• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Selasa, 7 Februari 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Perebutan Ruang Publik dan Posisi Mahasiswa

Sigit A.F by Sigit A.F
4 tahun ago
in Artikel
0
(dok. internet)

Perubahan zaman yang begitu cepat, membuat tidak sedikit sekelompok mahasiswa gelabakan. Hari ini, gerakan mahasiswa berada di tengah-tengah dilema. Pola gerakan lama tak lagi sesuai dengan perubahan zaman, sedangkan reorientasi gerakan baru hingga kini masih belubesar m jelas. Yang terjadi selanjutnya adalah, sebagian mahasiswa diam di tengah tuntutan.

Tak sedikit, pihak yang melontarkan kritik pedas pada mahasiswa sekarang. Dalam artikel Rahman Sugiharti dengan judul Mahasiswa Millenial, yang dimuat Kompas pada (1/09/2018) menganggap sebagian besar mahasiswa kini menjadi bagian dari lessuer class. Sebuah kelompok yang menampilkan gaya hidup santai, hedonis, apatis, dan lebih banyak memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat komsumer dari pada menjadi bagian dari civil society.

Survei CSIS yang dirilis pada awal November 2017 lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik.

kisaran usia milenial sendiri masih menjadi perdebatan. Menurut Majalah Newsweek, milenial adalah generasi yang lahir di kisaran tahun 1977-1994. PEW Research Center menyatakan lahir di atas tahun 1980. Sementara itu, Majalah TIME menilai milenial lahir pada tahun 1980 – 2000.

Begitu banyak gejala atau indikasi dalam tubuh gerakan mahasiswa yang membenarkan tudingan Rahman Sugiharti. Tak perlu terlalu muluk-muluk sampai gerakan civil society, di dalam kampus pun gerakan mahasiswa seolah telah mati. Di sejumlah kampus negeri di Indonesia, Badaan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mauapun Senat Mahasiswa (Sema) telah tiarap dan pasrah dengan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus membumbung tinggi. Tak lagi terdengar orasi penolakan dan pengawalan yang serius pada probrem yang begitu jelas di depan mata mahasiswa.

Baca juga

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

Bahaya Flexing di Media Sosial

Definisi Edward Shills (1910-1995) yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah kelompok minoritas masyarakat yang memiliki kecukupan paradigma pikir, analisis, dan tanggung jawab terhadap keadaan sosial, telah dilucuti oleh mahasiswa itu sendiri. Definisi itu kini telah terkubur dengan megah dalam sejarah. Setidaknya dalam konteks mahasiswa Indonesia.

Anak Zaman

Keberhasilan sebuah generasi, adalah ketika terdapat pemuda yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan. Lalu, bergerak sesuai dengan apa yang dibutuhkan zaman.

Peran yang demikian, pernah dijalankan oleh Muhammad Hatta, ketika ia menjadi salah satu pelopor terbentuknya Indiech Vereninging. Sebuah perkumpulan pemuda Indonesai yang belajar di luar negeri. Mereka aktif meluncurkan propaganda tentang nasionalisme dan wacana kemerdekaan Indonesia, ketika negeri ini masih terjajah.

Sejarah terus berjalan. Pasca kemerdekaan, ketika Soekarno di masa tuanya dianggap telah mengianati semangat kemerdekaan, mahasiswa bergerak memunculkan gerakan konfrontatif dengan pemerintahan. Sehingga, Soekarno bersama Orde Lama diruntuhkan pada 1966. Berkibarlah tokoh angkatan 66 yang di antaranya Soe Hok Gie, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, dan Akbar Tanjung.

Terciptanya rezim baru tak membuat mahasiswa berpangku tangan dengan keadaan. Ketika pemerintah dianggap telah dlolim dan menyensarakan rakyat, gerakan mahasiswa pun berkibar kembali dengan serangkaian tragedi yang tercipta di Orde Baru. Di antaranya peristiwa Malari, Cimanggis, Tragedi Trisakti, tragedi Semanggi I, dan sebagainya. Hasilnya adalah Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 dan menobatkan tonggat gerakan angkatan 98.

Mereka bisa disebut sebagai anak zaman. Terlepas setelah itu, tak sedikit dari generasi mereka, melepaskan idealismenya ketika masih menjadi mahasiswa, itu soal lain.

Reorientasi Gerakan

Tantangan menghadapi rezim otoriter adalah masalah yang telah selesai sejak lama. kita dihadiahi sebuah zaman yang lebih cair hari ini; hasil pergolakan sejarah yang alot. Lalu, pada Indonesia yang

sekarang, apakah masih dibutuhkan peran mahasiswa?
Pertanyaan ini, pada akhirnya memunculkan pelbagai jawaban. Jika mahasiswa yang dimaksud adalah mereka yang tidak mampu lagi membaca zaman, tentu jawabannya tidak. Hanya membuat macet jalanan tanpa hasil yang berarti. Hanya pamer eksistensi. Jika mahasiswa yang dimaksud adalah mereka yag lebih suka menjadi event organizer, jawabannya juga tidak.

Jika mahaiswa ingin tetap mengunakan difinisi yang dikemukakan oleh Erward Shills, maka mereka harus keluar dari zona nyaman; melawan apatisme. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan problem yang ada di dalam kampus terlebih dahulu, di antara yang paling krusial adalah masalah biaya kuliah yang tinggi.

Kedua, merebut kembali ruang publik yang hari ini tidak didominasi oleh mahasiswa. Sebagai bagian dari digital natives, kans mahasiswa untuk mengontrol dunia digital sangat terbuka lebar. Ada lebih dari 7 juta mahasiswa yang tersebar di penjuru Indonesia. Dengan jumlah yang sebegitu banyaknya, mahasiswa dapat melakukan pengawalan terhadap problem lokal maupun nasional melalui dunia digital.

Dunia digital yang sekarang menjadi ruang publik baru bagi masyarakat, harus dilihat sebagai wadah reorientasi gerakan mahasiswa. sudah terlalu lama ruang publik kita diisi oleh orang-orang yang tidak mempunyai idealisme tentang Indonesia yang lebih baik. Hanya dipenuhi sampah visual—meminjam istilah Baudillard.

Pertentangan kampret dan cebong misalkan, telah menciptakan konflik horizontal di dunia digital. Secara tidak langsung memecahkan belah masyarkat dalam kotak-kotak yang disengaja untuk kepentingan politik praktis. Keberadaan buzzer politik dan saracen yang terorganisir dengan rapi menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita.

Sejak dulu, mahasiswa selalu terlibat aktif dalam gerakan civil society. Ketika gerakan sudah tak lagi berperan dalam civil society, yang terjadi adalah masalah seperti hari ini. Karena praktis, selain mahasiswa hanya kepentingan politik yang bertarung.

Jadi, kapan mahasiswa akan bergerak kembali?

Penulis: Sigit AF
*tulisan pernah dimuat di Geotimes.com

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: generasi milenialgenerasi nativeperebutan ruang publikukt
Previous Post

Jatuh Cinta dan Kemungkinan-kemungkinan Setelahnya

Next Post

Korban Jadi Terpidana; Nalar Pincang Hukum di Indonesia

Sigit A.F

Sigit A.F

Gunung, senja, nada, dan kata-kata.

Related Posts

cancel culture di media sosial
Artikel

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

by Redaksi SKM Amanat
6 Desember 2022
0

...

Read more
ngeri-ngeri sedap komunikasi anak dan orang tua

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

1 Desember 2022
flexing di media sosial

Bahaya Flexing di Media Sosial

13 November 2022
perdebatan di media sosial

Saat Celetukan Ringan di Media Sosial Menjadi Perdebatan Panjang

2 November 2022
cancel culture

Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?

31 Oktober 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
pentingnya jurnalisme data

Jurnalisme Data dalam Bercerita

30 Januari 2023
Rektor UIN Walisongo, Imam Taufiq

Pelantikan DEMA UIN Walisongo, Imam Taufiq Perjelas Tempat Mendewasakan Diri Bagi Mahasiswa

1 Februari 2023
Ma’had Al Jami’ah Kampus 2, UIN Walisongo.

Ma’had Online UIN Walisongo Sebagai Syarat Kelulusan MK Bahasa Arab

19 Januari 2023
Jurnalisme Data UIN Walisongo

Pentingnya Jurnalisme Data, Amcor UIN Walisongo Fasilitasi LPM untuk Ikut Pelatihan

31 Januari 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend