
“Males temenan sama cewek, banyak drama!”
“Pake makeup cetar banget, kalo aku sih mending cantik alami aja.”
“Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya di dapur juga?”
Pernah dengar contoh kalimat di atas? Atau mungkin kalian pernah mengatakannya? Bahkan pernah ada mahasiswa UIN Walisongo yang melayangkan kalimat serupa pada laman Instagram @pesan_uinws—akun yang mewadahi keresahan mahasiswa UIN Walisongo:
“Beli baju kayak gitu aja mampu, masa bayar UKT aja masih protes? Beli makeup secetar itu aja mampu, masa beli buku aja masih mikir?”
Kalimat-kalimat seksis seperti di atas lazim terdengar di telinga kita, baik dalam lingkungan pertemanan atau bahkan keluarga. Biasanya, seksisme yang internalized sulit untuk disadari dan diperbaiki. Kalimat-kalimat tersebut merupakan contoh dari Internalized Misogyny.
Menurut Wikipedia, Internalized Misogyny adalah istilah yang dikaitkan dengan perilaku atau sikap dan pandangan perempuan terhadap perempuan lain atau dirinya sendiri secara tidak baik.
Hampir semua perempuan memiliki Internalized Misogyny dalam diri mereka dan mayoritas tidak menyadarinya. Internalized Misogyny dapat dilakukan oleh perempuan secara sadar maupun tidak sadar. Perempuan yang memiliki Internalized Misogyny tinggi, akan membentuk lingkup pertemanan tersendiri (circle) yang sesuai dengan preferensi mereka. Sementara para perempuan lain yang bertolak belakang akan dicibir dan direndahkan.
“I’m not like other girls” atau yang artinya “aku tidak sama dengan perempuan lainnya” adalah narasi yang identik dengan internalized misogyny. Perempuan pada kelompok ini enggan disamakan dengan perempuan lainnya karena menganggap dirinya lebih superior, keren, dan unik.
Sikap yang demikian ini tentu bertentangan dengan feminisme. Melalui Internalized Misogyny, seolah perempuan yang melakukan perawatan telah melakukan kesalahan, sedangkan perempuan yang cantik secara natural lebih baik. Mereka juga menganggap bahwa perempuan yang menyukai warna pink dan aksesoris lucu itu lebay, perempuan yang melahirkan melalui operasi bukanlah perempuan sejati, dan feminisme adalah memalukan.
Fenomena ini menjadi kontradiktif dengan perjuangan sebagian perempuan dalam mencapai kesetaraan gender. Sementara mereka memperjuangkan hak-haknya, ada segolongan dari sesama perempuan yang justru mengotak-kotakkan peran gender sehingga menjadi kaku. Alih-alih sama-sama berjuang, mereka justru menjadikan sesamanya sebagai lawan yang selalu bersaing dan berselisih.
Kenapa Internalized Misogyny dapat Terjadi?
Mereka yang Internalized Misogyny cenderung memiliki pemahaman yang sempit terhadap seseorang atau gender tertentu. Motif utamanya, biasanya dikarenakan keperluan validasi dari orang lain bahwa dirinya superior. Ketika perempuan mulai merendahkan orang lain untuk mengangkat derajatnya sendiri, artinya ada pola pikir yang keliru di sana.
Atau bahkan hal ini secara tidak sadar dapat tercipta dari lingkungan keluarga. Paham bahwa anak perempuan harus bisa memasak, independen, tidak boleh cengeng, dan tidak boleh memainkan permainan laki-laki. Mayoritas orang tua dalam lingkungan kita masih menanamkan nilai-nilai seperti itu pada anak perempuannya sedari dini.
Saat anak perempuan tumbuh dan menemui perempuan yang berkebalikan dengan mereka pelajari sejak kecil, mereka akan menganggapnya sebagai perempuan yang tidak memenuhi standar alias stereotipikal. Budaya patriarki yang hidup subur dan mewaris inilah yang mesti kita kikis perlahan.
Bisakah Internalized Misogyny Diatasi?
Meskipun sikap Internalized Misogyny sulit disadari, bukan berarti tidak bisa diatasi. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya.
1. Open Minded
Untuk mengatasi atau menghindari Internalized Misogyny, yang harus kita lakukan pertama kali adalah membuka pikiran; membaca suatu hal dari pelbagai sudut pandang dan terutama dari sisi positif. Misalnya, alih-alih mengomentari makeup seseorang yang dianggap berlebihan, kita dapat memuji keterampilannya dalam berias.
Perlahan tapi pasti, kita juga harus menghapus pandangan seksis terhadap perempuan. Contoh pandangan seksis yang menjadi stereotipe pada perempuan adalah perempuan itu tukang gosip, ribet, rempong, tidak bisa mengendarai motor dengan benar, sulit dipahami, dan sebagainya. Kita perlu mengubah cara pandang untuk berhenti mendikotomikan satu sama lain.
2. Penerimaan Tanpa Syarat
Seperti maskulinitas, feminitas juga sebenarnya produk dari kontruksi sosial. Seharusnya kita tidak perlu membuat syarat dan standar mengenai perempuan harus seperti apa dan bagaimana. Perempuan memiliki hak dan wewenang untuk menjadi apapun sesuai keinginannya. Setiap yang mereka lakukan sebagai bentuk aktualisasi diri tidak akan mengurangi kadar kewanitaannya.
Penulis: Eka Rifnawati