Perkembangan teknologi yang pesat membuat media sosial mulai di akses oleh banyak orang di dunia. Tren-tren baru pun banyak bermunculan seperti fenomena cancel culture yang merupakan sebuah fenomena ketika seseorang diboikot atau tidak boleh tampil kembali di hadapan publik akibat suatu perkataan atau perbuatannya yang menyimpang dari norma sosial.
Lazimnya, cancel culture banyak dialami oleh figur publik karena perilakunya diamati oleh banyak orang. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat biasa pun bisa terkena cancel culture.
Misalnya, ketika seorang wanita memakai pakaian seksi di tempat terbuka, orang-orang akan berpandangan bahwa wanita tersebut bukanlah wanita baik. Hal ini membuat si wanita merasa dikucilkan dalam lingkungan tersebut. Fenomena ini sering terjadi di media sosial memiliki andil yang besar dalam popularitas suatu tren di madia sosial.
Perpanjangan dari Sanksi Sosial
Mengomentari fenomena tersebut, Profesor Sosiologi dan Kriminologi dari Universitas Villanova bernama Jill McCorkel mengatakan kepada The Post, bahwa fenomena cancel culture sebenarnya telah hadir sepanjang sejarah manusia.
Sejak dulu sebenarnya masyarakat telah menghukum orang karena perilaku di luar norma sosial yang dirasakan selama berabad-abad. Menurutnya, cancel culture ini hanyalah varian lain dari sanksi tersebut.
Menurut Amelinda Pandu Kusumaningtyas, seorang Project Officer Department Research Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada, fenomena cancel culture sebenarnya sudah muncul sejak 2014, tetapi baru akrab di telinga masyarakat Indonesia pada tahun 2019.
Mulanya, gerakan ini disampaikan orang kulit hitam dan bertujuan untuk menyuarakan diskriminasi yang mereka alami di tempat mereka kerja. Namun, berjalannya waktu cancel culture mulai mengarah pada hal yang lebih negatif.
Aksi cancel culture umum dilakukan secara masal melalui platform media sosial, seperti Twitter dan Instagram oleh pelaku yang berani menyuarakan opini paling kejam untuk menyerang korban.
Penyerangannya juga banyak dilakukan oleh akun anonim yang aksinya sudah dikoordinasi oleh salah satu oknum. Namun, aksi ini juga bisa berupa tindakan mengucilkan seseorang dari lingkungan sosial.
Efek yang ditimbulkan dari cancel culture sendiri bermacam-macam, mulai dari dikucilkan dalam lingkungan sosial, larangan untuk tampil di televisi, penarikan sejumlah iklan, dan pembatalan sejumlah kontrak kerja. Selain berdampak pada karier, cancel culture ternyata juga berdampak pada psikologis korban.
Korban cancel culture dapat mengalami depresi akibat respons buruk dari masyarakat, ujaran kebencian dan cacian pedas pun tak jarang dilontarkan, korbannya juga sering kali mendapatkan teror dari ulah tersebut. Persoalan penyerangan yang didapatkan ini bisa mengakibatkan korban cancel culture mengalami tekanan psikologis.
Selebgram ternama Rachel Venya bebebrapa waktu lalu pernah mengalami cancle culture. Para netizen berbondong-bondong menyerang akun Instagram pribadi Rachel akibat kasus pelanggaran aturan masa karantina covid-19.
Rachel kabur sebelum masa karantina usai sepulang dari Amerika, padahal sesuai peraturan dari pemerintah, semua masyarakat Indonesia yang pulang dari perjalanan ke luar negeri harus melakukan karantina. Tindakan Rachel dinilai menyalahi norma aturan yang ada.
Tindakan tersebut membuat netizen geram dan menuntut Rachel untuk melakukan pertanggungjawaban dan mendapat hukuman yang setimpal. Untuk meluapkan kekesalan, netizen beramai-ramai me-report Instagram Rachel Venya dan meminta sejumlah brand yang bekerja sama dengan Rachel untuk mencabut kontrak kerja sama.
Pergeseran Makna Cancel Culture
Praktik Cancel Culture awalnya bertujuan untuk memfalisitasi agar orang bebas mengutarakan pendapat lewat media sosial terhadap isu sosial secara terbuka. Praktik ini juga dilakukan agar korban sadar dan jera akibat perilaku menyimpang yang dilakukan.
Seiring berjalannya waktu, praktik cancel culture malah disalahgunakan pengguna media sosial. Alih-alih memberikan kritik yang membangun untuk si korban, praktik ini malah menjadi sebuah ruang toxic untuk merundung, mengucilkan, dan bahkan menjatuhkan harga diri seseorang.
Nyataannya, proses cancel culture dianggap menutup ruang komunikasi bagi korban (orang yang melakukan kesalahan) untuk mengklarifikasi perbuatannya bahkan merampas kesempatan korban untuk belajar dari kesalahan.
Hal ini seharusnya membuka mata semua unsur masyarakat termasuk public figure untuk berhati-hati dengan perkataan atau perbuatannya yang ia bagikan melalui media sosial.
Perbedaan makna cancel culture yang melekat pada masyarakat karena ketergantungan terhadap media sosial membuat fenomena ini sukar untuk dihilangkan secara permanen. Menyikapi setiap fenomena dengan kritis adalah salah satu tameng diri dalam melihat keabsahan informasi agar tidak mudah terbodohi oleh isu-isu yang tidak valid kebenarannya.
Penulis: Riska Ayu