Mukadimah
Sebagai hasil dari pergulatan batin, puisi memiliki ketergantungan pada kemampuan penciptanya dalam meracik diksi-diksi yang dipilih. Ketika seorang penyair mampu menangkap pesan-pesan melalalui perkawinan jiwanya, puisi itu akan lahir abadi dan penuh makna.
Tapi, kata-kata begitu miskin. Sedang realitas begitu kaya. Kadang ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan baik. Puisi yang menurut kita sudah ditulis dengan baik kadang tidak mewakili apapun. Selain hanyalah sebatas sekumpulan metafora dan kiasan yang cenderung klise dan basi.
Betapapun, puisi selalu menjadi medium atau alternatif lain dalam berekspresi. Tidak peduli betapa buruknya puisi yang kita hasilkan.
Pada lomba cipta puisi kali ini, Dewan Juri disodorkan banyak “puisi”, ini kabar baik. Berarti masih banyak orang-orang yang rela menyia-nyiakan waktunya untuk menulis puisi jelek. Tentu ini bercanda, tapi serius. Puisi-puisi yang masuk ke meja panitia masih di bawah standar. Perbandingan antara puisi yang bermutu dan yang prematur sangatlah kentara.
Penafsiran yang disodorkan cenderung mentah dan harfiah. Sebagian besar puisi bernada seragam. Hal ini membuat puisi-puisi yang yang dihasilkan hanyalah sebatas sekumpulan diksi-diksi yang meliuk-liuk, penuh curhatan, berisi petuah dan nasihat. Jauh dari realitas.
Akan tetapi, dari keseluruhan puisi yang dinilai, beberapa puisi berhasil menunjukkan kualitas penulisan yang baik. Beberapa puisi menampakkan kekayaan bacaan dan renungan. Beberapa peserta mampu menyampaikan pesan besar lewat bahasa yang sederhana namun dalam.
Memang. Menulis puisi itu tidak mudah. Baik dari segi pemilihan diksi, pendalaman tematik, penggunaan metafora, simbol, dan penyisipan renungan sangatlah dibutuhkan latihan yang berkali-ulang dan konsisten. Dewan Juri sangat memaklumi. Karena kami melihat peserta lomba rata-rata merupakan mahasiswa yang mungkin saja baru beberapa kali atau bahkan baru pertama kali menulis puisi. Tapi bagaimanapun, kemauan dan keberaniannya untuk menulis puisi perlu diapresiasi.
Proses Penilaian
Berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditentukan, setiap juri kemudian memilih tiga puisi yang dianggap memiliki kualitas lebih dengan berbagai alasan yang mendasarinya. Di sinilah perdebatan tidak dapat dihindarkan. Setiap juri memiliki hak yang sama dalam memberikan argumennya, menerima atau menolak pilihan juri lain.
Meski di sana ada perdebatan, diskusi yang alot, pada akhirnya diperlukan sedikit kompromi untuk menentukan puisi-puisi yang dinilai layak dan pantas ditempatkan sebagai pemenang.
Puisi-puisi yang terpilih sebagai pemenang lomba ini sudah melalui kurasi yang panjang. Kami sepakat bahwa, puisi-puisi tersebut sudah menunjukkan kesegaran dibandingkan dengan puisi lain yang menjadi nomine dalam lomba ini.
Pilihan Dewan Juri jatuh pada puisi dengan urutan pemenang sebagai berikut:
(1) Selembar Riwayat Semu di Muka Tanah Raya
(2) Matahari Tenggelam
(3) Garis Khayal
Puisi “Selembar Riwayat Semu Di Muka Tanah Raya” secara tematik kita disuguhi tentang potret fenomena penguasa yang otoriter, korup, dan tentunya rakyat yang tertindas dengan kekayaan diksi yang menyegarkan ini turut menyumbang khazanah puisi. Cukup menarik ketika satire dan kritik sosial menghindari penggunaan bahasa lugas seperti umumnya. Pilihan kata yang meski agak hiperbolis, dapat dimaklumi karena mampu menegaskan nasib rakyat akar rumput.
Sebab, saban hari dipaksa mendera mata agar tak menjadi telaga,
memasung perut meski nyeri tak kunjung surut,
pun menegah getir walau impi tinggal sebutir.
Bait-bait yang dihadirkan seolah mempertegas paradoks kekuasaan dan keserakahan dalam mengeksploitasi
ketidakberdayaan.
Tapi sayang, pada bait berikutnya ia sangat berjubel dan terkesan dipaksakan. Hal ini berimbas pada artikulasi dan mengaburkan imaji kengerian kondisi itu bagi pembaca.
Puisi “Matahari Tenggelam” cukup piwai memotret hiruk pikuk kota-kota industri, tentu dengan manusia yang serupa mesin untuk diperas waktu dan tenagannya. Puisi dengan diksi-diksi yang sederhana dan konsisten. Puisi ini menyimpan beberapa aspek menarik yang dapat pembaca petik dalam bahasa dan pesannya.
Telah sampai pada pukul empat
waktunya kita istirahat
matahari mendarat di ufuk barat
di sisa penghabisan ini, adakah yang masih selamat?
Gambaran diksi yang sederhana. Tapi dengan kesederhanaan dan kejujurannya itu ia lepas dari makna tunggal.
Puisi “Garis Khayal” dua bait pertama dan kedua puisi ini cukup memikat, pemilihan diksi yang ringan menuntun pembaca mengenal isi pikiran penyair dan setting latar dalam kereta. Akan tetapi pada bait-bait selanjutnya justru memecahkan imaji pembaca yang kadung masuk ke dalamnya.
Puisi ini menjadi puisi yang tak selesai, penyair kehilangan keseimbangan untuk konsisten menyajikan gaya bahasa yang ia bangun di awal. Lihat saja bagaimana setelah bait kedua menjadi tak karuan yang berubah menadi puisi naratif dan terkesan bertele-tele. Tetapi tidak mengganggu pesan yang hendak disampaikan. Bisa jadi, perubahan gaya itu sekadar siasat dalam membentuk bait-bait puisi…
Pembacaan dan penilaian ringkas atas tiga puisi yang terpilih menjadi pemenang, tentu saja tidak cukup mewakili pembacaan lain atas puisi-puisi itu nantinya.
Di luar kami, tentu akan ada pembacaan-pembacaan yang lebih beragam. Oleh sebab itulah, penilaian kami bukanlah penilaian yang bersifat final, dalam arti tidak boleh ada pembacaan dan penilaian lain atas ketiga puisi tersebut.
Pun, bukan berarti puisi-puisi yang dipilih sebagai pemenang menjadi karya yang tidak memiliki celah sama sekali untuk diberi kritik dan saran. Hanya saja, inilah buah kesepakatan kami dalam lomba ini. Hakikatnya, setiap puisi akan menampakkan wajah lainnya, di hadapan pembaca yang berbeda-beda beserta tafsir-tafsirnya.
Sejauh ini, juri tidak menemukan karya yang mengandung unsur plagiarisme. Jika kelak terbukti ada karya pemenang yang mengandung unsur plagiarisme, keputusan pemenang dapat digugurkan/ dicabut. Di luar hal tersebut, keputusan juri tidak bisa diganggu gugat dan bersifat mutlak.
Jakarta, 18 September 2023