Bandung Barat– Naiknya harga pupuk dan pestisida membuat petani sayur di Kampung Cibolang Desa Kertawangi Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat keluhkan penjualan hasil panen. Selain itu, perubahan cuaca yang tak menentu juga menjadi faktor penghambat produktivitas sayur. Minggu, (03/07/2022).
Kedua faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap harga jual sayuran dari petani pada pengepul ataupun harga di pasaran. Saat ini (2/7) harga brokoli per kilo tembus di angka 15.000 lebih.
“Brokoli sekarang lagi 15.000 lebih per kilo karena pupuk dan obatnya mahal. Apalagi kalau seledri yang gampang diserang hama. Harapannya sih harga pupuk dan pestisida segera turun”, ungkap Muhammad, pemilik kebun brokoli seluas 250 tumbak.
Lain dari brokoli, komoditas selada justru turun harga dari 15.000 menjadi 10.000 per kilo. Meski selada tergolong memiliki masa panen yang singkat, yakni satu bulan setengah. Akan tetapi, cuaca harian yang labil menjadi faktor utama yang mengendalikan harga. Panas berlebih saat siang dan hujan deras saat malam menjadikan selada rentan lembek dan rusak.
“Sekarang mah (selada) lagi turun harga, per kilo cuma 10.000. Kalau kemarin-kemarin mah sempat 15.000 per kilo. Kalau lagi sering hujan bisa turun jadi 500 sampai 1.000 rupiah. Kalau kelebihan air mah banyak yang rusak”, terang Yuyun, salah satu pekerja kebun brokoli dan selada.
Melimpahnya stok sayur yang tidak diimbangi dengan tingginya permintaan di pasaran juga memicu lonjakan harga. Hal ini pernah dialami Yuyun saat menanam tomat. Ia mengaku pernah mengalami gagal panen, sebab melimpah ruahnya stok tomat namun permintaan pasar sedang surut sehingga banyak tomat yang disimpan hingga busuk.
“Pernah menanam tomat, tapi ya bisa dibilang belum bisa balik modal bagi petani. Cuma bisa buat makan sehari-hari saja”, lanjut Yuyun sehari seusai panen selada hampir 2 kwintal (3/7).
Keluhan serupa juga datang dari Yayan, pemilik kebun sayur dan greenhouse bunga Mawar di area Situreret Kertawangi. Pihaknya mengaku bahwa petani sayur hanya bisa ikut arus harga pasaran karena tak adanya standar harga sayur di tingkat petani.
“Sebenarnya, kendala petani sayur itu ya seputar perawatan yang masih bergantung cuaca dan cenderung tak bisa mengendalikan harga. Biasanya kan pemasaran hasil panen relatif masih konvensional, sekedar tanam, rawat, panen lalu dijual ke pengepul tanpa standar harga tertentu”, ungkap Yayan, pemilik kebun yang mulai berinovasi merintis agriwisata kebun di Situreret.
Sebagai pemilik utama kebun, Yayan berharap adanya pihak ketiga (vendor) yang membantu pemasaran hasil bumi di Kertawangi agar menguatkan daya saing produk lokal yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan para petani kebun.
Reporter: Moh. Jamalul Lail