Masih segar dalam ingatan, dunia maya Indonesia digegerkan oleh kasus Audrey sepanjang bulan ini. Kasus itu berawal dari pemberitaan mengenai perundungan yang dialami Audrey, siswi SMP yang dilakukan oleh beberapa siswi SMA.
Setelah diperiksa lebih lanjut oleh pihak yang berwenang, rupanya kejadian yang dilakukan sesama perempuan yang masih dibawah umur itu bermula dari saling nyinyir antara korban dan salah satu pelaku di media sosial.
Menengok kebelakang lebih jauh, kolom komentar akun instagram Brisia Jodie ramai dikomentari warganet. Brisia mengunggah foto tangkap layar direct messege (DM) dari seorang warganet yang berkata kasar kepada dirinya. Penyanyi jebolan audisi musik Indonesian Idol tersebut, dihina dengan nama binatang. Ternyata setelah ditelusuri akun nyinyir itu milik seorang perempuan.
Kebiasaan menyinyir atau menggunjing seolah-olah melekat dalam kultur masyarakat. Apalagi jika yang menyinyir perempuan, kesannya itu sudah menjadi gaya hidup. Seperti hasil penelitian Perusahaan Intelegen Social Brandwatch, sejumlah 52 persen komentar negatif kepada perempuan justru dilakukan oleh perempuan sendiri.
Dalam kasus Audrey, nyinyir yang dilakukannya, menimbulkan dampak yang cukup besar. Dilanjutkan dengan adu fisik, kemudian mampu menggegerkan satu Indonesia, bahkan ketika publik tidak tahu betul kebenarannya.
Sedang dalam kasus yang dialami Brisia, seorang public figure, komentar nyinyir dapat memicu warganet lain untuk melakukan hal yang sama. Bisa jadi nyinyiran akan menekan kondisi psikisnya hingga merasa stres.
Fenomena tersebut tentu menjadi ironi. Pasalnya, mengapa sesama perempuan justru saling merendahkan satu sama lain. Lantas, bagaimana semangat emansipasi perempuan yang diinisiasi Kartini?
Ketika kita menilik sejarah, sekitar satu abad lalu, R.A. Kartini secara sungguh-sungguh memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia berusaha supaya perempuan bisa mendapat pendidikan dan perlakuan yang sama di tengah budaya patriarki. Dihargai dan dihormati oleh semua orang tanpa membedakan gender.
“Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya, baik tidak terpaksa baik pun karena terpaksa.”- Pesan Kartini.
Kutipan itu semestinya bisa menjadi pengingat kita dalam menghargai sesama manusia. Begitupun bagi para perempuan, agar bisa menjaga lisannya dari nyinyir.
Biasanya orang yang gemar menyinyir itu disebabkan karena iri hati. Tidak suka kelebihan orang lain, keberhasilannya bahkan capaian prestasinya. Karena sudah putus asa, mereka cenderung lebih mudah menjelek-jelekkan, menghina maupun mencaci maki.
Kadang pula, sebagian orang menyinyir untuk mencari kepuasan diri. Dalam kasus ini, lebih cenderung disebabkan karena kepribadian yang buruk.
Mengingat Kartini, membawa kita pada cita-cita luhurnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, bangsa cerdas itu orang-orang yang terdidik baik secara akal maupun kepribadian. Bukan malah kemunduran karakter, dengan latahnya kebiasaan menyinyir. Mestinya, masyarakat bisa lebih mengapresiasi atau pun menghargai perbedaan yang ada.
Penulis: Azzam Ashari