Ilustrasi Dok. Google |
“Warga negara adalah suatu hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam berbagai pola struktur sosial, politik serta kehidupan kultural serta untuk dapat membantu menciptakan bentuk-bentuk yang selanjutnya dengan begitu maka memperbesar ide-ide,” demikian kata Graham Murdock.
Sebagai warga negara yang sah, tentu kita mempunyai hak-hak yang sama. Bahkan termasuk untuk (mengaku-ngaku) cinta dan bangga mejadi orang Indonesia. Sebagian orang akan menggunakan haknya untuk menyindir dan mengkritik, sebagian lagi menghardik, serta mengkafirkan, dan seterusnya. Semuanya diungkapkan sebagai ekspresi kecintaan serta kegemasan terhadap penyelenggara negeri ini sesuai kehendaknya sendiri-sendiri. Begitu banyak manusia munafik di negeri tercinta kita ini, berlindung dibalik jabatan dan kedok agama, lalu menghakimi sesamanya yang berbeda keyakinan dengannya. Sungguh mengerikan.
Dari peristiwa-peristiwa semacam itu saya sering berandai-andai, mencoba menciptakan kemungkinan lain dari kenyataan yang sebenarnya. seandainya saja kita bersama-sama menggunakan hak yang kita miliki untuk saling merawat keberagaman, mengelola kekayaan sumber daya alam, dan atau melakukan tindakan-tindakan kecil sebagai wujud dari gagasan yang kita miliki, itu sangatlah akan lebih berguna. Sebab hal semacam itulah yang seharusnya kita lakukan, ketimbang melakukan sesutu yang berpotensi memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Retak rekat Indonesia kita lah sebagai warga negara yang menentukan.
Janganlah sekali-kali kita mengatakan sudah melakukan perubahan, dengan hanya memiliki gagasan dan tumpukan ide. Selama itu tidak ada tindakan nyata, maka itu tidak lain hanyalah tumpukan sampah. Jangan pula mengatakan negeri ini sangatlah kaya, bertumpah ruah bahan mentah tambang emas, perak, tembaga, dan hasil pertanian, selama negeri ini tidak mampu mengolahnya menjadi barang yang bermanfaat, maka semua itu tak lebih hanyalah sebatas anggapan saja. Sebab yang “katanya” negeri ini begitu kaya, masih banyak masyarakatnya hidup miskin di atas tumpukan mineral tambang yang berlimpah itu.
Tapi itulah mental bangsa yang mengaku demokratis ini. Masih banyak orang-orang yang dibungkam karena suara-suara yang diteriakkannya. Masih banyak orang yang dibatasi perannya karena nama Tuhan yang dia sembah berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh mayoritas orang. Negeri ini terlalu bangga dan nyaman dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Hingga kita lupa satu hal, kita musti merawat kekayaan (alam, budaya, ras, suku, agama) yang kita miliki.
Memang. Indonesia bukan Negara utopia, seperti yang diistilahkan Socrates, tapi setidaknya penghuni negeri ini harus berhenti sombong, angkuh dan picik, serta percaya dengan ramalan, atau anggapan para ekonom. Seringkali mereka bersabda, katanya, negeri ini memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah China dan India dan akan menjadi raksasa ekonomi dunia. Bagi saya, itu hanya karangan para elit politik saja, mencoba menenangkan masyarakat agar tidak cemas akan krisis global yang sedang menghantam dunia.
Kemudian, dengan hak suara mereka dan kepercayaan diri yang berlebih, mereka berkata, Indonesia tidak akan terkena pengaruh dari krisis global yang sedang melanda dunia. Bukankah perekonomian kita sudah porak-poranda sejak awal, jauh sebelum krisis itu datang? Di negeri ini orang-orang miskin semakin bertambah dan orang-orang kaya menjadi “pelupa” kepada kehidupan sekitar.
Dan masih banyak kenyataan dan kesedihan yang lain. Semuanya menceritakan betapa mencemaskannya Negeri ini, banyak orang yang mengaku cinta dan bangga tapi setelahnya menjadi perampok di Negeri sendiri. Sekarang, begitu banyak penguasa mencoba menina bobokkan msyarakat dengan bermacam propaganda manis, dengan harapan masyarakat akan menerima ketidak adilan yang mereka dapatkan. Sepertinya ia tidak sadar, masyarakat acuh terhadap semua janji-janji palsu murahan dan sejenisnya, karena yang mereka inginkan hanyalah beras untuk dimakan dan rumah untuk ditinggali. Jadi berhentilah meniupkan janji-janji palsu, sebab masyarakat hanya memngharapkan penguasa yang mampu membawa kehidupannya lebih sejahtera.
Negeri ini sesungguhnya indah. Hanya saja manusi-manusianya sedang mengalami “sakit” yang tak kunjung sembuh. Dan satu hal yang mungkin tak banyak orang tau, saya sangat mencintai Negeri ini.
Hasan Tarowan
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Walisongo Semarang