Tak terasa, sebulan berlalu kita menjalani ibadah puasa Ramadan. Selama satu bulan itu pula, kita memaksa diri untuk menahan rasa lapar, haus, amarah, dan hawa nafsu.
Apalagi, di tengah kondisi pandemi yang belum usai, tempaan kita menjadi semakin berat. Segala yang hendak kita lakukan, serba terbatas. Namun, hal itu tak menghalangi kita dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan yang sudah dua kali berturut-turut, belum bisa lepas dari cengkeraman covid-19.
Di bulan Ramadan ini, kita diajarkan banyak hal untuk lebih bisa dalam mengontrol diri. Kita tahu, di luar sana, masih banyak persoalan yang mengabaikan aspek toleransi, padahal sejatinya Ramadan juga mengajarkan kepada kita arti toleransi yang sesungguhnya. Sebab pada dasarnya, dari puasa umat muslim belajar untuk mengasah kepekaan sosial tanpa memandang segi ekonomi, sosial, budaya, agama atau etnis.
Selain itu, Ramadan mengajarkan kita untuk tetap semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Sebagaimana kita ketahui, meskipun banyak orang yang tetap bersemangat meski berpuasa, namun tak sedikit pula dari mereka yang justru menjadikan Ramadan sebagai momen untuk malas-malasan dan tetap berbaring di atas tempat tidur sambil memainkan gawai. Lalu, kembali (bisa) beraktivitas usai berbuka puasa dengan alasan tidak bisa fokus dan berpikir jernih ketika dalam kondisi lapar.
Ini memang menjadi tantangan dan perjuangan yang harus dilewati setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa sebelum meraih kemenangan idul fitri. Melihat sejarah di bulan Ramadan sendiri yang penuh dengan pertumpahan darah dalam Perang Badar, seyogyanya kita bisa belajar lebih banyak hal dari peristiwa tersebut.
Sekilas, perjuangan kita menuju kemenangan mungkin tidak seberat ketika harus dihadapkan pada perang badar. Namun, ada perang-perang lain yang patut untuk kita menangkan.
Jika Soekarno mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”, maka di bulan Ramadan perjuangan akan lebih berat dari bulan-bulan biasanya.
Selain mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu dan emosi, kita juga harus menahan hidup boros. Namun, pada kenyataannya kita belum bisa secara maksimal mengatur pola konsumsi, apalagi saat hendak berbuka puasa.
Secara teoritis, mungkin kebutuhan pangan pada bulan puasa akan turun karena perubahan pola konsumsi pada masyarakat. Orang yang berpuasa akan makan dua kali sehari pada saat sahur dan buka. Sedangkan pada bulan selain Ramadan, orang akan cenderung makan tiga kali dalam sehari (bisa kurang bisa lebih).
Fenomena bulan puasa sekarang seolah-olah mengalami pergeseran makna, dari bulan puasa menjadi bulan berpesta. Hal ini tercermin dari sajian menu berbuka puasa yang cenderung berlebihan. Kajian Nielsen Global Survey menunjukkan momen bulan puasa mampu mendongkrak permintaan barang konsumsi hingga 9,2 persen.
Bahkan, secara global pemborosan akan kebutuhan konsumsi berlebihan ini begitu mencengangkan. Data dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan dunia kehilangan pangan sebesar 1,3 miliar ton atau US$ 1 Triliun per tahun akibat salah pola konsumsi.
Pola konsumsi yang tinggi ini, tentu bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Momen berbuka puasa seolah menjadi ajang balas dendam setelah seharian menahan lapar dan haus.
Ketika kita mengonsumsi makanan dua kali lipat atau lebih dari biasanya, lambung akan mengembang seperti balon. Sebagai akibatnya, perut bisa terasa begah atau tidak nyaman karena menjadi melar melebihi kapasitas normalnya. Lambung yang kepenuhan juga bisa memicu makanan yang kembali naik ke kerongkongan.
Kini, hari ini, dan di tahun ini, Ramadan telah pergi. Ia (semoga) akan kembali di tahun-tahun mendatang dan kita juga (semoga) kembali dipertemukan dengannya.
Setelah satu bulan berperang dan ditempa, saatnya kita kembali membersihkan diri di bulan pengampunan ini untuk memulai hidup yang baru. Lihatlah, Idul Fitri telah menanti di depan mata. Takbir dan puji-pujian menggema di segala penjuru bumi.
Inilah hari kemenangan. Di sana, ada kehidupan yang damai dan penuh cinta.
Semoga, setelah meraih kemenangan ini, kehidupan hadir tanpa peperangan, tanpa kekerasan dan tanpa pertumpahan darah oleh kepentingan kelompok tertentu.
Selamat hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1442 Hijriyyah. Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.