By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Amanat.idAmanat.idAmanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Amanat.idAmanat.id
  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak
Search
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
Have an existing account? Sign In
Follow US
cancel culture di media sosial
Ilustrasi cancel culture sebagai bentuk pengucilan sosial. (Pixabay)
Artikel

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

Last updated: 6 Desember 2022 12:17 pm
Redaksi SKM Amanat
Published: 6 Desember 2022
Share
SHARE
cancel culture di media sosial
Ilustrasi cancel culture sebagai bentuk pengucilan sosial. (Pixabay)

Perkembangan teknologi yang pesat membuat media sosial mulai di akses oleh banyak orang di dunia. Tren-tren baru pun banyak bermunculan seperti fenomena cancel culture yang merupakan sebuah fenomena ketika seseorang diboikot atau tidak boleh tampil kembali di hadapan publik akibat suatu perkataan atau perbuatannya yang menyimpang dari norma sosial.

Contents
Perpanjangan dari Sanksi SosialPergeseran Makna Cancel Culture

Lazimnya, cancel culture banyak dialami oleh figur publik karena perilakunya diamati oleh banyak orang. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat biasa pun bisa terkena cancel culture.

Misalnya, ketika seorang wanita memakai pakaian seksi di tempat terbuka, orang-orang akan berpandangan bahwa wanita tersebut bukanlah wanita baik. Hal ini membuat si wanita merasa dikucilkan dalam lingkungan tersebut. Fenomena ini sering terjadi di media sosial memiliki andil yang besar dalam popularitas suatu tren di madia sosial.

Perpanjangan dari Sanksi Sosial

Mengomentari fenomena tersebut, Profesor Sosiologi dan Kriminologi dari Universitas Villanova bernama Jill McCorkel mengatakan kepada The Post, bahwa fenomena cancel culture sebenarnya telah hadir sepanjang sejarah manusia.

Sejak dulu sebenarnya masyarakat telah menghukum orang karena perilaku di luar norma sosial yang dirasakan selama berabad-abad. Menurutnya, cancel culture ini hanyalah varian lain dari sanksi tersebut.

Menurut Amelinda Pandu Kusumaningtyas, seorang Project Officer Department Research Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada, fenomena cancel culture sebenarnya sudah muncul sejak 2014, tetapi baru akrab di telinga masyarakat Indonesia pada tahun 2019.

Mulanya, gerakan ini disampaikan orang kulit hitam dan bertujuan untuk menyuarakan diskriminasi yang mereka alami di tempat mereka kerja. Namun, berjalannya waktu cancel culture mulai mengarah pada hal yang lebih negatif.

Aksi cancel culture umum dilakukan secara masal melalui platform media sosial, seperti Twitter dan Instagram oleh pelaku yang berani menyuarakan opini paling kejam untuk menyerang korban.

Penyerangannya juga banyak dilakukan oleh akun anonim yang aksinya sudah dikoordinasi oleh salah satu oknum. Namun, aksi ini juga bisa berupa tindakan mengucilkan seseorang dari lingkungan sosial.

Efek yang ditimbulkan dari cancel culture sendiri bermacam-macam, mulai dari dikucilkan dalam lingkungan sosial, larangan untuk tampil di televisi, penarikan sejumlah iklan, dan pembatalan sejumlah kontrak kerja. Selain berdampak pada karier, cancel culture ternyata juga berdampak pada psikologis korban.

Korban cancel culture dapat mengalami depresi akibat respons buruk dari masyarakat, ujaran kebencian dan cacian pedas pun tak jarang dilontarkan, korbannya juga sering kali mendapatkan teror dari ulah tersebut. Persoalan penyerangan yang didapatkan ini bisa mengakibatkan korban cancel culture mengalami tekanan psikologis.

Selebgram ternama Rachel Venya bebebrapa waktu lalu pernah mengalami cancle culture. Para netizen berbondong-bondong menyerang akun Instagram pribadi Rachel akibat kasus pelanggaran aturan masa karantina covid-19.

Rachel kabur sebelum masa karantina usai sepulang dari Amerika, padahal sesuai peraturan dari pemerintah, semua masyarakat Indonesia yang pulang dari perjalanan ke luar negeri harus melakukan karantina. Tindakan Rachel dinilai menyalahi norma aturan yang ada.

Tindakan tersebut membuat netizen geram dan menuntut Rachel untuk melakukan pertanggungjawaban dan mendapat hukuman yang setimpal. Untuk meluapkan kekesalan, netizen beramai-ramai me-report Instagram Rachel Venya dan meminta sejumlah brand yang bekerja sama dengan Rachel untuk mencabut kontrak kerja sama.

Pergeseran Makna Cancel Culture

Praktik Cancel Culture awalnya bertujuan untuk memfalisitasi agar orang bebas mengutarakan pendapat lewat media sosial terhadap isu sosial secara terbuka. Praktik ini juga dilakukan agar korban sadar dan jera akibat perilaku menyimpang yang dilakukan.

Seiring berjalannya waktu, praktik cancel culture malah disalahgunakan pengguna media sosial. Alih-alih memberikan kritik yang membangun untuk si korban, praktik ini malah menjadi sebuah ruang toxic untuk merundung, mengucilkan, dan bahkan menjatuhkan harga diri seseorang.

Nyataannya, proses cancel culture dianggap menutup ruang komunikasi bagi korban (orang yang melakukan kesalahan) untuk mengklarifikasi perbuatannya bahkan merampas kesempatan korban untuk belajar dari kesalahan.

Hal ini seharusnya membuka mata semua unsur masyarakat termasuk public figure untuk berhati-hati dengan perkataan atau perbuatannya yang ia bagikan melalui media sosial.

Perbedaan makna cancel culture yang melekat pada masyarakat karena ketergantungan terhadap media sosial membuat fenomena ini sukar untuk dihilangkan secara permanen. Menyikapi setiap fenomena dengan kritis adalah salah satu tameng diri dalam melihat keabsahan informasi agar tidak mudah terbodohi oleh isu-isu yang tidak valid kebenarannya.

Penulis: Riska Ayu

Meneropong Dongeng: Dari Zaman “Old”hingga “Now”
Menguatkan Kembali Budaya Literasi Era Digital 
Mahasiswa Coba Ini Agar Tidur Berkualitas
Membiarkan Anak Bermain Gadget, Bijaksanakah?
Yang Datang Kian Hilang; Demonstrasi Mahasiswa
TAGGED:cancel cultureFenomena sosialmedia sosial
Share This Article
Facebook Email Print

Follow US

Find US on Social Medias
FacebookLike
XFollow
YoutubeSubscribe
TelegramFollow

Weekly Newsletter

Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]
Popular News
LifestyleMilenial

6 Tips Aman untuk Perempuan Saat Mudik Sedirian

Nur Ainun L
30 Mei 2019
Duri Babi Hitam
Korban Jadi Terpidana; Nalar Pincang Hukum di Indonesia
Singkirkan FEBI, FITK Juara Orsenik Cabor Futsal Setelah Delapan Tahun Puasa Gelar
Mahasiswa dan Penyewa Oultet Keluhkan Banyaknya Fasilitas Rusak di Kantin Kampus 3
- Advertisement -
Ad imageAd image
Global Coronavirus Cases

Confirmed

0

Death

0

More Information:Covid-19 Statistics
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial
Share

Tentang Kami

SKM Amanat adalah media pers mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Kantor dan Redaksi

Kantor redaksi SKM Amanat berlokasi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 1, Kampus III UIN Walisongo, Jalan Prof. Hamka, Ngaliyan, Kota Semarang, dengan kode pos 50185

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Reading: Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial
Share
© Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?