setelah kasus ini didalami muncul beberapa faktor yang melatar belakangi tindakan sadis ini. Dalam penyelidikan polisi ia terinspirasi dari Fillm Chucky dan The Slinder Man adalah film favorit yang disukai.
Film yang disukai pelaku diketahui sarat dengan aksi pembunuhan dan sadisme, mana kita tahu film Chuucky atau boneka chuky adalah film yang menceritakan sebuah boneka yang bisa hidup dan gemar melakukan pembunuhan. Sedang The Slinder Man adalah karakter fiksi lelaki yang diceritakan sebagi sosok tanpa wajah dengan tentakel yang suka menculik dan melukai orang, terutama anak-anak.
Realitas Buatan
Praktik tindak pembunuhan sadis yang dilakukan anak di Jakarta Pusat ini barang kali ini termasuk implikasi dari perkembangan dunia fantasi yang dibentuk dalamnya.
Jean Baudrilllard menggambarkan manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra—sebuah gambar dan citra semata—. Manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi dan fantasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru (Simulacra and Simulation: 1981).
Ragam tampilan bercitra indah tersebut dihadirkan seolah nyata tetapi sejatinya sarat rekayasa. Dalam dunia simulasi berlaku hukum simulacra, yaitu konsep daur ulang atau reproduksi objek dan peristiwa. Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan sama atau mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya.
Baudrillard mencontohkan media lebih banyak menampilkan dunia simulasi yang bercorak hiperrealitas, suatu kenyataan yang dibangun oleh media tidak lagi mencermirkan realitas tapi mendramatisasi peristiwa. Dia menyebutnya sebagai “cyberblitz“.
Di era masyarakat digital, kehadiran teknologi informasi dan internet memang menawarkan berbagai informasi baru. Dunia maya yang tanpa batas ini, sering kali menawarkan pengaruh buruk tindak kekerasan yang mudah ditiru anak jika tidak ada edukasi yang benar dan monitoring secara intens.
Hingga kemudian tak kaget jika ada seorang anak yang setiap hari mengakses dan mengonsumsi video atau film yang sarat dengan konten kekerasan, cepat atau lambat, niscaya akan terpengaruh. Kemungkinan terburuknya bagi anak-anak yang secara psikologis bermasalah, bukan tidak mungkin mereka kemudian mempraktikkan apa yang dilihat sebagai raealiats buatan itu pada dunia nyata.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap data pengguna internet terbanyak ada pada usia 15 hingga 19 tahun. Sementara itu, pengguna terbanyak kedua berada pada umur 20 hingga 24 tahun. Anak-anak berumur 5 hingga 9 tahun pun juga menggunakan internet, bahkan mencapai 25,2 persen dari keseluruh sampel yang berada pada umur tersebut.
Hal ini menunjukan para pengguna, khususnya anak paling berpotensi meniru apa yang ia konsumsi sehari-hari. Khususnya jika akses internet sudah masuk dalam kategori candu bagi sang anak. Tanpa disertai dengan pengawasan dan pemahaman khususnya akses internet era digital ini.
Peran penting keluarga sangat dibutuhkan sebab mereka yang sebenarnya lebih dekat dengan sang anak. Kiranya hal itu sesuai dengan ungkapan yang tidak asing di telinga kita “Tidak ada anak yang salah, yang salah adalah orangtua abai”.
Penulis : Ibnu A.