Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu di Amerika era Donald Trump adalah kejahatan sejarah dalam sistem Demokrasi. Hal ini terbukti nyata, bahwa saat itu, terdapat siasat untuk memanipulasi kebenaran agar tercapai keinginan atau tujuan politik Trump.
Siasat itu melalui media yang semakin sering menyiarkan berita-berita apapun soal Donald Trump setiap waktu. Sehingga hal itu membuat Trump begitu populer dan menang di Pilpres. Padahal sebelumnya semua menganggap bahwa Trump mustahil untuk menang.
Berita-berita tersebut berbagai macam modelnya dan pada faktanya sulit untuk diketahui kebenarannya. Yang pasti cara ini dilakukan agar semua orang yang membaca berita akan terus teringat nama Donald Trump.
Jika di Indonesia, terutama di tahun politik seperti sekarang. Siasat melalui informasi yang dimanipulasi untuk kepentingan dan tujuan tertentu telah juga menjadi senjata ampuh dalam berpolitik era virtual. Para tokoh politik menggunakan berita bohong atau hoaks untuk menjatuhkan lawan politiknya, bahkan pergerakanya sudah begitu masif.
Dalam hal ini, berita yang dimanipulasi tersebut ditujukan untuk membenarkan segala sesuatu yang dilakukan subyek meski itu tidak pernah terjadi sama sekali. Namun, informasi tersebut harus dan mau tidak mau diyakini oleh masyarakat secara luas. Seperti kasus Hoaks Ratna Sarumpaet yang hampir membuat masyarakat mengamini kebohongan yang telah dilakukannya.
Kini, kejahatan informasi dalam bentuk manipulasi kebenaran, bukan hanya di kalangan elit politik saja, namun masyarakat pun sudah ikut dan berani untuk membuat dan dengan mudah menyebarkan informasi yang salah/bohong dengan begitu mudahnya. Seperti yang bisa kita lihat di kanal media sosial akhir-akhir ini.
Melihat fenomena di atas, gejala semacam ini pernah dikatakan oleh Filsuf India, Josseph Goebbels, “kalau kamu mengulang–ulang kebohongan, maka orang akan percaya denganmu bahkan kamu ikut percaya dengan kebohonganmu sendiri”.
Jika mengacu pada ungkapan di atas, tujuan dari diulang-ulangnya kebohongan adalah agar orang semakin yakin dengan kebohongan. Ketika sebuah kebohongan terulang-ulang, maka akan terjadi apa yang disebut dengan simulakra. Yaitu, antara kebenaran dan kepalsuan, antara fakta dan rekaan semakin kabur dan tidak jelas. Hal ini dalam dunia informasi dapat disebut juga dengan Post-Truth.
Post-Truth ini adalah suatu keadaan dimana fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum daripada suatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu. Seperti agama, kepercayan, suku, ras, kebangsaan, dan kepentingan politik.
Sejak 2016, kamus Oxfrod menjadikan “post truth” sebagai “Word of the years”. Peningkatan penggunaan istilah post truth pada tahun 2016 ini ternyata tidak lepas dari momen politik. Contohnya saja paska pemilu pesiden Amirika Serikat (AS). Tidak bisa dipungkiri, Donald Trump sosok politisi yang suka melempar berita bohong dan klaim-klaim secara sepihak.
Apabila hal ini terus terjadi akan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, sehingga realitas kebenaran hanya ada dua. Yaitu, kebenaran semu dan kebenaran hasil simulasi.
Seperti yang terjadi di masyarakat indonesia saat ini khususnya, bangsa ini terlalu sibuk dengan mengolok-olok Capres yang ia tidak suka, walaupun apa yang disampaikan dalam membela capres yang ia dukung adalah sebuah kebohongan yang ironis.
Yang membuat semakin parah ialah, Seseorang yang melakukan politik post–truth seperti sekarang akan trus menyuarakan argumen post truth walaupun apa yang dilakukan sudah dikritik dan ditunjukan fakta-fakta sebenarnya karena tujuan dari kebenaran baginya adalah untuknya adalah milik kelompoknya.
Namun anehnya, fenomena kepalsuan ini ternyata lebih banyak diamini oleh masyarakat kita. Disini, kita dapat melihat bagaimana kecerdasan bangsa ini dalam menghadapi dunia informasi dan cara, serta praktik informasi yang ada. Terutama di wilayah politik Indonesia belakangan yang sungguh dilematis karena hanya untuk kepentingannya, rela membuat bangsa yangs seharusnya ikut maju melalui perkembangan zaman, malah memundurkannya seperti zaman jahiliyyah.
Penulis: Muhamad Syamsul Maarif