Oktober 2019 lalu, kita mendapat kabar kewajiban sertifikasi halal pada semua produk. Baik elektronik, kosmetik, makanan dan lainnya.
Memang hal itu adalah dampak dari aturan yang telah dibuat oleh pemerintah, yang tertuang pada UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Penguatan penerapan aturan itu pun kiranya dapat dibilang cukup serius. Ditandai dengan kemunculan kebijakan baru atas siapa yang berhak mengeluarkan atau menarik sertifikasi produk halal. Pasalnya hak pemberi label halal adalah wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kemudian pada 17 Oktober 2019 lalu, dialihkan kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah naungan Kementrian Agama (Kemenag).
Kemunculan produk sertifikat halal bertujuan supaya masyarakat mendapatkan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi, menggunakan sebuah produk. Hingga kemudian diharapkan pula dapat meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha dalam memproduksi atau menjual produk halal.
Diskriminasi identitas
Memang ketika melihat latar belakang tujuannya, kita seolah sangat mendambakan tujuan tersebut dapat tercapai. Tapi perlu diingat bahwa sebuah kebijakan kiranya juga membawa dampak atau risiko baru.
Seperti kebijakan sertifikasi halal, terlihat lebih cenderung menekankan dalam satu golongan identitas saja. Padahal agama yang diakui di Indonesia berjumlah enam, Islam, Kristen, Protestan, Budha, Hindu, Konghucu. Meskipun memang mayoritas agama masyarakat Indonesia di dominasi beragama Islam. Tetapi tetap Indonesia bukan negara Islam.
Butuh banyak pertimbangan ketika menentukan standarisasi sertifikasi halal. Misal dalam Islam menghalalkan konsumsi daging sapi, dan mengharamkan babi. Tetapi di agama lainnya, seperti Hindu yang mengharamkan konsumsi daging sapi, kemudian Konghucu yang menganggap makan babi adalah halal.
Gambaran tersebut kemudian menjadi salah satu tantangan bagi BPJPH nantinya, yang memiliki wewenang untuk menentukan standarisasi sertifikasi halal.
Sebab dilain sisi memang pengaruh identitas agama sangat bisa menmpengaruhi konsumen. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber (1864-1924), melalui bukunya Die Protestantische Ethik and the Spirit of Capitalism bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material, baik politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.
Kuatnya dampak yang dihasilkan pengaruh agama, kiranya dapat dijadikan pertimbangan. Sebab kedekatan terhadap identitas sesama golongan hingga kepercayaan yang sama, lebih memudahkan dalam proses jual beli produk. Antara pelaku usaha dengan konsumen.
Dengan demikian bagaimana kemudian ketika seluruhnya nanti disertifikasi halal? standar halal yang dibuat kiranya tidak lain harus mempertimbangkan hak dari semua agama dalam konteks bernegara. Jika tidak ingin dibilang dalam diskriminasi antar golongan.
Penulis : Zulfiyana Dwi