Narasi perang badar digaungkan demi kepentingan politik kelompok tertentu. Bagaimana kesalahanpahaman kita dalam memaknai peristiwa besar ini, kini?
Sejarah mencatat, pertempuran besar pertama umat Muslim melawan musuh-musuhnya terjadi di Lembah Badar. Kala itu, umat Muslim di bawah komando Nabi Muhammad SAW bertempur habis-habisan melawan kaum Quraisy yang saat itu dipimpin oleh Abu Jahal.
Kebencian Abu Jahal terhadap umat muslim memang telah memicu dan menyeret kedua belah pihak ke dalam peperangan. Peristiwa yang bertepatan pada 17 Ramadhan itu, melibatkan tak kurang dari 1000 pasukan kaum Quraisy, menghadapi kekuatan Islam yang hanya berjumlah 313 orang. Umat Islam pun berhasil menundukkan Abu Jahal beserta bala tentaranya.
Meski menjadi pemenang, namun umat Muslim tidak berlaku semena-mena terhadap kaum Quraisy. Hal itu tak lepas dari gaya kepemimpinan Rasulullah yang tidak pernah mengajarkan balas dendam dan menyimpan kebencian.
Selepas perang, Rasulullah menegaskan kepada para sahabatnya bahwa mereka baru saja pulang dari pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Waktu itu, para sahabat masih cenderung memaknai perang Badar sebagai perang besar. Namun, perang besar yang sesungguhnya menurut Rasulullah adalah melawan hawa nafsu.
Memasuki bulan Ramadhan ini, umat muslim masih cenderung gagal memaknai lebih dalam hakikat dalam berpuasa. Mereka belum mampu mengekang hawa nafsu keduniawian yang hingga saat ini masih menjadi tradisi yang melekat erat. Padahal, ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu cara untuk mengekang hawa nafsu.
Seseorang yang terlalu mengikuti hawa nafsu akan berakhir merugi dan celaka. Lihat saja, manakala hawa nafsu menjadi sesuatu yang harus diikuti maka, yang bersangkutan telah mengalami kekalahan. Tentu, dia tidak merasa kalah dalam peperangan. Namun, kalah dalam perang melawan hawa nafsu.
Ketidaksadaran itu juga yang akan membawa mereka ke dalam lubang hitam yang membinasakan.
Diriwayatkan dari sahabat Annas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, dan Ibnu Umar, Nabi Muhammad SAW bersabda “Syukhhun Mutho’un wa huwa muttabi’un wa I’jabulmar’i binafsihi” yang artinya, adapun tiga perkara yang membinasakan adalah kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri.
Lalu, akankah generasi muslim saat ini mampu melawan hawa nafsu yang semakin sulit dikendalikan?
Budaya membenci
Tak peduli meski telah memasuki bulan Ramadhan, polarisasi kebencian masih menjadi sesuatu yang digemari masyarakat. Nafsu kebencian telah beranak pinak dalam setiap generasi muslim yang bahkan, tidak disadari oleh mereka sendiri. Lalu, muncul dalam berbagai varian yang sama-sama mempunyai daya hancur luar biasa.
Hal itu terus berlanjut ketika segelintir orang yang mengatasnamakan kepentingan golongan, saling baku hantam ideologi dengan kelompok lain.
Satu kelompok beranggapan ideologi mereka paling benar. Lalu, menyerang kelompok lain yang dianggap terbawa arus garis keras. Akhirnya, budaya membenci pun tak terelakkan lagi.
Lebih parah, perang ideologi yang berujung pada budaya membenci semacam ini tetap dirawat dan dipertahankan. Entah lupa atau memang tidak tahu, bahwa kebencianlah yang mengakibatkan perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa di padang Kurusetra dalam kisah Mahabharata.
Mengancam Pancasila
Arus ideologi yang mengancam terhadap Pancasila semakin deras akhir-akhir ini. Bahkan sudah memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya perbedaan pandangan mengenai ideologi, disinyalir mampu memunculkan berbagai ideologi baru yang tidak toleran.
Hal ini diperparah dengan kemunculan kelompok-kelompok baru yang juga mengancam falsafah kenegaraan. Mereka berjalan, lalu mendoktrin masyarakat untuk meninggalkan ideologi Pancasila yang notabene sudah menjadi konsensus nasional.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh LSI Denny JA menunjukkan bahwa dalam 13 tahun terakhir jumlah masyarakat pro Pancasila mengalami penurunan. Pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen. Namun, di tahun 2010 menurun menjadi 81,7 persen. Presentase itu terus menurun kala memasuki tahun 2015 yang berada di angka 79,4 persen. Hingga akhirnya menduduki angka 73,5 persen pada tahun 2018.
Meski penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan, namun harus menjadi perhatian serius. Bagaimana nasib bangsa ini jika ideologi Pancasila semakin hilang pemahaman dan pemaknaannya kini?
Penulis: Agus Salim