
“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihitung adalah salatnya. Jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan akan selamat. Sebaliknya, apabila salatnya rusak, ia celaka dan akan merugi …. “ Al Jami Al Kabir, at-Tirmidzy Juz I Hadits nomor 413
Apa yang tertuang dalam hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa, hal yang pertama kali dihisab kelak setelah kehancuran alam semesta (baca: kiamat) adalah perkara salat. Setelah dikumpulkan di oro-oro mahsyar (padang mahsyar) dan menunggu lamanya hari perhitungan, lantas semua perkara umat manusia akan ditimbang untuk kemudian diadili satu per satu tanpa luput sedikitpun, tak terkecuali salat.
Memasuki peringatan Isra Miraj yang jatuh pada tanggal 11 Maret 2021 ini, penulis mengingatkan kembali perihal salat sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan kebergamaan umat muslim. Seperti kita ketahui, peristiwa Isra Miraj merupakan sebuah kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan perintah salat dari Allah SWT, tepatnya pada tanggal 27 Rajab.
Terlepas dari jumlah rakaat salat yang harus dikerjakan umat muslim, yang semula 50 rakaat menjadi 5 rakaat, ingin penulis tekankan bahwa komponen utama dalam salat adalah kekhusyukan. Hari ini, kita banyak dipertontonkan oleh orang yang lebih mengutamakan kewajiban menjalankan salat daripada esensi salat itu sendiri. Yang terjadi selanjutnya, perkara salat seolah dijadikan sebagai penggugur kewajiban semata. Lebih-lebih, orang yang melakukan salat seolah dikejar-kejar waktu hingga ia menjalankan salat dengan tergesa-gesa.
Padahal, jika kita kaji lebih dalam, esensi salat tidak hanya sebatas gerakan yang diawali takbir dan diakhiri salam. Lebih dari itu, salat sebagai sarana seorang hamba berkomunikasi lebih dekat dengan sang pencipta.
Lalu, bagaimana hukumnya dengan orang yang menjalankan salat dengan tergesa-gesa? Apakah salatnya bisa dikatakan sah?
Sah tidaknya salat seseorang bisa diukur melalui syarat sah dan wajib mendirikan salat termasuk rukun-rukunnya. Namun, yang menjadi garis besar permasalahan adalah persoalan cepat lambatnya orang mengerjakan salat.
Sebenarnya, umat Islam tidak boleh melaksanakan salat dengan kondisi tergesa-gesa. Bukan hanya salatnya saja yang tidak boleh tergesa-gesa, mendatangi salat pun tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa. Seperti yang disebutkan dalam hadist berikut ini.
“Suatu hari, saat Rasulullah SAW salat, beliau mendengar suara gaduh di belakang. Seusai salat Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, apa gerangan yang telah terjadi sehingga terdengar suara gaduh pada saat salat? Para sahabat menjawab: kami tergesa-gesa mendatangi salat. Rasulullah SAW. kemudian bersabda, ‘jika kalian mendatangi salat hedaklah kalian (berjalan dengan) tenang. Ikutilah rakaat yang dapat kalian ikuti dan sempurnakanlah rakaat tang tertinggal.” (HR. Bukhari & Muslim)
Mengapa demikian? Pasalnya, orang yang tergesa-gesa biasanya tidak bisa mengontrol emosi dan pikiran mereka. Ini akan membuat hati dan pikiran kosong, serta menjadi tempat kesukaan setan. Terlebih, sifat tergesa-gesa datangnya dari setan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Ketenangan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari syaitan.” (HR. Turmudzi)
Masih berbuat kemungkaran
Dalam realitas yang sebenarnya, kita masih sering menemui orang yang rajin dalam menjalankan ibadah salat, namun di sisi lain ia masih sering berbuat maksiat. Lalu, ada pula orang yang ketika di hadapan orang banyak terlihat alim dan shalih, namun ketika sepi, ia menjadi orang yang menerjang larangan Allah.
Padahal hakikatnya, fungsi salat sendiri dapat menghindarkan manusia dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Ankabut penggalan ayat 45 berbunyi: “Inna as-salata tanha anil-fahsya-i wal-munkari.” Yang artinya: “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.”
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Az-Zawajir an Iqtiraf Al-Kabair menjelaskan, orang yang menampakkan keshalihannya (baik itu mengerjakan salat, puasa, dan zakat) namun masih mengerjakan hal-hal yang dilarang Allah diganjar dosa. Maksiat yang dilakukan orang yang rajin salat itu merupakan pertanda runtuhnya ketakwaan dan rasa takutnya kepada Allah SWT.
Jika orang tersebut rajin salat namun masih melakukan maksiat—baik sembunyi maupun terang-terangan—tapi dipenuhi rasa penyesalan, Syekh Muhammad Al-Mukhtar menyebut orang semacam ini bukanlah orang yang menantang Allah. Namun, perbuatan maksiatnya yang tidak dibenarkan. Artinya dibutuhkan pertaubatan—yang sebenar-benarnya taubat—dan tidak mengulanginya kembali.
Berkaca dari fenomena tersebut, patutlah kita melakukan penilaian dan memperbaiki diri termasuk dalam menjalankan ibadah salat. Mengingat, salat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab setelah hari kiamat nanti.
Penulis: Agus Salim I