Skmamanat.com – Kabar menurunnya suhu bumi, sempat menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kami. Bagaimana tidak, kabar itu datang pada H-3, lepas rencana mendaki Gunung Prau 2565 MDPL, yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.
Apalagi, pada Jumat (06/07/2018) pagi, tersiar kabar di media sosial dan di pelbagai media daring bahwa lahan pertanian di sana membeku. Tanam-tanaman turut memutih bagai bertabur salju. Ada yang mengatakan itu adalah fenomena aphelion. Padahal, hari itu adalah H-1 pemberangkatan kami.
Namun, ketika membaca detik.com, Sabtu (07/07/2018), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberi penjelasan terkait fenomena embun es lantaran sekarang adalah puncak musim kemarau. BMKG memastikan hal itu tak terkait dengan kejadian aphelion.
Suhu ekstrem membuat beberapa teman kami yang rencananya menggabungkan diri, akhirnya tidak jadi, dengan ketakutannya sendiri-sendiri. Bahkan, di antara mereka menasehati supaya menunda pendakian. Khawatir jika nanti kami akan membeku di puncak Gunung Prau.
Namun, kami mencoba mengikis kekhawatiran-kekhawatiran yang ada. Tekad kami rubah, menjadi sebuah pencarian ‘salju’ di sana.
“Kami ingin merasakan suasana Eropa,” tekap kami.
Sematang mungkin, perlengkapan kami siapkan. Saya yang menobatkan diri sendiri sebagai pemimpin rombongan terus memperhatikan kesehatan dan mental ke tujuh teman saya yang rata-rata merupakan pendaki pemula.
Dapat Jalan Apes
Tepat pukul 14.30 WIB, kami ber delapan (Saya, Fajar, Ulul, Ibe, Zaidi, Rima, Fika, dan Afrida) berangkat dari Kantor Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, UIN Walisongo, Semarang. Kami mengambil rute Suwomono, lalu melewati Kabupaten Temanggung, dan masuk ke Kabupaten Wonosobo.
Sebelumnya, saya sendiri sudah satu kali ke Gunung Prau, ambil arah Wonosobo kota. Tapi, karena saya anggap rute itu terlalu jauh, akhirnya kami membuka Maps, untuk mencari rute tercepat menuju basecamp pendakian. Dan, di situ saya merasa menyesal.
Waktu itu, kami patuh terhadap arahan Maps, mantap mengambil Jalur Tambi. Maps hanya menunjukkan rute perjalanan, tapi tidak menjelaskan kondisi jalan. Sepanjang kami lihat, jalan meliuk-liuk tanpa penerangan dan sepi tak berpenghuni. Sekali mendapati pemukiman warga, kondisi jalan yang naik turun, terjal, hancur tak beraspal. Motor kami pun mendapat ujian hidupnya.
Akhirnya, keapesan pun datang. Sekitar pukul 19.30 WIB, Motor Vixion keluaran 2010 yang dibawa salah satu teman kami rusak. Dengan kondisi capit urang; penyanggah ban belakang hampir patah. Kami pun silih berganti mengkerutkan dahi; mencari solusi. Kembali tak mungkin, lanjut pun tak akan. Sepanjang jalan tak juga kami dapat bengkel yang buka. Lalu bagaimana?
Orang Baik Ada di mana-mana
Lantaran tak mungkin melanjutkan perjalanan, akhirnya kami berhenti di sebuah warung. Lewat percakapan dengan warga sekitar saya baru sadar bahwa warung tempat kami berhenti adalah salah satu basecamp pendakian Gunung Sindoro. Saya sempat berpikir, bagaimana jika tujuan pendakian dirubah ke Gunung Sindoro? Namun, melihat rombongan yang rata-rata masih pendaki pemula, pikiran itu terurungkan.
Kami mulai menceritakan musibah yang datang pada pemilik basecamp, Mas Gibran.
Manusia adalah mahluk sosial. Kata-kata yang ku dapatkan sewaktu duduk di bangku sekolah pada saat itu benar-benar menemukan maknanya. Lantaran rasa iba atau apa, Mas Gibran mau membantu kami. Ia meminjamkan motornya supaya kami dapat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.
“Jika mau, bawa saja motor saya. Insyaallah kuat sampai atas. Dari pada perjalanannya jauh-jauh dari Semarang gagal,” katanya.
“Orang baik memang ada di mana-mana,” bisik hatiku pada diri sendiri.
Dalam perjalanan, setiap kemungkinan dapat terjadi. Kuncinya adalah, kita tidak boleh saling menyalahkan. Pedoman pepatah mengatakan, “berat sama dipanggul, ringan sama dijinjing.” Hehe
Pendakian Bertabur Bintang
Pukul 21.40 WIB, kami tiba di basecamp pendakian Gunung Prau. Kami segera mencari warung yang kelihatannya murah. Wajarlah, mahasiswa. Lalu, membekali diri dengan amunisi nasi, karena, dipastikan di puncak nanti makanan pokok kami hanya roti dan mie. Baru pukul 22.30 WIB, kami mulai pendakian, dengan diawali doa bersama, memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena saya telah menobatkan diri sendiri sebagai pemimpin rombongan, maka saya berada di jalur depan, wanita di tengah dan satu lelaki di belakang. Bagi saya sendiri, yang telah lebih dari enam kali mendaki gunung, momen paling mengasikkan adalah pendakian.
Kita dapat bernyanyi seperti anak TK, saling berpegang tangan seperti orang baru pacaran, dan ketika istirahat, dengan sayup-sayup suara yang mulai meredup, terkadang bom molotov meledak seketika, memecah keheningan suasana. Tak ada yang marah. Tak ada yang tak menjadi tawa.
Waktu itu, kami begitu menikmati pendakian di Gunung Prau. Rombongan yang rata-rata pendaki pemula membuat perjalanan harus terus berhenti. Tapi, itu juga sebuah kenikmatan. Setiap berhenti, kulihat wajah teman-teman mengarah ke angkasa raya, termasuk saya. Lalu , memandang ke bawah. Bintang bertaburan di langit dan bumi. Sungguh, pemandangan yang menggetarkan jiwa.
Sergapan Badai dan Kabut di Puncak
Trek pendakian Gunung Prau memang tidak terlalu jauh dan curam. Itu juga yang menjadi alasan kami memilih gunung ini. Untuk pendaki pemula, biasanya membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam pendakian.
Perjalanan yang sebelumnya hening, bertabur bintang di langit dan bumi seketika berubah. Sampai di puncak, badai dan kabut menyergap tubuh kami. Seolah angin dan hawa dingin menemukan kerinduannya pada tulung manusia. Jika berhenti lima menit saja, tulang kami rasakan bergetar sendiri tanpa perintah.
Semakin lama, badai dan kabut malah semakin ekstrem. Setelah melewati Puncak Gunung Prau, di Camp Ground Telaga Wurung kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bukit Teletabbies, camp utama pendaki. Jarak pandang pada waktu itu hanya sekitar lima meter. Senter kami tak mampu terlalu jauh menembus jarak pandang. Ditambah, gerimis datang sebagai tamu yang tak diundang.
Sekitar pukul 01.45, kami putuskan untuk mendirikan tenda. Rasa dingin yang diceritakan orang-orang di Gunung Prau memang bukan mitos semata. Beberapa teman kami tidak bisa tidur sampai pagi. Yang tidur pun kadang-kadang bangun kembali karena serangan dingin, di kaki, telapak tangan, dan dada. Tulung kami seperti ditusuk-tusuk jika kami tak menggerakkan tubuh. Tapi, yaaa tidak sampai membeku juga seperti yang di khawatirkan orang-orang di Semarang. hehe
Taburan Bunga Daisy
Menurut cerita para pendaki, sunrise di Gunung Prau merupakan salah satu sunrise terbaik. Jika beruntung, pendaki dapat menjumpai milky way di sana. Tapi, kami bukan pendaki yang beruntung itu. Ketika waktu sunrise tiba, kabut dan badai sedari malam belum juga mau hilang.
Baru sekitar pukul 06.00 WIB pemandangan di Bukit Teletabbies terlihat jelas. Sejauh mata memandang, hanya ada savana bertaburan bunga daisy menghiasi sekeliling kami. Bulan Juli dan Agustus adalah waktu pendakian terbaik ke Gunung Prau. Pada bulan-bulan tersebut, bunga daisy yang hanya tumbuh di Gunung Prau memekarkan kembangnya. Hanya satu jam momen itu berlangsung, sebelum pada akhirnya kabut datang kembali.
Setelah puas dengan gambar-gambar yang telah terdokumentasi hingga siang, perjalanan untuk turun, dimulai. Kami memang tak mendapatkan apa yang semula dicari. Fenomena embun yang membeku bagai salju hanya terjadi di tempat-tempat tertentu. Namun, keindahan alam yang kami pandang, sepadan dengan yang tak kami temukan.
Penulis: Sigit A.F