Publik digegerkan dengan tuduhan label partai setan oleh orang yang menganggap partainya adalah partai Allah. Apakah partainya benar-benar partai Allah atau dia sendiri yang sebenarnya partai setan?
Di dunia ini hanya ada dua hal. Antara hitam dan putih. Antara baik dan jahat. Begitupun kehidupan manusia yang beragama. Ada yang tetap lurus di jalan agama dan tuhan, ada pula yang sesat menyesatkan seperti setan musuh Islam.
Kembali ke partai Allah dan partai setan. Hanya ada dua hal juga. Yang menjadi partai Allah seharusnya adalah orang atau partai yang berwajah islami, pun sebaliknya partai setan adalah dipenuhi oleh para munafik yang tersesat.
Klaim penyebutan partainya adalah partai Allah dan partai yang lain adalah partai setan harus segera direvisi dan diluruskan. Karena hal tersebut terlalu naif untuk manusia ungkapkan. Mari kita bahas siapa yang layak dicap sebagai partai Allah dan partai setan.
Di dalam Islam, partai Allah disebut juga dengan “hizbullah”, yang bisa diterjemahkan sebagai kelompok Allah, golongan Allah, pengikut Allah, teman Allah, partai Allah, dan seterusnya. Kata ini dapat ditemukan pada dua surat di dalam Alquran, Surat Al-Maidah ayat 56 dan Surat Al-Mujadalah ayat 22.
Ayat ini turun terkait keberpihakan seseorang terhadap kelompok kafir atau kelompok Muslim. Seseorang yang berpihak kepada umat Islam yang tulus termasuk golongan Allah atau “partai Allah” sebagai keterangan di dalam At-Tafsirul Wajiz berikut ini:
“Siapa saja yang meminta pertolongan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang benar dan menolong syariat-Nya, maka sesungguhnya penolong agama Allah itulah yang menang karena pertolongan Allah di pihak mereka. Sebab turun ayat ini sudah dijelaskan telah lalu, yaitu konsistensi sumpah Abdullah bin Ubay (munafiq) dengan Bani Qainuqa dan pembebasan diri Ubadah dari sumpah mereka,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, At-Tafsirul Wajiz, [Damaskus, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan kedua, halaman 118).
Dalam hal ini, golongan partai yang bukan partai Allah dibedakan secara jelas antara seorang kafir dan seorang dzimmi. Yang mesti dimusuhi adalah golongan kafir. Sementara golongan dzimmi harus diperlakukan sebagai saudara sebagai persaudaraan dengan sesama Muslim. Dzimmi adalah non-Muslim yang hidup rukun dengan umat Islam.
M. Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya menyebutkan sejumlah riwayat bagaimana kedekatan Rasulullah dan Yahudi yang saling menjamu seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Ia juga mengisahkan bagaimana Sayyidina Umar menempatkan setara posisi dzimmi dan Muslim sehingga non-Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Muslim.
Sedangkan lawan dari partai Allah adalah Partai Setan. Istilah partai setan dalam Alquran dapat ditemukan pada Surat Al-Mujadalah ayat 19. Partai setan diterjemahkan dari frasa “hizbus syaithan”, padanan frasa yang sejatinya bisa diterjemahkan apa saja selain partai. Tetapi terjemahan sendiri dapat dilakukan dengan motif politik tertentu sesuai kepentingannya. Kata “hizbus syaithan” bisa diterjemahkan kelompok setan, golongan setan, pengikut setan, teman setan, partai setan, dan seterusnya.
Partai setan belakangan ini muncul dalam frasa politik di Indonesia. Partai setan diungkapkan untuk menyebut sejumlah partai tertentu yang menjadi lawan politik si pengucap. Istilah ini dikutip begitu saja dari Alquran untuk kepentingan politik praktis. sebenarnya, istilah ini dalam Alquran ditujukan ke siapa? Beberapa tafsir yang dikutip berikut ini akan menjelaskan.
Di dalam Surat Al-Mujadalah ayat 14-19 dijelaskan bahwa Konteks partai setan dalam ayat ini membicarakan posisi orang munafik di zaman Rasulullah SAW yang menyatakan keislaman mereka secara lahiriah tetapi menyembunyikan kekufuran terhadap semua ajaran Islam. Jadinya bisa jadi mereka Islam tapi masuk juga dalam golongan setan.
Orang-orang munafik ini suka membawa perbincangan umat Islam ke forum komunitas sekelompok Yahudi Madinah. Tetapi setelah ketahuan telah membocorkan perbincangan, kelompok munafik ini bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak melakukannya sebagai keterangan dalam At-Tafsirul Wajiz;
“Wahai Nabi, apakah kau tidak memperhatikan orang-orang munafik dan tidak heran dengan mereka yang menjadikan sekelompok Yahudi yang dimurkai oleh Allah sebagai teman dekat dan kekasih mereka? Orang munafik itu bukan bagian dari kelompok kalian wahai orang yang beriman dan bukan dari sekelompok Yahudi itu. Mereka adalah kelompok yang bimbang di antara dua kelompok tersebut. Mereka bersumpah dalam kebohongan, yaitu pengakuan agama Islam dan pengakuan sebagai Muslim. Mereka sendiri sadar bahwa mereka berdusta dalam sumpahnya. Muqatil dan As-Suddi mengatakan, sebuah riwayat telah sampai pada kami bahwa ayat ini turun terkait Abdullah bin Nabtal (seorang munafik). Ia duduk bersama Rasulullah kemudian menceritakan semua percakapan tersebut kepada sekelompok Yahudi. Rasulullah kemudian menegurnya. Tetapi ia bersumpah dengan nama Allah atas apa yang tidak dia lakukan. Allah lalu menurunkan ayat ini,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, At-Tafsirul Wajiz, [Damaskus, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan kedua, halaman 545).
Oleh karenanya partai setan atau kelompok setan yang dimaksud dalam Alquran merujuk pada sekelompok orang yang rela bersumpah dengan nama Allah atas sebuah dusta yang mereka lakukan. Partai setan atau kelompok setan adalah sekelompok orang yang biasa berdusta (menyebar hoaks dalam konteks sekarang ini) dan berbuat kerusakan meskipun harus mengatasnamakan agama.
Dari penjelasan di atas dan berkaca pada realita sekarang, penyebutan partai Allah dan partai setan ini berada di suasana dan lanskap politik mendekati pemilu. Untuk mengetahui siapa yang layak tulus berada di partai Allah oleh politikus sekarang tentu sangat sulit karena serba kepentingan. Jika melihat pambahasan di atas, partai setan cenderung orang yang suka menuduh dan munafik untuk kepentingannya. Para politikus yang tak henti mengklaim dirinya partai Allah sebenarnya adalah partai setan itu sendiri.
Selamat berpesta pora para setan yang mengaku Islam.
Penulis: Khalimatus Sa’diyah
Editor: PB