Selama ini, anjing dianggap sebagai hewan yang kenajisannya mutlak, khususnya di Indonesia. Padahal, jika mengakaji ke khazanah Islam yang lebih luas, kita akan menemukan fakta yang mengagetkan. Dari era Nabi Nuh AS hingga Nabi Muhammad SAW, eksistensi anjing tak pernah menimbulkan masalah. Bahkan, tak sedikit sahabat yang kemudian memelihara anjing untuk dilatih berburu dan membantu pekerjaan menjaga ternak domba sahabat.
Sejak jaman dahulu Anjing merupakan hewan yang mudah diajari atau dilatih. Al quran mengistilahkan hewan pemburu itu dengan istilah “mukallibin” atau hewan-hewan yang telah “menganjing” maksudnya, hewan yang sudah memiliki tabiat seperti anjing.
Dalam Al quran Surat Al-Maidah Ayat 4 ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang suatu yang halal itu apa saja? Maka kemudian Allah berfirman “katakanlah, yang halal itu adalah perkara yang suci (baik) atau hasil perburuan hewan yang telah dilatih. Atau hasil buruan hewan yang terlatih, dimana hewan ini sudah sepandai anjing (mukallibin)”. Imam Suyuthi menafsirkan “ayyi al-kawasib min al-kilab”, yaitu hewan terlatih dari jenis anjing.
Anjing tidak pernah najis dalam semua periode. Sehingga, ketika mendengar pujian tentang anjingnya Ashab Al-Kahfi, hal itu bukan sesuatu aneh atau bahkan tabu. Tradisi demikian terus berlanjut hingga masa tabi’in.
Tapi, ketika periode syafi’iyah (Bukan pendapat Imam Syafii) kemudian anjing diharamkan. Pendapat ini yang kemudian menyebar dan dianut sebagain muslim di Indonesia yang bermazhab Syafiiyah. Oleh sebab itu, jarang kita temui di Indonesia seorang muslim yang memelihara anjing.
Kenajisan anjing mahzab syafi’iyah ini sebenarnya adalah khilaf atau terjadi perbedaan pendapat. Teks asli hadis (redaksi) tentang kenajisan anjing adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya “Apabila anjing menjilat salah satu tempat makan atau minuman, maka cucilah tujuh kali cucian.” (HR.Muslim).
kemudian ada ijtihad. Imam Malik beranggapan bahwa tempat makan ataupun minum (wadah) harus dicuci tidak hanya pada keadaan najis saja. Karena jika tidak dicuci maka akan berpengaruh pada kesehatan. Antara dibasuh tujuh kali itu merupakan ta’abud (bernilai ibadah) tapi tidak ada konsekuensi bahwa najis itu jadi vonis najis. Sehingga Imam Malik tetap berijtihad anjing itu tidak najis.
Karena menurut logika ijtihad, Nabi menggunakan istilah pakai “wadah” dan “dijilat” berbeda dengan istilah “dijilat”. Istilah “dipegang dan dijilat” itu berbeda konsekuensinya, lebih berat dijilat. Secara ilmiyah medis sendiri efek dipegang dan dijilat juga sangat berbeda. Lebih berat efek dijilat. Karena itulah dianjurkan untuk mencuci tujuh kali Imam Malik disini mengatakan sebagai bentuk ta’abud atau tidak ada kaitannya dengan najis.
Penulis: Burhan Majid