Amanat.id- Sambil mengingat masa lampaunya, Ahwan Fanani mengaku dibohongi oleh temannya ketika hendak memasuki dunia perkuliahan, Rabu (25/10/2023).
Pria usia 45 tahun ini mengaku menaruh keinginan awalnya untuk menekuni bidang sastra dan sejarah. Alih-alih belum mengetahui informasi sepenuhnya tentang kampus yang dituju, dirinya pun mengikuti ajakan temannya untuk berkuliah di UIN Walisongo.
“Bisa dibilang masuk ke UIN Walisongo ini kecelakaan,” tuturnya saat diwawancarai oleh tim Amanat.id.
Ketika awal masuk ke UIN Walisongo, sontak dirinya pun merasa kaget ketika tidak menemukan jurusan yang hendak ditekuninya.
Bukannya merasa marah dan mengurungkan niat untuk kuliah, dirinya secara tegas membuang pikiran negatifnya bahkan menjadikannya sebagai semangat baru.
Dengan penuh keyakinan, dirinya pun memantapkan niat untuk berbelok arah ke ranah syari’ah dan hukum.
Saat ini, dirinya pun diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Pemikiran Hukum Islam.
“Saya ingin masuk ke fakultas sastra, diajak teman ke UIN Walisongo ternyata tidak ada, akhirnya saya masuk Fakultas Syar’iah. Maka dari itu, tulisan jurnal saya secara tidak langsung merujuk pada sejarah,” ujarnya.
Impian Sejak Kecil
Pria yang sekarang menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Pemikiran Hukum Islam ini sempat mengingat masa di mana dirinya tidak diperbolehkan memiliki pekerjaan yang sama dengan ayahnya selaku seorang petani.
“Saya dari keluarga petani, tapi ayah saya tidak ingin saya menjadi seorang petani,” ucapnya.
Meskipun terlahir dari keluarga petani, Fanani merasa yakin dan tanpa menaruh gengsi sedikitpun ketika memilih untuk menjadi seorang profesor.
“Semenjak kecil ingin menjadi seorang profesor. Jika tidak menjadi ahli pertanian, paling tidak menjadi profesor sejarah, itu cita-cita saya ketika Madrasah Ibtidaiyah (MI),” tuturnya.
Menurutnya, pola pikir sederhana dan memiliki sebuah tujuan yang jelas harus dimiliki setiap orang bahkan akademisi. Prinsip itulah yang membantunya meraih impian menjadi guru besar.
“Memang wajar sebagai manusia, rasa eksplorasinya masih tinggi, tapi untuk ukuran menjadi guru besar tujuannya adalah akademik. Kita hanya perlu menyederhanakan yang sederhana dan berpikir yang seharusnya saja, selesai,” tambahnya.
Setelah menjadi guru besar, ia merasa masih belum memberikan sebuah karya yang berkesan. Hal tersebut menjadi PR tersendiri baginya.
“Semua ilmuwan harus mempunyai masterpiece-nya. Sebuah karya yang kira-kira monumental dan menjadi ikon kita sendiri. Saya merasa belum mempunyai ikon itu. Hal itu juga yang menjadi PR bagi saya sendiri,” ucapnya.
Di akhir wawancaranya, Fanani mengingatkan bagi seluruh akademisi, baik mahasiswa dan dosen untuk mempunyai rencana dan tujuan yang jelas dalam kehidupan di perguruan tinggi.
“Bagi mahasiswa, yang terpenting adalah mau jadi apa setelah kuliah. Itulah yang membuat ada mahasiswa kupu-kupu, sayang waktu dan investasi,” tutupnya.
Reporter: Rizki Gojali
Editor: Revina