Cukup lama saya mencari jawaban atas sebuah pertanyaan “adakah cinta yang hadir tanpa kesedihan? Atau adakah cinta yang berwajahkan keindahan saja?”
Tentu jawaban yang akan muncul dari pertanyaan itu, adalah tidak ada. Kita tahu bahwa cinta adalah perjuangan. Perjuangan menempuh kebenaran atas apa yang telah dicintainya.
Namun, sampai saat ini saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kahlil Gibran, penyair kelahiran Lebanon tak kuasa memberikan jawaban. Bahkan, dalam puisi-puisi ritmisnya belum juga memberikan saya insipirasi. Saat berlari menuju Erich Fromm pun sama. Hasilnya nihil. Ia hanya diam membisu. Analisis kritis Fromm tentang cinta, belum cukup memuaskan dahaga seutas pertanyaan itu.
Hingga akhirnya, saat saya tak lagi menggebu-gebu mencari jawaban atas pertanyaan yang lalu itu, justru saya menemukan jawaban. Bukan dari pujangga cinta atau peneliti cinta, tapi dari seorang filsuf muslim klasik yang mati muda di tangan kesewenangan penguasa. Dia adalah Suhrawardi Asy-Syahid, pendiri mazhab filsafat Isyraqi (illumination).
Dalam buku Hikayat-hikayat Mistis terjemahan dari The Mystical and Visionary Treatises of Suhrawardi—hasil meminjam buku teman—saya baru menyadari bahwa bait-bait mistisnya menjelaskan tentang realitas cinta. Syeh Isyraq Suhrawardi menuliskan cukup panjang tentang cinta dan kesedihan.
Kata Suhrawardi, keindahan, cinta, dan kesedihan adalah bersaudara. Mereka bertiga berasal dari sumber yang sama.
Keindahan adalah saudara tertua, sehingga kemanapun ia pergi dan berada, cinta akan selalu berusaha menyertai dan melayaninya, sedangkan kesedihan yang merupakan saudara paling kecil, selalui menyertai cinta untuk melayani cinta dan sekaligus melayani keindahan.
Akan tetapi, saya tidak melihat apa yang disampaikan Syeh Isyraqi dipahami secara komprehensif oleh orang-orang dengan arogansi tinggi, menyombongkan diri atas nama cinta. Orang-orang yang paling fasih berbicara cinta sejatinya adalah sekumpulan orang-orang terluka oleh cinta. Terutama cinta oleh agama; dalam hal ini islam.
Islam yang dipercaya menjadi rahmatan lil alamin hanya dimaknai atas dasar cinta dan rasa fanatisme yang tinggi. Pemikiran semacam itu justru kemudian melahirkan kebencian yang tiada akhir. Keindahan, cinta, dan kesedihan yang diungkapkan Suhrawardi dimaknai secara berlebih oleh mereka. Imbasnya, orang-orang yang tidak memiliki kesamaan pandangan keislaman dengan mereka akan dibenci bahkan berujung teror.
Kelembutan makna cinta kemudian dimodifikasi dengan paksaan untuk mengikuti ajaran yang ditafsirkan oleh mereka dengan model pembacaan literalistik, formalistik, dan syariah minded, sehingga terkesan rigid, ekslusif, dan radikal.
Di sinilah kemudian pentingnya membaca dan memahami islam melalui secara sufistik. Pengajaran sufistik akan memberikan kita keyakinan bahwa islam pada hakikatnya adalah agama yang lembut, cinta damai, dan anti kekerasan.
Tasawuf dalam Islam tidak mengajarkan penganutnya berlaku kekerasan, apalagi merugikan dan menghilangkan nyawa orang lain. Sebaliknya, tasawuf mengajarkan cinta pada sesama. Kaum sufi terutama kalangan teosofinya lebih didominasi oleh perasaan cinta. Cinta menjadi ruh bagi spiritualitas dan tindakan riil kaum sufi dalam setiap aspek kehidupan.
Cinta di sini bukan sekedar cinta ilahiah semata, tapi juga pengembangannya. Ibnu Al-Farid (632 H/1235 M) menegaskan bahwa cinta ilahiah akan merentang dan diikuti oleh cinta-cinta lain, seperti cinta kepada Rasulullah SAW, cinta pada keluarga, dan cinta kepada masyarakat, bahkan negara.
Kini, cinta itu terlanjur menjadi bubur. Kita tak lagi bisa melihat orang-orang memandang cinta seperti apa yang Suhrawardi sampaikan. Cinta orang-orang hari ini, telah membakar hati mereka yang tak bersalah, sebagaimana Hanoman membumihanguskan Alengka.
Penulis: Agus Salim