Beberapa anak-anak berjalan berbarengan menuju rumah yang berada di Desa Talun Sikunir Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Anak-anak itu merupakan warga sekitar, mereka berniat belajar dan membaca buku-buku yang ada di rumah tersebut.
Rumah yang dikunjungi mereka itu adalah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Warung Pasinaon. Menurut Tirta Nursari, penggagas sekaligus pemilik TBM Warung Pasinaon, hampir setiap hari ada anggota yang datang. Sedangkan ketika ada acara pelatihan tertentu, selalu dipadati anggotanya.
“Di Warung Pasinaon ada 300 anggota lebih yang terdaftar, dari warga asli bergas dan dari daerah lain, yang paling banyak adalah anak-anak,” ujar Ibu yang telah memiliki tiga anak tersebut.
Salah satu anggota Warung Pasinaon, Andi Yahya(lihat data anggota di pasinaon), terlihat sibuk membolak-balik buku yang berada di depan rak, berisi ragam jenis buku. Andi dan teman-temannya sering menghabiskan waktu di sore hari untuk bermain dan belajar bersama di Pasinaon.
“Saya sukanya buku cerita nabi dan majalah bobo,” ujar Andi, siswa kelas empat Sekolah Dasar Bergas Lor
Di Warung Pasinaon, anak-anak bisa belajar dengan gembira lantaran ada fasilitas belajar yang cukup lengkap, antara lain buku dan majalah anak-anak. Bermacam jenis buku tersedia di rak (buku apa saja yg di pasinaon). Mulai dari buku cerita dan dongeng anak-anak, buku-buku mata pelajaran sekolah dari SD hingga SMP, buku-buku kewirausahaan dan resep aneka makanan-minuman.
Lebih dari itu, di Warung Pasinaon anak-anak dapat belajar tanpa mengeluarkan biaya serupiah pun. Bagi siapa saja yang ingin belajar di sana akan dipersilahkan. Itulah yang membuatnya memiliki banyak anggota dari beragam usia.
“Anggota Warung Pasinaon mulai dari anak-anak, hingga orang tua,” ujar Bu Ita, sapaan akrab Tirta Nursari
Memantik kreativitas
Dirintis semenjak 2007, TBM itu telah mengalami banyak perkembangan. TBM yang dulunya hanya sebagai tempat membaca dan belajar membaca kini mempunyai berbagai program pemberdayaan masyarakat.
Di antaranya mengadakan pelatihan jurnalistik, setelah kegiatan ini diikuti oleh anggota Warung Pasinaon dan memiliki kemampuan yang dirasa cukup di bidang jurnalistik. Akhirnya dilanjutkan pembuatan beberapa produk jurnalistik, yaitu majalah Pasinaon dan majalah Ekspresi Pasinaon (Ekspas).
“Majalah Pasinaon dibuat oleh anggota yang tergolong berumur tua, untuk para remaja dan pemuda mengekspresikan keterampilan menulisnya lewat majalah Ekspas,” jelas Tirta.
Melihat perkembangan Warung Pasinaon yang semakin baik berkat dukungan dari masyarakat dan beberapa sponsor. Tirta melebarkan sayap menjajaki wirausaha agar masyarakat punya berbagai keterampilan selain daripada membaca dan tulis menulis.
Hal itu ia lakukan bersama anggota yang lain dan bekerja sama dengan beberapa kampus yang ada di Semarang. “Anggota di sini juga membuat sepatu lukis, mereka diajari mahasiswa Unnes dan Undip yang dari mahasiswa wirausaha,” ujarnya.
Selain sepatu lukis, ada kegiatan menari, kreasi kerajinan dari kain flanel, kreasi wayang bocah, pembuatan tas-tas, pakaian, dan mainan anak-anak untuk mengasah otak. Tirta dan para relawannya selalu mengusahakan melakukan inovasi agar anak-anak tidak jenuh dan masih sering ke Warung Pasinaon.
Semua kegiatan itu, menurut Tirta dilaksanakan sesuai jadwal yang telah dibuat para anggota dan relawan yang ada di Pasinaon.
Itulah kondisi di Warung Pasinaon yang mirip sebuah perpustakaan dan dijuluki masyarakat sebagai rumah pintar. Pasinaon telah mimiliki dua ruangan sebagai perpustakaan yang berisi bermacam buku. Untuk buku bacaan yang agak berat dan untuk orang yang sudah berumur, terletak di dalam ruangan, untuk buku anak-anak berada di teras rumah.
“Sekarang kita punya koleksi enam ribuan buku,” jelasnya.
Berorientasi kemasyarakatan
Mengenai pemakaian kata “Warung Pasinaon” yang dijadikan nama rumah belajar itu, Tirta merasa idiom itu cocok untuk menarik perhatian warga. Karena kata “warung” itu dekat dan tempat yang sering dikunjungi masyarakat dan harapannya yang datang ketika pulang bisa “kenyang” ilmu pengetahuan. Sementara untuk “pasinaon” dalam bahasa Jawa berarti pembelajaran.
“Siapa pun yang ingin belajar boleh datang ke warung ini,” jelasnya.
Masyarakat mengaku memang tertarik untuk belajar di sana. Seperti halnya Sheila Mardiani Ayu yang sering berkunjung dan belajar di Warung Pasinaon. Ia merasa nyaman belajar di warung pasinaon lantaran sukarelawan yang di situ ramah dan mau mengajari dengan sabar.
“Yang mengajar di sini perhatian kepada kita, jika tidak paham tugas sekolah ada yang membimbing,” ujar Sheila, pelajar SMP di Bergas
Awalnya, pendirian warung pasinaon itu diperuntukkan untuk warga yang mengalami kesulitan atau kurang beruntung di bidang pendidikan. Ketika itu, Tirta melihat cukup banyak anak-anak di Bergas yang belum mendapat pendidikan secara memadai.
“Banyak orang yang bekerja di pabrik, anak-anak kurang terurus, tidak ada yang mengarahkan dan mendampingi setelah pulang sekolah. Ada infiltrasi dari luar, juga muncul kenakalan-kenakalan remaja, seksualitas dini,” ujarnya.
Di tahun-tahun itu kondisi keber-aksara-an masyarakat juga masih rendah, terutama untuk ibu-ibu rumah tangga yang sebagian tak bisa membaca dan menulis. Menurut Tirta, setiap orang perlu bisa membaca dan menulis, hal itu supaya tidak mudah dibodohi atau ditipu oleh orang lain.
Suminah (45), salah satu anggota pasinaon yang dulunya buta aksara, mengaku sangat bangga lantaran sekarang bisa membaca dan menulis. Kemampuan membaca dan menulis itu ia peroleh semenjak ia belajar di Wapas.
“Saya senang ada Warung Pasinaon di desa ini, semoga semakin baik,” harapnya.
Senang tantangan
Sebagai pengurus Warung Pasinaon, Tirta telah mendapat banyak pengalaman dalam perjalanan merawat keberadaan TBM agar tetap eksis. Tahun-tahun awal berdirinya itu hanya segelintir orang yang mau belajar di Pasinaon, karena masyarakat belum tahu dan sadar akan pentingnya membaca.
Tak hanya itu, Warung Pasinaon telah berpindah lokasi hingga tiga kali lantaran tidak memilki biaya untuk membeli tempat. Pertama kali pindah saat berada di Mushola karena dirasa cukup mengganggu warga yang beribadah, setelah itu didirikan lagi di rumah orang tua, dan terakhir dipindah di rumah sendiri yang didirikannya bersama suami, Hermawan Budi Sentosa.
“Kadang terasa jenuh dan melelahkan, tapi itu biasa,” kata Tirta.
Meski banyak kesulitan yang dialami, hal itu tidak menyurutkan semangat Warung Pasinaon untuk terus berkontribusi baik ke masyarakat. Bersama sang suami, ia menghadapinya dengan istiqomah dan selalu bersyukur, ia merasa suaminya juga para relawan di Pasinaon berperan besar dalam perjuangannya selama itu.
“Suami sangat mendukung, beliau kapan pun selalu ada jika dibutuhkan,” ujar Tirta dengan senyum yang mengembang.
Akhirnya perjuangan itu berbuah manis, tahun 2009 Warung Pasinaon memperoleh juara 1 Manajemen TBM se-Jawa Tengah. Setelah itu tambah baik prestasinya karena menjadi juara 1 TBM Kreatif Tingkat Nasional di tahun 2011. Dari situlah, sampai sekarang Tirta masih cukup sering diundang untuk mengisi acara atau jadi narasumber terkait pengelolaan TBM, baik di dalam dan luar kota.
Meski begitu, kondisi Warung Pasinaon mengalami pasang-surut, kegiatan-kegiatan yang dilakukan ada kalanya tidak lagi jalan, bahkan hilang. Seperti di tahun 2014 sekarang ini, majalah Pasinaon dan beberapa pelatihan tengah vakum.
Namun Tirta punya semangat besar mengelola Pasinaon karena dirinya selalu menemukan inspirasi di situ. Ia merasa terus termotivasi ketika mampu menolong sesama, Tirta berprinsip kebaikan itu perlu ditularkan ke orang lain agar diri seseorang bisa bahagia.
Rohman Kusriyono