Pada suatu petang yang murung, bendera kuning keruh berkibar disapu angin duka nan rapuh. Terikat pada tiang tratak di depan rumah yang tak henti-henti menampung bela sungkawa. Di antara kerumun manusia, Mulan terduduk lemah di samping jenazah. Ibunya telah berpulang, meninggalkan Mulan dengan tatap kosong selama berjam-jam sejak berita lelayu itu datang.
Mulan tetap bungkam, tetapi kekeringan itu justru menjadi pertanda betapa duka yang dirasakannya teramat dalam. Ia terus meratap hingga tak sadar masa yang telah terlewat. Sesaat setelah kesadarannya kembali, matahari telah sepenuhnya undur diri. Begitupun para tamu takziah yang telah nihil. Barulah Mulan merasakan hakikat dari sunyi dan sepi. Bukan hanya karena kepulangan para tamu, tetapi karena kepergian sang ibu.
“Mulan…,” panggil Ayah, ketika Mulan khusyuk mengamati dapur yang menjadi tempat favorit Ibu semasa hidupnya. “Mulan, Ayah memang tidak pernah di rumah karena bekerja, tapi Ayah ini ayah kamu. Sekarang kamu menjadi tanggung jawab Ayah sepenuhnya.”
Mulan masih bergeming, mengalihkan pandang dari sosok asing yang duduk di sampingnya. Meski ibunya juga sempat mengatakan bahwa mereka bapak dan anak, tetapi rentang di antara keduanya begitu terasa.
“Sekarang Mulan tidur saja, ya. Kalau kamu butuh sesuatu, beri tahu Ayah saja. Sudah menyimpan nomor Ayah, ‘kan? Secepatnya Ayah akan mencari pekerjaan di kota ini supaya bisa tetap menjaga kamu.”
Tepat setelah mengatakan kalimat itu, Ayah pergi meninggalkan Mulan sendirian. Tanpa peluk maupun kecup untuk sekadar saling menguatkan. Mulan hanya diam, menatap nanar punggung ayahnya.
“Kalau memang mau pergi lagi, lebih baik dia tidak pernah ke sini!” keluh Mulan, pelan.
Sejak kecil, Mulan sangat membenci kesendirian. Ia tak pernah membayangkan hidup yang harus dijalani tanpa kehadiran ibunya. Bahkan meski ada pria yang mengaku sebagai ayahnya.
Mulan melanjutkan malam dengan merengkuh separuh jiwanya yang nyaris hilang ditelan duka lara. Dunianya terlampau gelap, lebih gelap daripada Bumi yang kehilangan cahaya rembulan di malam pekat.
Sepintas, ia teringat dengan pengumuman yang ia terima beberapa jam sebelum Ibu mengembuskan napas terakhir. Ia diterima sebagai mahasiswa di universitas impian sang Ibu. Cita-cita yang selalu diidamkan ibunya, yang terpatri dalam hati Mulan untuk segera menunaikan.
“Apa enggak usah aku ambil aja, ya? Toh, Ibu udah enggak ada. Percuma aku kuliah, siapa yang akan bangga? Orang yang ingin aku banggakan udah pergi.”
Mulan memeluk dirinya lebih erat lagi.
***
Seminggu berlalu tanpa kehadiran sang Ibu membuat hidup Mulan dalam kehampaan. Hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan aktivitas apapun. Ia yakin ayahnya tak pernah tinggal di rumah, selalu keluar tanpa pamit semaunya sendiri seolah melupakan keberadaannya. Ingatan Mulan kembali ke masa ketika ia menemani Ibunya yang terbaring lemah di atas bangsal rumah sakit.
Sunyi, hanya suara dari monitor detak jantung yang menandakan kehidupan sang Ibu. Meski begitu Mulan masih bernapas lega. Terbangun dari tidur, Ibu menggenggam tangan Mulan yang semula tergeletak di bangsal membuat Mulan terperanjat dari lamunan.
“Kenapa, Bu? Ibu butuh sesuatu?” tanya Mulan sedikit khawatir. Dengan ringkih, Ibu mencoba bangun dari posisi tidurnya sambil berkata, “Mulan, Ibu tiba-tiba teringat sesuatu.”
Mulan mendengkus, hafal betul setiap kalimat itu muncul kisah-kisah tentang pria itu akan kembali diungkit. Mulan tak paham kenapa Ibu selalu menceritakan pria yang telah meninggalkan keluarga selama sepuluh tahun lamanya itu tanpa penjelasan apapun.
Mulan terlampau jemu dan ingin menghentikan cerita ibunya saat itu juga, tapi Mulan tak cukup berdaya. Terlebih sejak ibunya sakit, Mulan selalu berusaha tak banyak membantah, sebab ia takut usia Ibu tak bertahan lama.
“Mulan, Ibu pikir ayahmu tidak seburuk yang kamu pikirkan. Ibu masih ingat, saat dia menggendong kamu, menuntun kamu saat belajar berjalan, mengantar Wulan ke sekolah. Meski Ayah selalu diam, Ibu tahu betul dia sangat menyayangimu.”
“Sudahlah, Bu…”
Ibu menatap Mulan dengan mata sendu, jemarinya menggenggam kian erat, “Ibu enggak mau kamu membenci Ayah. Bagaimanapun, dia tetap ayahmu. Dia itu walimu, Nak.”
Mulan semakin kesal, napasnya menderu hampir tak dapat menutupi amarah. Matanya menolak bertatapan dengan Ibu. Mulan jelas memberontak.
“Ibu hanya ingin agar kalian akur. Khususnya setelah Ibu pergi. Ibu enggak mau kamu sendirian. Ibu yakin Ayah akan menjaga kamu, Nak.”
***
Secara kasat mata, Mulan tak benar-benar sendiri. Ada teman-teman yang rutin menanyakan kabarnya. Ia juga telah hidup satu atap bersama Ayah. Namun, duka dan dendam kepada takdir telah menutup hati dan pikirannya sehingga ia terus merasa sendiri.
Mulan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Melalui sore dengan penuh rasa malas. Entah ke mana lelaki paruh baya itu pergi. Mulan bahkan tidak tahu apakah ayahnya sudah mendapat pekerjaan baru atau masih mencari, dan Mulan tidak peduli. Luka yang Mulan alami telanjur memblokir ikatan batin di antara keduanya. Hanya memori menyedihkan yang ia ingat tentang Ayah.
Mata Mulan menatap nanar TV tabung di hadapannya. Dalam layar kaca terpampang drama keluarga yang mengisahkan keluarga bahagia meski hidup dalam kesederhanaan. Sekilas ia mengikuti alur cerita, sisanya mengumpat karena tidak seberuntung tokoh anak yang ia tonton. Pikirannya juga melanglang buana pada pesan terakhir Ibu, agar ia bisa akur dengan sang ayah.
Usia Mulan tak lagi kanak-kanak, tetapi persoalan orang-orang dewasa cukup membuatnya pening. Kisah yang ia terima secara sepotong demi sepotong dari Ibu pada detik-detik menjelang kepergiannya, ayahnya yang tak banyak bicara, ia yang tak pandai menjalin hubungan dan meredam perasaan… Huh!
“Astaga! Apa-apaan Ibu ini! Bagaimana bisa aku akur dengan dia?”
Bersamaan dengan itu, terdengar pintu utama dibuka. Mulan melirik sekilas seolah tak peduli. Ayahnya yang baru datang, langsung menuju dapur. Meletakkan kresek berisi nasi bungkus di atas meja, lalu menyendiri di beranda samping.
Penasaran, Mulan diam-diam membuntuti. Ia termangu di belakang pintu, menyaksikan punggung ayahnya yang mulai membungkuk, entah termakan usia atau terlalu banyak beban yang diemban. Samar-samar, Mulan mendengar ayahnya berbicara sendiri. Dengan susah payah Mulan mencoba berjinjit, melongok lebih tinggi.
Ia menyipitkan mata, mendapati sepasang penyuara jemala menyangkut di telinga. Ia terus mencari posisi yang tepat, tapi tetap tak dapat melihat dengan jelas siapa lawan bicara ayahnya. Saat ia kepayahan mengorek informasi, kaki Mulan dibuat lemas seketika tatkala mendengar kalimat yang muncul dari mulut ayahnya.
“Mulan baik-baik saja, Bu. Dia sedang menunggu waktu masuk kuliah. … Ya, ya, agak sulit makan. Biarlah, dukanya terlalu dalam. Saya memakluminya. … Apa? Oh, sepertinya Mulan tidak tahu. Dan saya yakin ibunya tidak pernah cerita. … Ayolah, Bu, tidak perlu cemburu. Ningsih sudah meninggal. Saya ke sini untuk menunaikan kewajiban. Bagaimanapun, Mulan ‘kan anak Ayah juga. … Iya, besok Ayah pulang. ‘Kan sudah janji ke Bagus kalau Ayah akan mengantarnya lomba badminton ….”
Hati Mulan mencelos. Jantungnya terasa jatuh membentur lambung. Ia terkulai di balik pintu. Kedua tangannya membekap mulut agar suara pilunya terbungkam. Tahulah ia sekarang, ke mana ayahnya selalu pergi. Tahulah ia sekarang, kenapa sang Ayah tak pernah pulang.
Sebuah melodi mengalun dalam kepala Mulan. Dengan tempo lambat, tetapi sangat menyayat.
Kukira kau rumah, nyatanya kau cuma aku sewa.
Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang.
Kau bukan rumah…
Kau bukan rumah…
Wonosobo, Oktober 2022
Penulis: Naili Zumna Hidayah (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)