Penyebutan status non-Muslim dalam kehidupan bernegara yang diputuskan Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas Alim Ulama) Nahdlatul Ulama di Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019 menuai polemik. Banyak yang gagal paham tentang yang dimaksudkan keputusan tersebut, sehingga mengesankan bahwa hasil munas seolah mengamandemen kata Kafir yang disebutkan Alquran sebanyak 525 kali.
Sejatinya, pembahasan dalam forum sidang Komisi Bahtsul Masail (BM) Maudhu’iyyah Munas NU dalam sesi masalah Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian ini bukan memutuskan bahwa non-Muslim itu kafir atau tidak. Namun, status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya, yang perlu digarisbawahi adalah, pembahasan lebih kepada penggunaan term kafir dalam ruang publik, bukan pada ranah teologis. Ini menjadi penting akhir-akhir ini, lantaran banyak masyarakat yang salah menempatkan kata tersebut dalam konteks Indonesia.
Fiqih klasik
Adanya penyebutan kafir dalam sejarah peradapan Islam, pertama kali terjadi pada masa dakwah rasul di Makkah. Setelah Nabi, mealakukan hijrah ke Madinah, kata kafir tidak digunakan kembali oleh nabi dalam konteks pembangunan sebuah negara. Hal itu dapat dirujuk dalam piagam madinah yang menyebut orang di luar Islam dengan sebutan non-Muslim, bukan kafir.
Namun, di masa setelah, ketika Islam semakin meluas dan sistem pemerintahan silih berganti kita dapat menemukan penyebutan kafir dalam kitab fiqih klasik. tepatnya di masa ketika, dinasti-dinasti besar Islam mulai terbentuk. Kurang lebih, status non-Muslim pada masa itu terbagi menjadi empat, yakni mu’ahad, musta’man, dzimmi, dan harbi.
Mu‘âhad adalah penduduk dârul harb (darul harbi, daerah perang/musuh) yang sedang terikat akad perdamaian (al-shulh) dengan daerah Islam/”negara Islam”. Berikutnya Musta’man/Musta’min/Mu’amman adalah non-Muslim yang diperkenankan memasuki ”negara Islam”.
Dzimmi adalah non-Muslim yang menjadi bagian dari warga ”negara Islam” melalui sebuah akad, yaitu ‘aqd al-dzimmah, dengan beberapa ketentuan, antara lain: mereka harus tunduk kepada hukum-hukum Islam yang berlaku dengan beberapa pengecualian; mereka wajib tunduk membayar jizyah (pajak kepala) kepada negara; dan dalam hal-hal tertentu status sosial mereka tidak boleh melebihi penduduk Muslim.
Dalam Sidang Pleno Munas NU, yang diketuai KH Masdar Farid Mas’udi dengan dihadiri pimpinan struktural Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), antara lain Pj Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU H A Helmy Faishal Zaini, yang dibacakan oleh KH Abdul Moqsith Ghazali, diputuskan bahwa status non-Muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwâthin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain.
Apa yang menjadi keputusan Munas NU sebetulnya tidak ada yang baru. Ia mengembalikan term kafir pada tempat yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari yang ditarik begitu jauh oleh kelompok-kelompok tertentu.
Penulis: M. Syarif Marzuki
*Diperbaharui pada Jumat, 8 Maret 2019 pukul 10.00 WIB