Aku sama sekali tidak ingin mengatakan ini, meski hanya sekali. Ini sangat berat. Jika terlanjur terjadi, kau akan semakin jauh. Tapi lebih berat lagi ketika aku tidak mengatakannya. Sebab aku tahu bagaimana cara mengatakan: satu hari adalah waktu yang panjang dan aku akan tetap menunggumu di pantai ini.
___
Ia tahu, mereka tidak akan pernah benar-benar bersama. Tapi aku mengagumi keberaniannya menyampaikan beberapa kemungkinan yang akan dipilih jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Begitulah sampai suatu hari nanti, rupanya kenyataan tak semanis yang dibayangkan.
“Mengapa harus aku?”
“Aku tidak punya alasan khusus…”
Perempuan itu mencoba menghindari tatapan tajam kekasihnya. Tatapan mata yang membuat dirinya bergidik dan membuat jantungnya berdetak dengan irama tak beraturan. Bukan karena seperti peristiwa tiga tahun silam, saat pertama kali dia menggenggam tangan kekasihnya lalu mengatakan cinta, melainkan perasaan takut. Takut bila laki-laki yang ada disampingnya nekat. Ia tahu, bukan duri ikan dan batu karang yang akan membuat hatinya luka, melainkan kepergiannya.
“Sampai kapan kita akan seperti ini?”
“Sampai laut mengering.”
“Tidak masuk akal.”
“Sama tidak masuk akalnya dengan pertanyaanmu.”
Debur ombak begitu riuh. Ia memandang ke arah laut, permukaannnya bergelombang. Merasakan dingin menjalar ke dalam tubuhnya. Ia tak peduli ketika angin mengacak-ngacak rambutnya. Bahkan tak khawatir masuk angin. Hembusan angin sore itu begitu kencang sampai dua kancing bajunya terlepas. Ia tak peduli. Ia biarkan saja bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Bagi orang-orang yang tinggal di pesisir, angin dan laut mungkin seperti dua sisi mata pisau, tidak bisa dipisahkan.
“Kadang aku membayangkan, kita menjadi sepasang ikan yang berenang di laut lepas, bebas, lalu bersama menyusuri batu-batu karang.”
Perempuan itu kembali membuka obrolan. Dia tatap wajah kekasihnya dengan mata berkaca-kaca, seperti mencari kesungguhan di kedua bola matanya.
“Apa kau ingin menjadi seekor ikan tongkol?” Tanya lelaki itu.
“Sepertinya menjadi ikan buntal lebih baik.”
Kemudian keduanya meloloskan pandangannya ke tengah laut. Di barat matahari mulai turun. Deburan ombak terdengar lebih kasar. Perahu-perahu nelayan mulai berbalik arah. Istri-istri mereka sudah menunggu di rumah dengan rasa cemas yang luar biasa.
Dan perempuan itu, kau tau apa yang dia lakukan? Dia turun ke tengah laut, hingga separuh badannya basah. Dengan sangat hati-hati ia berjalan, seakan tak ingin satu ikan pun merasa terganggu dengan kehadirannya. Aku mengamatinya dari jauh. Pelan sekali perempuan itu berjalan, langkahnya penuh pertimbangan.
Ia seperti mencari sesuatu. Waktu bergulir menuju maghrib. Perempuan itu terus melanjutkan pencarian, ia mengamati sekitar. Kadang menyelupkan tangannya ke air, tapi tak menemukan apa-apa. Brengseknya, ia sebenarnya tak tahu apakah yang dicarinya masih jauh atau sudah dekat. Dia hanya membawa sebuah harapan dalam hatinya.
“Apa yang membuatmu berlagak seperti orang gila?” Laki-laki yang sedari tadi hanya diam mengamati tiba-tiba bertanya.
“Aku sedang mencari sesuatu.”
“apa yang kau cari?”
“Kesunyian.”
Laki-laki itu tampak berpikir sejenak, lalu menimpali dengan jawaban yang jelas-jelas bertujuan untuk menertawainya.
“Barangkali kau bisa menemukannya di perpustakaan.”
Perempuan itu hanya diam, lantas menggelengkan kepalanya. Perempuan itu menghela nafas. Bukan hanya kali ini saja ia menghadapi situasi semacam itu. Nyaris tak seorang pun paham isi hatinya. Dia menginginkan kesunyian. Namun, orang-orang justru menikmati hiruk pikuk yang memuakkan.
“Apakah hanya kematian satu-satunya jalan menuju kesunyian cinta…”
Kata-kata itu mengalir begitu saja. Walaupun dia tahu, laki-laki itu tidak akan mendengar suaranya. Karena dia mengatakannya di dalam hati. Ia terus bergerak menuju garis pantai, air mata perempuan itu keluar lebih cepat dari yang aku bayangkan. Ia mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Bibirnya bergetar. Dia tidak berhenti menangis. Air matanya jatuh. Deras sekali. Barangkali matanya adalah laut yang tidak pernah surut.
Perempuan itu mematung didepan kekasihnya.
Kira-kira adakah hal yang lebih mungkin dilakukan seorang laki-laki yang tiba-tiba melihat kekasihnya bersikap aneh seperti itu, selain bualan?
“Buka matamu. Lihatlah baik-baik, di titik itu senja akan benar-benar berakhir.” Kata laki-laki itu sambil menunjuk matahari yang mulai kemerahan.
“Di sanalah Tuhan menggantungkan semua kepastian. Seperti takdir, senja tidak pernah datang terlambat.”
Perempuan itu hanya diam menahan tangis. Ingatannya terbang ke masa silam, kepada suara lirih ibunya yang ia dengar menjelang ajalnya. Jika pada titik tertentu, manusia tidak akan sanggup untuk menanggung keinginannya sendiri dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.
***
Kau pernah bilang sangat suka laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku. Namun, dari beberapa catatan di buku harianmu aku pernah membaca tentang itu tanpa sepengetahuanmu: tentang keinginanmu berdiri di pinggir pantai sore-sore dan menyaksikan ikan-ikan berlompatan. Selain itu, di halaman yang lain, kau juga menuliskan keinginan yang tak kalah membuatku terkejut, kau mengatakan bahwa perayaan petik laut telah membuatmu kagum terhadap Sumenep dan ingin menghadirinya suatu hari nanti.
Kemudian, setelah itu, sambil membetulkan posisi tidur aku telentang menatap langit-langit kamar lalu membuat sebuah adegan dalam kepalaku: pada satu sore yang sendu, kau berdiri menghadap laut, menyaksikan ikan melompat-lompat melakukan pertunjukan seperti sedang tampil dalam sebuah sirkus.
Aku tak tahu bagaimana persisnya kau mulai jatuh cinta pada laut. Tetapi ketika kau menuliskannya, aku seperti membaca sebuah ikrar, bergetar dalam hatiku. Barangkali benar, kau memang mengindap kelainan jiwa karena terlalu gampang jatuh cinta.
“Matamu biru, seperti laut.” Katamu suatu ketika.
Ah, selalu tak mudah mengajakmu bercakap-cakap. Padahal kau tahu, setiap kali mendengar kata laut aku akan teringat pada sosok ayah. Tarian gelombang putih yang bergulung-gulung itu terlihat bagaikan kain kafan. Itulah pemandangan yang selalu kusaksikan sejak kecil. Ibu selalu mengajakku ke pinggir laut, setiap kali aku merasa rindu dengan ayah.
“Salah satu dari jutaan ikan di laut itu adalah ayahmu,” kata ibu.
Ibu selalu bercerita bahwa ayah telah menjadi ikan. Selalu, dengan bibir bergetar dan mata yang layu, ibu bercerita bagaimana suatu malam ayahku diseret ombak, kapalnya diobrak-abrik badai. Aku masih berumur tujuh tahun, saat itu. Ibu mendengar cerita dari paman, bersama tiga nelayan lainnya yang saat itu selamat dari maut.
Setelah hari ke tujuh, dari tengah laut muncul puluhan lumba-lumba. Membuat sebuah pertunjukan. Sebagian warga percaya jika lumba-lumba itu adalah jelmaan roh-roh orang yang meninggal di dasar laut. Dan setiap malam purnama, ketika air mulai pasang puluhan lumba-lumba itu selalu muncul ke permukaan dan melompat melawan arus, kemudian hilang begitu saja.
Sebesar dan seluas apa kuburan ayah? Di mana tempat dia bersemayam? Aku tidak begitu peduli dan tidak pernah mananyakan hal itu pada ibu. Tetapi aku percaya, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang dan jarak antara hamba dan Tuhannnya hanya setipis bibir pantai.
Selain kematian ayah, sudah banyak kematian yang kami saksikan di sini. Tentu bukan saja kematian ikan-ikan karena ditangkap oleh para nelayan. Tapi juga terjadi pada tetangga kami, teman kami, dan saudara-saudara kami. Kemarin, televisi ramai-ramai memberitakan jika kapal selam KRI Nanggala-402 Tenggelam di Kedalaman 838 Meter di perairan utara Bali. Dan sejumlah 53 awak kapal dinyatakan gugur. Namun, aku tak akan berlama-lama bercerita tentang kematian ini. Karena bisa saja ada sebagian orang yang merasa sedih dan takut. Biarlah kematian menjadi kesunyian masing-masing.
Aku bangkit dari tempat tidur, hujan sore tadi masih menyisakan genangan di halaman. Malam ini, ibuku tidak banyak bertanya. Tapi ia tetap membuatkanku kopi, mengambilkan laptop di kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku belum tidur, tapi tidak bertanya mengapa aku memilih teras samping sebagai tempat, apalagi sudah larut begini. Ibu kembali ke kamar. Dan aku mulai menuliskan sesuatu.
Ceritakan padaku tentang laut. Kali ini saja, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak orang yang bercerita tentang laut. Apakah masih menarik menceritakan sesuatu yang telah berulang kali dikisahkan? Lalu masihkah ada kemungkinan lain tentang itu? Tentu tidak ada. Tapi kau telah memintanya dan dengan senang hati aku akan menuruti permintaanmu.
Aku mulai memikirkan kalimat pembuka. Ini kalimat yang akan menjadi penentu seluruh isi cerita. Aku mulai berpikir dan mengumpulkan segenap kemampuan untuk paragraf pertama. Kali ini aku harus serius. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, sampai aku merasa otakku tidak berfungsi. Ketika pikiranku hampir mendekati jalan buntu, tiba-tiba ada sebuah kalimat melintas.
Di laut, Perahu-perahu nelayan diseret angin, sementara aku terombang-ambing di antara matamu dan mata hujan. Aku sendiri tak mengerti. Barangkali tarian laut adalah cara cinta menuturkan dirinya, lalu hanyut bersama arus waktu.
Sejujurnya, aku bisa menulis tentang laut dengan begitu indah jika aku mau. Tapi apalah gunanya keindahan jika tak menyelesaikan apa-apa? Aku tidak memiliki alasan yang cukup untuk melakukannya. Sudah banyak kita lihat orang-orang yang mengagumi keindahan laut dengan setengah mampus, tapi gagal menghadirkan satu pertanyaan, siapa dibalik keindahan itu?
Sampai akhirnya, aku menyadari sesuatu. Benar katamu, saat kita bertengkar hebat waktu itu. Ibarat buih di laut, kehidupan ini hanyalah detak-detik waktu yang mengalir dalam keriuhan yang sia-sia.
Aku memang payah, Alina. Aku tidak bisa menulis tentang laut dengan begitu indah seperti yang aku inginkan. Laut di matamu itulah sebabnya. Sangat sulit diterjemahkan. Kali ini aku akan berterus terang bahwa bening matamu itu, sangat sulit dirumuskan dalam kata. Matamu seperti laut biru, yang menyimpan rahasia dan penuh misteri.
Sebenarnya aku ingin sekali menafsirkan laut di matamu dengan kata-kata, dengan bentuk bahasa paling sederhana dan yang paling mungkin dimengerti. Tetapi, itulah kelemahanku, semakin aku menatap matamu dengan sepenuh penghayatan, semakin aku terseret ke kedalaman matamu.
Lagi pula, aku tahu kau begitu mencintai laut. Setiap kali kau bercerita tentang kerinduanmu kepada laut, atau saat ketika kau berada di suatu pantai, aku merasakan laut bergetar di dadamu. Suatu waktu, ketika kau mengungkapkan kekecewaanmu terhadap rencana pemerintah terkait reklamasi di pulau A dan pulau C di kotamu, aku melihat laut bergemuruh di matamu. Sungguh, ketika itu, sebagai anak seorang nelayan, aku benar-benar merasa malu. Sebab penghayatanku terhadap laut tidak setulus dan sebening kecintaanmu.
“Selasa depan, setelah upacara petik laut, aku akan mengajakmu makan malam.”
“Aku akan berangkat dengan bis paling awal.”
Dua bunyi notifikasi memecah hening. Aku terdiam dengan cangkir tertahan di bawah dagu setelah membaca pelan-pelan isi pesanmu. Sudah berapa kali purnama kita tidak bertemu?
***
Perasaanku makin tak menentu ketika mendekati menit-menit sebuah upacara sakral. Upacara rokat tase’ atau petik laut adalah upacara adat, atau ritual yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas melimpahnya hasil laut yang didapatkan selama satu tahun. Selain itu, merupakan doa keselamatan bagi para nelayan, serta permohonan rezeki untuk tahun-tahun yang akan datang. Sebagian masyarakat pesisir percaya jika laut memiliki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, sebagai perantara atau medium agar terhubung dengan dzat yang lebih besar. Itulah sebabnya acara petik laut selalu berlangsung meriah setiap tahun.
Matahari mulai tinggi. Semua warga terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ibu, seperti ibu-ibu yang lain, sedang menyiapkan sesajen yang akan dimasukkan ke dalam replika perahu hias. Aneka buah dan sayur, kepala kambing, kembang tujuh rupa, ayam berwarna hitam, dan satu nasi tumpeng ukuran besar sudah siap tersaji. Di sudut yang lain, beberapa orang laki-laki dewasa terlihat sedang memasang dekorasi tambahan atau membetulkan letak bendera yang terpasang pada tiang-tiang perahu. Perahu-perahu inilah yang nanti akan membawa warga ke tengah laut untuk mengikuti prosesi larung sesaji.
Setelah lokasi larung sesaji ditentukan, para nelayan akan bersiap membawa perahu hias yang berisi sesajen, diiringi perahu-perahu hias lainnya. Biasanya, perahu-perahu yang mengiringi prosesi larung sesaji diharuskan mengelilingi perahu yang berisi sesajen selama tiga kali sebelum akhirnya kembali ke darat.
Siang itu langit tampak gelap. Aku dan Alina berada di atas perahu yang sama. Karena itulah aku tidak mencemaskannya. Aku tahu dia lebih senang laut daripada gunung. Dulu aku pernah bertanya mengapa? Dia menjawab dengan enteng, “Aku ingin menjadi ikan,” katanya. Sungguh aku aku juga tak mengerti kenapa cuaca tiba-tiba menjadi sekacau ini.
Sejumlah perahu tampak berseliweran menuju garis pantai. Para penumpangnya berteriak-teriak saling mengingatkan. Kilat petir dan bunyi guntur bersahutan seperti dihamburkan dari langit yang membuat orang-orang tiarap gemeteran. Tubuh ini rasanya beku.
***
Kasih, setiap kali orang berkata, “Lautan itu pahit, bila kau tak benar-benar mengerti hakikatnya. Begitu pula dengan cinta.” Aku sama sekali tidak berusaha menolak atau menyangkalinya. Bagiku, cinta adalah satu-satunya jalan terbaik yang mesti ditempuh. Akulah lautan itu. Semua yang sampai padamu adalah sentuhan terakhir seorang perempuan paling setia, sebuah gelombang yang mengakhiri dirinya. Aku sering kali berandai-andai tentang kita, bagaimana jika cinta adalah aku, dan kau adalah umpan di pancing para nelayan?
Apa yang akan terjadi jika seandainya aku nyangkut di kail itu? Semula aku percaya jika puncak semua pemberian adalah nyawa, tetapi setelah aku mengenalmu, aku kira tidak ada persembahan lain yang paling agung selain cinta.
Aku belum tahu pasti apa yang bisa aku lakukan dengan keadaan ini. Orang-orang telah lama meninggalkan pantai ini tanpa mau mengingatnya lagi. Jalan setapak yang dulu sering kita lewati menuju pantai ini telah ditumbuhi rerumputan. Orang-orang telah dilayarkan jauh dari tempat ini dan mereka tidak akan pernah kembali.
Aku masih ingat ketika kau memegang tanganku sebelum perahu itu terguling diterjang ombak. Waktu itu kau berusaha menggapai tanganku tapi tubuhku yang mulai lemas tidak sanggup melawan deras arus yang menggulung kita. Sebab itu aku mulai pasrah, mungkin aku sudah ditakdirkan menjadi bagian dari laut. Aku meluncur ke dasar serupa jangkar yang dilepaskan. Suatu hari nanti, pada suatu pagi yang entah, jika kau pergi ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang, mungkin salah satu dari ikan-ikan itu adalah aku.
Sejak peristiwa itu kita tidak pernah bertemu lagi, kasih. Kau harus tahu, kadang di antara desir angin yang mengantarkan gelombang ke tepi pantai, aku menyelinap untuk melacak bekas-bekas jejak kaki kita. Walaupun aku tahu, hembusan angin dan hempasan air telah lama menghapus jejak itu. Tapi aku ingat, di atas batu besar dekat pohon kelapa itu, kita pernah berteduh sebelum memutuskan untuk ikut acara petik laut.
Tentu kau juga masih ingat. Akulah yang bersikeras mengajakmu untuk ikut prosesi larung sesaji ke tengah laut. Padahal kau sudah berulang kali mengingatkan, jika ajakanku ini sangat beresiko karena cuaca sedang tidak bagus. Tapi semua sudah terlambat dan kadung terjadi.
Kali ini dadaku mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata yang tiba-tiba ingin diungkapkan. Karena itulah aku menulis surat ini untukmu. Meski aku tahu kau tidak akan pernah membacanya. Tapi kau harus tahu, di dasar laut ini, aku begitu menderita oleh himpitan kesepian. Walaupun di sekitarku banyak ikan-ikan yang hampir gila akibat perasaan kehilangan, setelah salah satu kerabat mereka dimangsa oleh ikan lain yang lebih besar. Atau anak-anak ikan yang bermain di dekat terumbu karang tapi tidak tahu mesti mencari pelukan siapa ketika lapar datang. Jika dibandingkan dengan ikan-ikan itu, nasibku masih sedikit lebih beruntung, karena setiap kali merasa kesepian, aku masih bisa menulis surat untukmu.
Sebenarnya aku tahu jika kau tidak akan mampu menangkap isi surat-suratku ini dengan sempurna. Karena surat-surat yang kukirimkan ini tidak mudah dipahami hanya dengan sekali baca. Tapi tak mengapa, tentu kau sudah mafhum, aku tidak bisa menuliskan surat ini dengan bahasa lain selain lewat isyarat angin dan riak ombak. Aku hanya perlu menjadi satu sapuan ombak untuk menyapa jejak-jejak kakimu di tepi pantai, atau angin yang pelan-pelan mengelus-elus rambutmu ketika hatimu ditundukkan oleh kesedihan.
“Cinta yang tulus akan menghapus kesedihan dari sebuah perpisahan.”
Semula aku tidak pernah membayangkan kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut laki-laki sepertimu. Sangat sulit dipercaya. Tapi sejak saat itu pula aku mulai menafsir-ulang tentang peristiwa pertemuan dan perpisahan yang silih berganti dalam hidup ini. “Kesedihan tidak akan ditemukan pada diri seseorang yang sepanjang hidupnya dipenuhi oleh cinta,” katamu di lain waktu. Aku benar-benar merinding ketika mendengar kalimat itu. Aku coba cari-cari ke dalam jiwa untuk dapat merasakan lagi getaran-getaran yang muncul, seperti ketika aku hendak mengatakan cinta padamu.
Aku selalu mendatangi tempat di mana perahu yang kita tumpangi dulu tenggelam. Pertemuan kita yang terakhir telah membuka pintu penantian yang panjang. Kau tak mungkin datang ke tempat ini seperti aku mendatangi sisa-sisa papan kayu yang mulai ditumbuhi terumbu karang. Aku tahu itu mustahil. Akan tetapi, demi semua yang sudah berlalu, aku menyimpan surat-surat ini untukmu dengan tabah, dengan pengharapan yang tak pernah layu.
Sumenep, April 2021.
Hasan Tarowan
*Penulis merupakan Lurah Kampoeng Soeket Teki 2016