Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kendaraan masih berlalu-lalang seiring beberapa wanita molek mulai bermunculan, menanti sapa di sepanjang jalan. Beberapa kendaraan tampak menepi, terpincut oleh rayuan maut. Hanya dengan sekali “Ssttt…”, tidak mereka pedulikan anak bini di rumah yang masih setia menanti.
Meski sudah berulang kali terkena razia satpol PP, nyatanya tak menyurutkan semangat mereka untuk menjajakan diri. Bertarung melawan harga diri demi dapat mengisi pundi-pundi.
Dibanding satpol PP, ada satu orang yang kedatangannya menjadi petaka bagi para Wanita Matik. Sekali pelotot, mereka terbirit ketakutan. Suaranya tidak lantang, bahkan setiap tutur yang keluar dari mulutnya lebih terdengar seperti gumaman. Namun, bak sihir, setiap aura yang keluar dari indranya mampu membuat Wanita Matik kehilangan nyali.
Dia bernama Ciblek. Wanita berusia separuh abad. Konon katanya, nama tersebut disematkan kepadanya karena fisiknya yang cilik, pendek, elek. Ada juga yang mengatakan karena kedua matanya belok, tampak selalu melotot dan jarang berkedip, orang-orang lantas menyebutnya Ciblek, yang merupakan akronim dari cilik-cilik betah melek.
Entah filosofi Ciblek pertama atau kedua yang benar. Yang jelas, Ciblek adalah pawang dari para Wanita Matik yang selalu mangkal di sekitar stasiun mulai pukul sembilan malam.
Itulah yang akhirnya menjadi alasan Miranti berada di gang sempit sekarang. Sambutan dari perpaduan bau pesing dan bacin yang menguar dari comberan berhasil membuat Miranti mengumpat. Namun, tak lantas membuatnya menyerah untuk mencari tahu siapa Ciblek sebenarnya.
Ketika mendengar nama Ciblek, orang akan otomatis memvisualisasikannya dengan pakaian kumal dan sobek di beberapa bagian, kulit cokelat mengilat seperti terguyur minyak jelantah, sepasang mata belok, dan bau apak. Tidak ada sisi sangar sama sekali.
“Heiho! Hua! Hei! Hei!” gumam Ciblek yang selalu disertai pelototan ketika meminta Wanita Matik pulang. Tidak jelas apa maksudnya. Namun, selalu berhasil membuat mereka terbirit meninggalkan lokasi.
“Sial, dia mengerjaiku! Sudah jauh-jauh ke sini, eee malah ditinggal tidur!” umpat Miranti ketika sosok yang ia ikuti sedari tadi lenyap di balik pintu, tertelan oleh kegelapan beberapa saat kemudian.
Sembari bersungut, Miranti menegakkan badan; bersiap pergi. Namun, belum sempat melangkah, gerakan kaki Miranti tertahan oleh pekikan lantang. Ia tidak paham setiap kata yang terdengar, tapi Miranti bisa mendengar dengan jelas ada luka yang berusaha meringsek keluar melalui lengkingan suara itu. Ada sesak yang mencoba membobol bibir yang selama ini bungkam. Ada dendam yang nekat memecah keheningan malam.
“Hey, sedang apa di situ?” Suara serak basah terdengar mengejutkan. Miranti menoleh, menatap tanpa ekspresi pria berkumis lebat yang sudah berdiri di belakangnya.
“Berani sekali kamu datang ke sini dengan pakaian mini. Mau cari mati?” Miranti menggeleng, meski tak sepenuhnya paham maksud pria itu. “Kalau Ciblek melihatmu, bahaya. Cepat pergi!”
Belum sempat Miranti memberi tanggapan, lengkingan pilu kembali terdengar. Miranti menoleh, kemudian membagi pandang pada pria berkumis lebat yang ketahuan mencuri pandang pada buah dadanya yang tambun. Miranti tak acuh. Tapi ia menuntut penjelasan lebih mengenai suara itu.
Pria berkumis rimbun yang sadar telah terpergok, berusaha mengendalikan diri. “Kalau mau tahu, besok pagi kembali ke sini.”
Lengkingan ngilu terdengar lagi. Miranti menimbang sebentar, masih ragu dengan usul pria berkumis lebat. Akhirnya, ia menurut pulang, membawa sebongkah tanda tanya yang haus akan jawaban.
****
Srintil. Usianya baru menginjak 14 tahun ketika sang ayah menyuruhnya bekerja. Ia tidak berani protes, sebab sedari kecil, ia dididik menjadi anak yang penurut dan tidak boleh membantah perkataan orangtua.
Malam itu, bersama sang ayah, ia berjalan menuju sebuah rumah yang didominasi warna merah. Bau ciu sudah semerbak tercium meski posisinya berjarak sepuluh meter.
“Nduk, Bapak antar sampai sini. Kamu langsung masuk saja. Bilang, mau bertemu dengan Koh Liem. Mengerti?”
Melihat anggukan anak sulungnya, pria paruh baya itu tersenyum lega. Ia memegang kedua pundak putrinya. Memberi wejangan sebelum benar-benar melepasnya.
“Dengarkan kata bapakmu ini. Kamu tidak boleh menangis. Ingat adik-adikmu di rumah, ingat ibumu yang sedang sakit, kamu harus membuang jauh rasa malu dan air mata demi mereka.”
Setelah itu, tanpa peluk atau ucapan perpisahan, seorang anak telah resmi ditinggalkan ayahnya. Ia sempat takut dan ragu. Namun, kalimat terakhir ayahnya menjadi motivasi untuk terus melangkah, demi Ibu dan adik-adiknya.
****
Sri terkejut mendapati seisi ruang tamu yang rapi dan sepi. Tidak ada segerombolan pria yang sedang pesta miras seperti dugaannya. Begitu masuk, ia disambut oleh laki-laki gundul berkulit putih dengan kumis lele yang melambai. Seperti perintah sang ayah, ia mengatakan ingin bertemu Koh Liem.
“Hayya … Liem? Itu nama owe.” Laki-laki itu tertawa hambar. “Siapa namamu?”
Setelah sekilas mengomentari penampilan Sri, Koh Liem lagsung menggiring Sri ke belakang. Sepanjang perjalanan, mata Sri memindai setiap daun pintu yang menghiasi lorong yang ia lewati.
“Mungkin ini hotel milik orang Cina,” batinnya, menguatkan diri.
Setelah melewati tirai merah, ia memasuki ruangan lebar yang berisi banyak wanita. Jika tidak salah mengira, usia mereka berada di atas Sri. Di ruangan ini, hanya Sri yang berkulit sawo matang, bermata belok, dan bertubuh kecil.
Koh Liem menyerahkan Sri kepada salah satu wanita. “Siapa nama Kakak?” Sri mencoba beradaptasi.
Wanita yang ditugasi mengurus Sri, melirik sekilas. “Panggil aku Lynn,” jawabnya dengan aksen Tionghoa.
“Kak Lynn, pekerjaan apa yang bisa saya lakukan?” “Kau akan jadi pelayan,” jawab Lynn. Singkat.
Sri semringah mendengarnya. Setiap hari, ia yang mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Mencuci baju dan piring, memasak, membersihkan rumah, menghidangkan suguhan untuk tamu Bapak. Ini adalah pekerjaan yang mudah!
“Pakai ini!” Lynn menyerahkan pakaian berwarma merah dengan hiasan pita emas di beberapa bagian.
Dahi Sri berlipat, tapi ia tetap menerima. Mungkin memang itu seragam kerjanya. Sebagai anak baru, ia harus menuruti apa kata Lynn dan Koh Liem. Toh, ia tidak berani membantah perkataan orang yang lebih tua darinya.
Setelah memakai “seragam” yang tampak kebesaran, Sri duduk diam di ambin, menyerahkan diri kepada Lynn untuk ddidandani. Tidak terlalu menor, menyesuaikan dengan usia dan wajah Sri yang memang sudah cantik.
“Kau tadi melihat banyak pintu?” Sri mengangguk mantap. “Hush! Jangan banyak bergerak, nanti berantakan!” Sri meringis, kembali menjaga sikap. “Setelah ini, kau lewati lorong tadi. Masuk ke kamar 105.”
“Saya bertugas membereskan kamar?” “Kamar dan isinya.”
“Jangankan kamar 105, seluruh kamar pun saya bisa.” Sri berseru mantap. Sementara itu, Lynn tertawa penuh arti. “Kenapa begitu?”
Tanpa keraguan, Sri mengatakan, “Semakin banyak kamar yang saya bereskan, semakin banyak uang yang saya bawa pulang.”
“Betul, kau mau membereskan semuanya?” Sri mengangguk. Lynn tampak menimbang. “Baiklah. Kau urus kamar 105 dulu. Yang lain, biar nanti aku pikirkan.”
Senyum di wajah Sri semakin mengembang. Sejarah tak pernah luput mewartakan, orang Cina adalah kiblat kesuksesan. Dan sekarang, ia bekerja pada orang Cina. Tidak bisa ia bayangkan seberapa banyak uang yang akan ia peroleh sepulang dari sini.
Selesai dirias, Lynn menyuruh Sri lekas memasuki kamar. Tatap dari beberapa pasang mata mengiringi kepergian Sri.
Seperti dugaannya, kamar 105 amat berantakan. Selimut dan bantal berserakan. Beberapa pakaian dalam turut menghiasi lantai. Bau minyak menyengat cupingnya.
Mumpung masih kosong, karena Sri pikir penghuninya sedang keluar, Sri segera membereskannya. Dengan cekatan, tak lebih dari lima belas menit, ia menyulap kamar 105 menjadi rapi dan nyaman.
Saat membalikkan badan, bersiap keluar, mata Sri menangkap cermin besar yang dipasang di dinding. Ukuran cermin itu bahkan lebih besar dari tubuhnya.
Dan saat itu pula, Sri menyaksikan dirinya sudah berubah. Bukan lagi anak gadis Ibu yang kalem dan pendiam. Bukan lagi anak Bapak yang selalu digembleng untuk menjaga penampilan. Bukan lagi anak sulung yang sibuk merawat adik dan rumah sehingga tidak memiliki waktu untuk merias diri.
Dalam tangkapan cermin, Sri bermetamorfosis menjadi gadis dewasa. Ia bahkan baru sadar, pakaian yang ia kenakan terbuat dari kain tipis yang dengan sekali tatap, tampak seluruh lekuk tubuhnya. Sri pun baru menyadari, tubuhnya berbeda dari sebayanya. Bagian dadanya lebih menonjol, pinggulnya membentuk lengkungan sempurna, wajahnya mulus tanpa jerawat, mata beloknya menyiarkan aura ceria, ditambah dengan lubang di masing-masing pipi. Meski tubuhnya kecil, tapi termasuk “sempurna”.
Tanpa sadar, Sri melebarkan senyum. Ia mematut dirinya sendiri dalam cermin, mengagumi bayangan di hadapannya. Sri bahkan lupa, pakaian di tubuhnya sudah menyalahi norma yang selama ini Ibu ajarkan. Sri bangga dengan tubuh eloknya.
Hingga tanpa disadari kehadirannya, sepasang tangan melingkari perut Sri dari belakang. Sri terkejut bukan main. Siapa gerangan yang berani memeluknya? Selama ini, ia berusaha keras agar tidak tersentuh pria sembarangan.
“Siapa kamu?!” Sri dapat melihat wajah pria itu dari cermin. “Lepas! Lepaskan aku!”
“Ada apa, Sayang? Hm? Jangan takut.” Pria itu semakin menjadi-jadi. Seolah tak memahami ketakutan Sri, dia malah menciumi, menjilat, dan mengisap tengkuknya. Membuat si empu meremang.
Sri tidak menyerah. Ia terus mencoba menyelamatkan diri. Menggeliatkan tubuh mungilnya yang terpenjara dalam sangkar sepasang tangan kekar.
“Saya kemari untuk bekerja. Saya dibayar sebagai pelayan!” “Apa? Kau bilang apa?”
“Saya dibayar untuk menjadi … pelayan.” Sri memelankan suara begitu menyadari makna “pelayan” yang Lynn maksud tadi.
Sebelum Sri meraih kesadarannya kembali, pria di belakang Sri sudah bertindak lebih jauh. Tubuhnya yang tinggi kekar, agak kesulitan merengkuh Sri yang mungil. Tangan kekarnya perlahan turun, menyibak ujung gaun. Digerayanginya setiap inci tubuh Sri. Dari paha, vagina, hingga buah dada. Dan Sri yang baru pertama kali mengalami, seketika lemas. Tubuhnya kehilangan daya. Antara terkejut, tidak siap, dan kecewa dengan keputusan ayahnya.
Tubuh Sri yang semakin kehilangan kekuatan tentu menjadi kemenangan bagi pria itu. Sri terlanjur kecewa, pikirannya kalut. Ia tidak menolak ketika pria itu mengangkutnya ke atas ranjang. Menanggalkan helai demi helai pakaian, menjilat, mengisap, dan merenggut mahkota yang selama ini Sri jaga.
Sesekali Sri melenguh, menyebabkan berahi pria di atasnya semakin membuncah. Sri tidak menangis, seperti janjinya pada Bapak, ia tidak akan membiarkan air mata jatuh barang setetes pun.
Pria yang tidak Sri ketahui namanya itu, dengan beringas membungkam mulut Sri. Tidak memberinya kesempatan untuk menjerit, meminta tolong, memaki, atau apapun itu. Padahal, Sri sendiri tidak berniat demikian. Hatinya terlanjur terluka, tubuhnya terlanjur kecewa. Ia tidak memiliki daya untuk mempertahankan diri.
Yang bisa ia lakukan hanya menutup mata dan telinga. Berharap setelah ini ia amnesia agar tidak perlu mengingat malam terburuk sepanjang hidupnya. Atau, mati pun tak apa. Untuk apa pula ia hidup? Orangtua yang selama ini menjadi tempat ia berpijak pun, tak lagi peduli dengannya.
Hingga kemudian, lengkingan pilu itu keluar tepat ketika keperawanannya direnggut secara beringas. Dan lengkingan itu terus berlanjut hingga pagi, ketika Lynn mengabulkan permintaannya tadi. Sri harus melayani setiap penghuni kamar. Berhubung kondisi Sri tidak memungkinkan, “mereka” yang akhirnya berkunjung ke kamar 105. Dengan senang hati antre demi menikmati tubuh Sri.
****
“Pergi!” bentak salah seorang satpam. “Kau tidak bisa naik tanpa tiket!”
Tak peduli, wanita berambut panjang itu berusaha melawan. Setiap hari yang ia lakukan adalah duduk bersandar pilar. Ketika kereta datang, ia berlari menuju gerbong.
“Tolong! Tolong aku! Nyonya, tolong aku! Tolong!” teriak wanita itu, entah kepada siapa.
Tidak ada yang menoleh. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, jika tidak mendapat perintah dari atasan pun, para satpam yang berjaga malas mengurusi wanita kumal pembawa onar itu.
“Jangan menyentuhku! Aku tidak sudi! Aku ingin pergi, lepaskan … Lepas!” Wanita itu terus berteriak. Tapi sekali lagi, tidak ada yang peduli.
Hingga suatu ketika, karena kehabisan kesabaran, salah seorang satpam nekat membopongnya. Membawanya ke luar area stasiun, menuju gubuk tua yang sudah tak berpenghuni.
“Kau! Kau tidak bisa menahanku. Biarkan aku pergi!” PLAK!
Tangan kekar satpam mendarat di pipi wanita itu. Membuatnya bungkam seketika. Tak berhenti sampai di situ, satpam mendorong tubuhnya hingga membentur dinding dan lantai. Tanpa rasa kemanusiaan, satpam menginjak tangannya, menarik kerah pakaian hingga ia tercekik.
Dan dari sakit yang diderita, akhir perlakuan satpamlah yang paling membekas. Lagi-lagi ia harus menyerahkan harga diri. Kali ini, dengan proses yang lebih kasar, penuh luka dan raungan.
Setelah puas, satpam meninggalkan wanita itu. Membiarkannya terkutuk oleh perasaan dan pikirannya sendiri. Merutuk pada semesta yang telah membiarkan orang-orang biadab tetap hidup dan menghancurkannya.
Sekelebat wajah Bapak muncul dalam benak, membuatnya muak. Berlanjut sosok ibu dan adik yang silih berganti menyayat hati. Saat kerinduannya menyeruak, senyum penuh kemenangan dari para keparat membuatnya tergugu. Salah apa ia hingga dihukum sebegini pedihnya?
Setiap hari, yang ia lakukan hanya memeluk lutut di pojok ruang. Sengaja tak mencari makan, tidak ada lagi harapan baginya untuk melanjutkan kehidupan. Rambutnya yang kian memanjang menjadi media pelampiasan diri, ia jambak tanpa henti. Kulitnya semakin kusam, tak terawat. Sesekali satpam stasiun berkunjung membawakan makan, untuk kemudian disetubuhi tanpa perasaan.
Setiap pukul sembilan malam, Sri meraung kesakitan.
****
Tiga insan yang duduk melingkar, menahan napas selama beberapa saat. Tidak ikut mengalami, namun bisa merasakan sesak yang teramat dalam.
“Dialah Sri. Gadis yang dipaksa melayani dua puluh lima pria dalam semalam. Tanpa ampun, tanpa jeda. Demi membayar utang orangtuanya.”
Pak Min, tetua kampung yang sekarang duduk di hadapan Miranti dan Bambang (pria yang semalam bertemu dengan Miranti), menerawang jauh ke masa silam.
“Setelah malam itu, ia berjanji tidak akan pulang ke rumahnya. Mulai malam itu, rumahnya t idak lagi berfungsi sebagai “rumah”; tempat pulang. Ia merasa hina, tidak berani menunjukkan diri di
depan adik-adiknya. Ia sendiri bingung, ke mana harus pergi. Yang ia lakukan setiap hari hanya duduk di sudut stasiun, entah menunggu siapa.
“Semakin hari, tingkahnya semakin tidak wajar. Ia mulai menceracau, setiap malam berteriak, mengusir setiap wanita yang berniat menjajakan diri. Hatinya yang terlanjur hancur, tidak siap menerima kenyataan bahwa ternyata ada ‘anak lain’ yang dijual orangtuanya kepada para lelaki pengabdi nafsu. Setiap melihat wanita yang masuk ke mobil, kemudian melaju ke hotel melati, amarahnya memuncak. Mungkin teringat pada kejadian di malam paling kelam yang pernah ia alami.”
Miranti sadar, di balik kulit kusam dan dekilnya, Sri menyimpan aset yang diidamkan banyak wanita. Hanya saja, aset itu terselimuti oleh penampilannya yang awut-awutan dan bau penguk di tubuhnya.
“Kalau memang dulunya cantik, kenapa dia disebut Ciblek? Bukankah arti Ciblek itu cilik, pendek, elek?” Miranti memberanikan diri bertanya.
“Arti seperti itu muncul baru-baru ini. Ciblek yang sebenarnya dimaksud adalah cilik-cilik isa digemblek; meski kecil, baik usia maupun tubuhnya, ia bisa memuaskan banyak pria. Membuat mereka lupa kalau sudah memiliki keluarga.”
Bambang, yang sedari tadi khusyuk mendengarkan, akhirnya ikut menimpali. “Di Jawa, ciblek itu nama burung. Saat itu, banyak orang yang mencari burung ciblek untuk dijual. Laku keras. Jenis burung ini mudah dijinakkan melalui cermin yang dipasang dalam sangkar, ciblek tertarik dengan bayangannya sendiri. Mungkin, kebetulan apa yang dialami Sri sama dengan ciri-ciri burung ciblek.”
Miranti merenung. Membayangkan betapa hancurnya Sri malam itu. Sekarang, ia justru dengan senang hati menyerahkan diri pada sembarang lelaki.
“Sri trauma, tapi siapa yang peduli? Bapaknya marah karena Sri kabur dan Koh Liem tidak mau memberi uang yang dijanjikan. Sri terlantar. Warga sekitar yang tahu, ikut merasa geram, kecil- kecil kok sudah melacur.”
Miranti membagi tatap antara Pak Min, Bambang, dan seonggok daging yang menyembul keluar dari bagian atas kemeja yang sengaja tidak ia kancingkan. Perasaan bersalah dan menyesal, tiba- tiba menyelimuti hatinya.
“Tapi … dari mana Pak Min tahu masa lalu Ciblek?”
“Eh, iya, dari mana Bapak tahu?” Seolah baru menyadari, Bambang ikut penasaran.
Kini giliran Pak Min yang mematung. Beberapa detik berlalu. Miranti masih setia menunggu jawaban, sementara Bambang mencoba mendesak.
“Karena aku adalah salah satu pria yang menikmati kepiluannya malam itu.” Hening.
Sepasang burung peranjak bertengger di ranting pohon depan rumah Pak Min. Ceracauannya menjadi pengisi latar atas kesunyian tiga insan yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh, warga kampoeng Sastra Soeket Teki
(Cerpen ‘Raungan Kepedihan’ pernah dimuat dalam Majalah Soeket Teki edisi 10, 2021)